BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perkawinan antar orang berlainan agama (perkawinan campuran), telah
menjadi polemik dari dulu sampai sekarang, hal ini disebabkan karena perkawinan
antar orang berlainan agama belum diatur dalam Undang-undang secara tegas dan
tuntas. Sebagai contoh ada kantor catatan sipil yang tidak mau mencatat
perkawinan antar agama karena berpendapat bahwa perkawinan tersebut
bertentangan dengan Pasal 2 UU No.1/1974. Dan ada pula kantor catatan sipil
yang mau mencatatnya karena berdasarkan pada GHR (Gemengde Huwelijk Reglement), yakni perkawinan dilakukan menurut
hukum suami, sehingga istri mengikuti status hukum suami.
Hal inilah yang
menjadi sumber polemic, disatu pihak ada yang menolak perkawinan beda agama,
dan dipihak lain ada yang membolehkan kawin beda agama. Ini merupakan salah
satu contoh kekurangjelasan dan kekurangtegasan hokum di Negara kita yang
mengatur tentang perkawinan.
Sedangkan perkawinan berbeda agama, jika dilihat dari sudut pandang Islam
yaitu ada dua pendapat. Pendapat yang pertama , melarang perkawinan antar orang
yang berlainan agama karena didasarkan pada Al-Qur’an, Surat Al-Baqoroh ayat
221. pendapat yang kedua, ada yang membolehkan perkawinan berbeda agama, yaitu
antara seorang muslim (laki-laki mu’min) dengan musrikah (perempuan musrik)
asalkan musrikah tersebut Ahlul Kitab, yakni berasal dari yang satu rumpun
dengan agama Islam, sebab sama-sama agama wahyu, yatiu agama Kristen dan
Yahudi. Hal ini didasarkan pada Firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 5,
Sunah dan Ijma.
2.2 Tujuan
Penyusunan makalah ini memiliki beberapa tujuan, antara lain :
1. Pembaca
menjadi tahu apa yang dimaksud dengan
perkawinan campuran.
2. Pembaca
mengetahui dasar –dasar hokum perkawinan berbeda agama, baik menurut hokum positif yang ada di Indonesia maupun
menurut hokum agama Islam.
3. Seorang
muslim yang ingin menikah dengan seseorang yang berbeda agama sebaiknya
berpikir lebih matang, karena agama Islam melarang perkawinan beda agama,
apalagi kalau wanitanya dari pihak muslim dan prianya non Muslim agama Islam
mengharamkannya.
BAB II
PERKAWINAN ANTAR ORANG
YANG BERLAINAN AGAMA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA DAN HUKUM ISLAM
2.1 Perkawinan Antar orang yang Berlainan Agama
Menurut Hukum Positif di Indonesia
Sebelum UU No.1/1974 tentang perkawinan berlaku secara efektif pada
tanggal 1 Oktober 1975, di Indonesia berlaku berbagai golongan warga Negara dan
berbagai daerah sebagai berikut :
1. Bagi
orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam yang telah siresipiir dalam
hukum adat;
2. Bagi orang
Indonesia asli lainnya berlaku hokum adat;
3. Bagi orang
Indonesia yang beragama Kristen berlaku Huwelijk Ordonantie Christen Indonesia;
4. Bagi
orang-orang Timur Asia Cina dan warga Negara Indonesia keturunan Cina berlaku
ketentuan –ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan sedikit perubahan;
5. Bagi
orang-orang Timur Asing lainnya dan warga Negara Indonesia keturunan Timur
Asing lainya tersebut berlaku hukum adat mereka;
6. Bagi orang-orang
Eropa dan warga Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan dengan mereka
berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Bedasarkan pasal 66 UU No. 1/1974, maka semua peraturan yang mengatur
tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974
ini, dinyatakan tidak berlaku, termasuk Peraturan Perkawinan Campuran.
Dalam UU No. 1 tahun 1974, Perkawinan Campuran diatur pada pasal 57, yang
merumuskan dengan jelas, bahwa perkawinan campuran itu adalah perkawinan
antar 2 orang yang di Indonesia tunduk
pada hokum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Jelaslah, bahwa berdasar atas pasal 57 UU perkawinan, maka perkawinan
antar orang-orang yang berlainan agama di Indonesia bukanlah perkawinan
campuran. Karena itu, apabila UU Perkawinan, dilaksanakan secara murni dan
konsekuen, seharusnya setiap pengajuan permohonan perkawinan antar orang-orang
yang berlainan agama, yang sebelumnya telah ditolak, baik oleh KUA (bagi Islam)
maupun oleh Kantor Catatan Sipil (bagi mereka yang mau melaksanakan
perkawinannya menurut agama selain Islam), maka seharusnya pengadilan negeri
secara yuridis bisa menolak permohonan ijin kawin tersebut. Sebab berdasarkan
pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f UU No. 1/1974
yang menegaskan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan bahwa perkawinan antara dua
orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku dilarang kawin. Ketentuan pasal tersebut berarti bahwa perkawinan harus
dilakukan menurut hokum agamanya, berarti dialarang pula oleh UU perkawinan.
Namun, kenyataannya sekarang menunjukan bahwa Pengadilan Negeri masih
memberikan ijin perkawinan antar orang yang berlainan agama dan memandangnya
sebagai perkawinan campuran yang diatur dalam pasal 60-62 UU Perkawinan.
Padahal sebenarnya menurut pasal 57 UU Perkawinan, jelas bahwa perkawinan
campuran hanya diberlakukan untuk perkawinan antarorang yang berbeda
kewarganegaraannya dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
2.2 Perkawinan Antarorang yang Berlainan Agama
Menurut Hukum Islam
Yang dimaksud dengan “perkawinan antarorang yang berlainan agama” di sini
adalah perkawinan orang Islam (pria/wanita) dengan orang bukan Islam
(pria/wanita). Mengenai masalah ini, Islam membedakan hukumnya sebagai berikut
:
1 Perkawinan antar seorang pria Muslim
degan wanita musyrik.
Islam melarang antar seorang pria Muslim dengan wanita musyrik,
berdasarkan firman Allah dalam Al-Baqarah ayat 221, menerangkan bahwa :
“ Janganlah kamu
mengawini wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita
budak yang beriman lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia menarik
hatimu”.
Di kalangan ulama timbul beberapa pendapat tentang siapa wanita musyrik
yang haram dikawini itu? Menurut Ibnu Jarir al-Thabari (seorang ahli tafsir),
bahwa musyrikah yang dilarang untuk dikawini itu ialah mussyrikah dari kalangan
dari bangsa Arab saja, karena bangsa Arab pada waktu turunnya Al-Qur’an memang
tidak mengenal kitab suci dan mereka menyembah berhala. Maka menurut pendapat
ini, seorang muslim boleh kawin dengan wanita musyrik dari bangsa non-Arab,
seperti wanita Cina, India dan Jepang, yang diduga dahulu mempunyai kitab suci
atau serupa kitab suci, seperti pemeluk agama Bhuda,Hindu, konghucu, yang
percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, percaya hidup setelah mati, dan sebagainya.
Tetapi kebanyakan ulama berpendapat, bahwa semua musyrik baik dari bangsa
Arab ataupun dari bangsa non-Arab, selain Ahlul Kitab, yakni Yahudi dan Kristen
tidak boleh dikawini. Menurut pendapat ini bahwa wanita yang bukan Islam , dan
bukan pula Yahudi/Kristen tidak boleh dikawini oleh pria Muslim, apapun agama
ataupun kepercayaannya, seperti Bhuda, hindu, Konghucu, karena pemeluk agama
selain Islam, Kristen dan Yahudi itu termasuk kategori “Musyrikah”.
2 Perkawinan antar seorang pria Muslim dengan
wanita Ahlul Kitab.
Kebanyakan ulama berpendapat, bahwa seorang pria Muslim boleh kawin
dengan wanita Ahlul Kitab (Yahudi/Kristen), berdasarkan firman Allah dalam
Surat Al-Maidah ayat 5:
“Dan dihalalkan
mengawini wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang
beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang
diberi kitab suci sebelum kamu”.
Selain berdasarkan Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 5, juga berdasarkan
sunah Nabi, di mana Nabi pernah kawin dengan wanita Ahlul Kitab, yakni Mariah
al-Qibtiyah (Kristen). Demikian pula seorang sahabat Nabi yang termasuk senior
bernama Hudzaifah bin al-Yaman pernah kawin dengan seorang wanita Yahudi,
sedang para Sahabat tidak ada yang menentangnya.
Namun demikian, ada sebagian ulama yang melarang perkawinan antar seorang
pria Muslim dengan wanita Kristen atau Yahudi, karena pada hakikatnya doktrin
dan praktek ibadahnya mengandung unsur syirik yang cukup jelas, misalnya ajaran
trinitas dan mengkultuskan Nabi Isa dan Ibunya Maryam (Maria) bagi umat
Kristen, dan kepercayan Uzair putra Allah dan mengkultuskan Haikal Nabi
Sulaiman bagi umat Yahudi.
3. Perkawinan antara seorang wanita Muslimah
dengan pria non Muslim
Ulama telah sepakat, bahwa Islam melarang perkawinan antara seorang
wanita muslimah dengan pria non Muslim, baik calon suaminya itu termasuk
pemeluk agama yang mempunyai kitab suci, seperti Kristen dan Yahudi, ataupun
pemeluk agama yang mempunyai kitab serupa kitab suci, seperti Budhisme,
Hiduisme, maupun pemeluk agama atau kepercayaan yang tidak mempunyai kitab suci
dan juga kitab yang serupa kitab suci.
Termasuk pula
disini penganut Animisme, Ateisme, Politeisme dan sebagainya.
Adapun dalil yang menjadi dasar hukum untuk larangan kawin antara wanita
Muslimah dengan pria non Muslim, ialah :
a. Firman
Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 221, yang mengatakan bahwa:
“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita
yang mukmin sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak beriman lebih baik
daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu”
b. Ijma
para ulama tentang larangan perkawinan antara wanita Muslimah dengan pria non Muslim.
BAB
III
KESIMPULAN
DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan
uraian pada bab II, penyusun memiliki beberapa kesimpulan. Kesimpulan itu
diantaranya :
1. Perkawinan
campuran menurut hukum positif yang ada
di Indonesia, berdasarkan UU Perkawinan No. 1 tahun 1974, pasal 54 menyatakan
bahwa “ perkawinan campuran itu
adalah perkawinan antar 2 orang yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan
dan salah satu pihak berkewarganegaraan
Indonesia”. Jadi menurut hukum positif di Indonesia perkawinan campuran bukan
perkawinan beda agama tapi perkawinan karena perbedaan kewarganegaraan.
Tapi
ada pasal lain pada UU perkawinan tersebut yang menyatakan bahwa suatu
perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya.
2. Perkawinan
beda agama menurut pandangan hukum Islam tidak diperbolehkan karena
bertentangan dengan Al-Qur’an, surat Al-Baqarah ayat 221. walaupun ada para
ulama yang membolehkan perkawinan beda agama asal seorang pria muslim yang
menikah dengan wanita Ahlul Kitab, hal ini karena didasarkan pada Al-Qur’an
Surat Al-Maidah ayat 5, dan sunah Nabi.
3.2 Saran
Pada kesempatan ini penyusun memiliki beberapa saran. Saran ditujukan
kepada pihak-pihak yang berkepentingan, diharapkan pihak-pihak tersebut dapat
melaksanakan saran itu. Saran-saran itu diantaranya :
1. Kepada
pria muslim dan wanita muslimah berhati-hatilah dalam memilih pasangan hidup
(jodoh), jangan sampai tergoda untuk menikah dengan pria/wanita yang berbeda
agama, karena Islam (agama yang kita anut) tidak memperbolehkan kawin beda
agama.
2. Kepada
kaum muda-mudi jangan karena cinta yang dalam jadi tergoda untuk menikah dengan
pria/wanita beda agama, apalagi untuk pindah agama karena cinta. Sesungguhyna
Allah SWT dan Rasul-Nya sangat tidak meridhoi perbuatan seperti itu.
DAFTAR PUSTAKA
Zuhdi Masjfuk,
Drs. Prof. (1987). Masail Fiqhiyah.
Jakarta : CV Haji Masagung.
S. Purwoto, Drs.
(1990). Perkawinan Beda Agama.
Jakarta : CV Mandiri
Tag :
MAKALAH AGAMA
0 Komentar untuk "Contoh Makalah Agama Tentang Perkawinan Antar Orang Yang Berlainan Agama Menurut Hukum Positif Di Indonesia Dan Hukum Islam"