BAB I
PENDAHULUAN
A.
Peranan Milier Pada Masa Orde Lama
Sejarah
kekuasaan Orde Baru adalah sejarah neo-fasisme (militer), yaitu suatu dan
korporatisme. Ciri dari pemerintahan neo-fasisme militer ini adalah
mengandalkan kekuatan militer untuk menganhcurkan organisasi-organisasi massa
(kekuatan sipil) dan menghilangkan semua gerakan militant. Bibit-bibitnya telah
muncul sejak masa Demokrasi Terpimpin, dan diaplikasikan “nyaris” sempurna pada
masa Orde Baru. Meskipun ketetapan bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI)
sebagai kekuatan sosial baru dikukuhkan pada tahun 1982, yaitu melalui UU No.
20/1982, namun prakteknya peran sosial-politik TNI telah berjalan sejak tahun
1960-an. Terutama, sejak Soeharto berkuasa pada tahun 1966, peran
sosial-politik TNI semakin membesar. Peran social-politik TNI ini kemudian
lebih dikenal dengan sebutan “dwi fungsi ABRI/TNI”.
Dwi fungsi
TNI ini muncul sebagai refleksi atas pengalaman politik masa sebelumnya.
Sebelum tahun 1952, hamper semua keputusan-keputusan politik ditentukan oleh
politis-sipil, sementara campur tangan militer di politik sangat minim dan
tidak signifikan. Akibatnya, keberadaan militer menjadi bergantung kepada
kemauan politisi sipil. Ketika kabinet Wilopo melakukan berbagai penghematan
dalam anggaran dan belanja Negara, termasuk memperkecil anggaran di sektor
pertahanan, Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX melakukan
rasionalisasi organisasi TNI. Akibatnya sekitar 80.000 anggota militer terancam
di-demobilisasi.
1. Konsep
Dwi Fungsi Abri
Peringatan
ulang tahun Akademi Militer Nasional (AMN) pada 12 November 1958 di Magelang,
dan istilah “dwi fungsi” diperkenalkan kemudian pada rapat pimpinan Polri di
Porong tahun 1960. Dwi fungsi merupakan istilah untuk menyebut dua peran
militer, yaitu fungsi tempur dan fungsi “Pembina wilayah” atau Pembina
masyarakat. Nasution menganggap bahwa, “TNI bukan sekedar sebagai alat sipil
sebagaimana terjadi di Negara-negara Barat dan bukan pula sebagai rezim militer
yang memegang kekuasaan Negara. Dwi fungsi merupakan kekuatan sosial, kekuatan
rakyat yang bahu-membahu dengan kekuatan rakyat lainnya.
2.
Militer Pada Masa Orde Lama
Pada 28 Juli
1952 parlemen mengadakan serangkaian siding yang membahas persoalan-persoalan
Kementrian Pertahanan dan Angkatan Perang, khususnya persoalan internal TNI AD.
Namun pimpinan TNI AD menganggap bahwa debat tersebut telah membuka aib TNI AD.
Sehingga, para pimpinan TNI AD, terutama yang berhaluan kanan marah karena
menganggap para politisi sipil telah mencampuri urusan internal TNI AD.
Meskipun
Sukarno berhasil menggagalkan kudeta, namun militer berhasil mendapatkan bargaining position, di arena politik nasional.
Pada tahun 1957, terjadi pemberontakan di beberapa daerah, sehingga peran
militer semakin dibutuhkan, dan sejak saat itu, perannya semakin besar pula di
bidang politik.
Satu-satunya
kelompok sipil yang kritis terhadap militer AD hanyalah Partai Komunis
Indonesia (PKI). Setelah pemberangusan partai-partai politik di awal tahun
1960-an, kekuatan politik nasional hanya terdiri dari tiga, yaitu Sukarno, PKI
dan Militer (AD). Antara PKI dan TNI saling bersaing dan melakukan “maneuver”
untuk menarik perhatian Sukarno. Sejak tahun 1963, peristiwa demi peristiwa
telah mempengaruhi dinamikan hubungan segitiga kekuasaan n tersebut. Sebagai
missal, pergantian KSAD dari Nasution kepada Ahmad Yani pada Juni 1962,
pencabutan Undang-undang Keadaan Bahaya (SOB) pada November 1962, dianggap
telah menguntungkan PKI. Perihal diangkatnya Yani tersebut dianggap sebagai
kemunduran serius bagi kelompok Nasution yang mendukung militer sebagai kekuata
politik yang utuh. Setelah dilantik sebagai KSAD, A. Yani segera mengganti sejumlah Pangima daerah yang berani menentang Sukarno
dengan isu-isu komunis.
Tetapi,
ketika Maret 1963 terjadi kerusuhan anti-cina di Jawa Barat pada saat Sukarno
berkunjung ke Cina, kelompok AD dianggap berhasil mempermalukan Sukarno dan
sekaligus memperlemah PKI. Kerusuhan tersebut disinyalir sengaja dilakukan oleh
militer karena pada saat itu sejumlah komandan militer setempat terlihat
bekerjasama dengan perusuh. Kemudian pada tahun 1965, terjadi peristiwa
controversial “G-30-S”, yang tidak saja mematikan gerakan PKI di Indonesia,
tetapi juga merubuhkan kekuasaan politik Sukarno. Sehingga, militer
menjadi satu-satunya pemenang, dan
segeralah babak Orde Baru dimulai. Sejak saat itu, militer mendominasi hamper
di seluruh bidang sosial, politik dan ekonomi nasional.
B.
Militer Pada Masa Orde Baru
Agar
keberadaan militer di bidang sosial-politik diakui, maka pemerintah militer
Orde Baru melakukan langkah-langkah yuridis sebagai berikut:
- Memasukan dwi fungsi ABRI dalam GBHN, tentang ABRI sebagai modal dasar pembangunan.
- UU No. 20/1982, tentang pokok-pokok HanKam Negara.
- UU No. 2/1988.
- UU No. 1/1989.
Dua produk
Undang-undang yang terakhir merupakan penyempurnaan dari produk UU sebelumnya.
Setidak-tidaknya, terdapat tiga peran militer pada masa orde baru yang
berakibat buruk bagi kehidupan demokrasi.
Pertama adalah menempati jabatan-jabatan politis seperti
menteri, gubenur, bupati, anggota Golkar dan
duduk mewakilinya di DPR. Misalnya, pada tahun 1966, anggota militer yang
menjadi menteri sebanyak 12 orang dari 27 anggota kabinet dan 11 anggota
militer yang menempati jabatan strategis di departemen-departemen urusan sipil.
Di DPR, sebanyak 75 anggota militer duduk mewakili militer. Di tingkat daerah
pada tahun 1968, sebanyak 68 % gubenur dijabat oleh anggota militer, dan 92 %
pada tahun 1970. Sementara, pada tahun 1968, terdapat sebanyak 59 % bupati di
Indonesia berasal dari anggota militer. Kemudian pada tahun 1973, jumlah
militer yang menjadi menteri sebanyak 13 orang, sebanyak 400 anggota militer
dikaryakan di tingkat pusat, dan 22 dari 27 gubenur di Indonesia dijabat oleh
militer. Hingga tahun 1982, sebanyak 89 % jabatan-jabatan strategis di tingkat
pusat yang berkaitan dengan persoalan sipil dijabat oleh anggota militer.
Kemudian pasca pemilu 1987, sebanyak 80 % anggota DPR dari fraksi ABRI dan
sebanyak 34 perwira senior menjadi anggota DPR melalui fraksi Golkar.
Kemudian, 120 anggota militer terpilih
sebagai pimpinan Golkar daerah dan hampir 70 % wakil daerah dalam kongres
nasional Golkar berasal dari militer. Jumlah fraksi ABRI di DPR
juga meningkat dari 75 menjadi 100. Kenaikan ini dianggap tidak layak,
karena jumlah ABRI hanya 500.000 orang ( Cholisin, 2002 dan pakpahan, 1994).
Banyaknya anggota militer yang duduk di parlemen telah mempengaruhi
keputusan-keputusan yang di buat oleh DPR. Misalnya, pengalaman masa kerja DPR
dari 1971-1977, dan 1977-1982, fraksi ABRI terlihat paling keras menentang
penggunaan hak interpelasi dan angket pada kasus korupsi di Pertamina yang
diusulkan oleh F-PP dan F-DI (pakpahan, 1994:159). Sikap yang sama juga
ditunjukkan oleh F-ABRI dalam menolak usulan penggunaan hak angket pada kasus
pembunuhan massal di Tanjung Priok.
Kedua adalah menghegemoni kekuatan-kekuatan sipil. Contoh
yang paling mencolok pada kasus ini adalah pembentukan Ikatan Cendekiawan
Muslim Indonesia (ICMI), yang dapat diartikan sebagai salah satu upaya
“mengendalikan” kekuatan intelektual (sipil) melalui sebuah lembaga. Hal ini
bertentangan dengan hakikat cendekiawan yang berpikiran bebas dan kreatif, tetapi diikat dalam suatu
wadah yang bersifat ideologis. Sebelumnya, militer selalu menganggap bahwa
intelektual Indonesia terlalu “bias barat”. Dengan kelahiran ICMI, diharapkan
intelektual tidak lagi “bias barat”, tetapi lebih “bersahabat” dengan militer.
Contoh lain terjadi pada Maret 1997, di mana Kassospol ABRI, Letjen Syarwan
Hamid mengumpulkan para guru besar dari seluruh Indonesia di Bogor. Tujuan dari
pengumpulan para profesor tersebut adalah untuk “memberi informasi” mengenai
bahaya Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan bangkitnya komunisme baru. Rejim
militer orde baru menganggap bahwa PRD dianggap berbahaya selain karena
beraliran kiri dan diasosiasikan dengan komunis dan PKI, PRD juga dituduh
sebagai dalang kerusuhan peristiwa 27 Juli 1996. Militer mendikotomikan antara
Barat dan Timur secara oposisional. Barat adalah sesuatu yang berbau asing,
sekular dan sangat bertentangan dengan Timur yang relijius dan menjunjung
tinggi kesantunan. Oleh karena itu, untuk melihat Indonesia maka tidak dapat
dipahami dengan kerangka struktural Barat yang liberal. Hal tersebut juga
berlaku untuk melihat kedudukan militer di Indonesia. Dalam menghadapi berbagai
persoalan, termasuk isu demokratisasi dan hak asasi manusia, militer selalu
mendefinisikan bahwa Indonesia memiliki keunikan tersendiri sehingga memerlukan
penanganan sendiri sesuai dengan kepentingan militer.
Ketiga adalah melakukan tindakan-tindakan represif
terhadap rakyat. Beberapa kasus yang terjadi pada masa ini adalah orde baru
melakukan pembunuhan terhadap ratusan ribu anggota PKI dan pendukung Soekarno,
serta memenjarakan ribuan lainnya tanpa proses pengadilan (1966-1971),
pembunuhan massal terhadap anggota kelompok Islam
di Tanjung Priok (1984), kasus tanah petani di Jenggawah (1989), pelaksanaan
operasi militer di Aceh ( 1989-1999), Timor Lorosae (1980-1999), dan Papua
(1960-1999), penggusuran dan intimidasi penduduk di Kedung Ombo, Jawa Tengah
(1989), Penembekan penduduk di sekitar waduk Nipah, Madura (1993), intidimidasi
terhadap pendukung non Golkar menjelang setiap pemilu (1971, 1977, 1982, 1987,
1992, 1997), penyerangan terhadap kantor PDI (1996), Penculikan aktivis pro
demokrasi (1997), penembekan empat mahasiswa Trisakti (1998), tregedi Semanggi
(1998) dan masih banyak lagi peristiwa-peristiwa lainnya, yang karena terjadi
di wilayah pedalaman dan jumlah korbannya sedikit sehingga tidak diberitakan
secara luas (Noorsalim, 2003).
C.
Militer Pada Masa Reformasi
Setelah Soeharto turun dari jabatan presiden pada Mei
1998, telah terjadi tiga kali pergantian presiden di Indonesia, yaitu Habibie
(1998-1999), Abdurahman Wahid (1999-2000) dan Megawati (2002-kini). Masa yang
oleh sebagian kalangan disebut masa reformasi ini “sempat” mendorong para
militer TNI untuk meninggalkan perannya di bidang politik. Menjelang 1998,
tekanan yang luar biasa dilakukan oleh mahasiswa dan rakyat telah menyebabkan
TNI kehilangan wibawa dan melemahkan bargaining
position militer di arena politik nasional. Tuntutan terhadap TNI untuk
meninggalkan arena politik tersebut nyaris saja terpenuhi. Namun, dorongan itu
tidak terlalu kuat, sehingga lambat laun peranan militer dalam bidang politik
kembali menguat.
Kembalinya militer dalam bidang politik dikarenakan
kelompok sipil terlalu lemah dan cenderung inferior di hadapan militer. Selain
itu, kelompok sipil cenderung menganggap dirinya paling benar dan paling
berjasa atas turunya Soeharto dan bergulirnya reformasi. Besarnya dukungan
rakyat terhadap politisi sipil di DPR untuk menghilangkan peran politik TNI
ditanggapi setengah hati. Hal tersebut nampat pada TAP MPR No. VII/2000 yang
hanya memutuskan bahwa anggota TNI masih diperkenankan duduk di parlemen hingga
2009. Adapun bunyi TAP tersebut sebagai berikut:
Selain alasan tersebut diatas, ternyata TNI memang tidak
menghendaki perannya di bidang politik berakhir, “nyaris hilang”. Pada awal
reformasi 1998, kelompok militer politik nyaris kalah secara politik. Hal ini
ditandai dengan digusurnya beberapa perwira militer dari jabatan strategis.
Misalnya, bupati, gubenur, menteri pertahanan, dan jabatan-jabatan lain
diusahakan untuk tidak dijabat oleh militer lagi. Selain itu, nampak pula
kedudukan TNI/Polri dalam lembaga perwakilan rakyat juga mulai dibatasi.
Tag :
MAKALAH
0 Komentar untuk "Contoh Makalah Peran Militer Pada Masa Orde Baru Dan Masa Reformasi Bab I"