BAB I
PENDAHULUAN
SEJARAH AGAMA HINDU DAN BUDDHA DI INDONESIA
Agama Hindu dan Buddha merupakan Agama yang berasal dari
negara India, yang pada perjalanannya menjadi salah satu agama-agama terbesar
pengikutnya. Secara garis besar perkembangan agama Hindu dibedakan
menjadi tiga tahap. Tahap pertama berlangsung sekitar abad
1500-1000 SM yang dikenal dengan agama Weda. Tahap kedua ditandai dengan
munculnya agama Brahman (1000-750 SM), tahap kedua adalah zaman agama Buddha
yang berlangsung sekitar 500 SM-300 M. yang mempunyai corak berbeda dengan
agama Weda. Tahap ketiga ditandai dengan munculnya pemikiran-pemikiran
kefilsafatan yang berpusat di sekitar sungai Gangga (750-300 M), dan tahap yang
ketiga adalah apa yang dikenal dengan agama Hindu yang berlangsung sejak 300 M.
sampai sekarang.[1] Agama Hindu berkembang hingga ke luar India termasuk
Indonesia, yang dibawa oleh para Rsi atau para Brahman. Agama Hindu merupakan
agama impor yang pertama kali masuk ke Indonesia dan berinteraksi dengan
masyarakat Indonesia yang notabenenya sudah mempercayai Animisme dan Dinamisme.
Sedangkan
agama Buddha sendiri bisa dikatakan sebagai pembaharu dari agama Hindu yang
dibawa oleh Sidharta Gautama. Yang pada perjalannya sang Buddha sendiri
melakukan pengembaraan untuk mencari penerahan yang abadi. Berbeda halnya
dengan agama hindu, agama Buddha lebih banyak berkembang di Cina di bandingkan
dengan asal mulanya agama tersebut yaitu India.
Sedangakan
Agama Hindu dan Buddha masuk di Indonesia sekitar abad ke 7 M, yang dibawa oleh
para Rsi maupun para Bikhhu. Harun Hadiwijono mengatakan bahwa kira-kira
abad ke 15 SM. nenek moyang bangsa Indonesia memasuki Indoneisa dari daratan
Cina Selatan, dengan melewati dua jalur, yaitu jalur utara dan barat.
Jalur utara melewati Jepang, Taiwan, Pilipin, dan menyebrang di Sulawesi,
Indoneisa bagian Timur, Irian dan Melanesia, sedangakan jalur barat melewati
Indo Cina, Siam, Malaya, serta menyebar di Sumatra, Jawa dan
Kalimantan.[2] Dan dari perjalan atau jalur tersebut, saya berpendapat
ini merupakan salah satu cara masuknya atau berkembanganya pengaruh agama Hindu
dan Buddha di Indonesia.
Dalam bab
selanjutnya akan dibahas tentang kedatangan awal agama Hindu-Buddha dan
pembawanya berdasarkan analisis teori. Selanjutnya membicarakan
bagaimana interaksi dengan kebudayaan Indonesia dan perkembangan Agama
Hindu-Buddha di Indonesia yang ditandai dengan banyaknya peninggalan kerajaan
atau berupa prasasti, bangunan dan segala aspek yang bercorakan Hindu-Buddha.
Pada pembahasan selanjutnya kita membahas tentang persamaan dan perbedaan Agama
Hindu-Buddha di India, Jawa dan Bali. Dan pada pembahasan terakhir kita
membicarakan Hindu Dharma dan Buddha Dharma yang mana ini merupakan ciri khas
agama Hindu-Buddha yang ada di Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Kedatangan Awal Agama Hindu-Buddha di Indonesia dan Pembawanya (Analisis Teori)
Di Benua
Asia terdapat dua negeri besar yang tingkat peradabannya dianggap sudah tinggi,
yaitu India dan Cina. Kedua negeri ini menjalin hubungan ekonomi dan
perdagangan yang baik dengan Negara-negara tetangga lainnya. Arus lalu
lintas perdagangan dan pelayaran berlangsung melalui jalan darat dan laut.
Salah satu jalur lalu lintas laut yang dilewati India-Cina adalah Selat
Malaka. Dan Indonesia terletak di jalur dua benua dan dua samudera, serta
berada di dekat Selat Malaka.
Proses
Masukknya Agama Hindu-Buddha ke Indonesia.
Peta Jalur
Perdagangan Laut Asia Tenggara
Agama
Hindu- Budha berasal dari India, yang kemudian menyebar ke Asia Timur dan
Asia Tenggara termasuk Indonesia. Indonesia sebagai negara kepulauan letaknya
sangat strategis, yaitu terletak diantara dua benua (Asia dan Australia) dan
dua samudra (Indonesia dan Pasifik) yang merupakan daerah persimpangan lalu
lintas perdagangan dunia. Untuk lebih jelasnya, silahkan amati gambar
peta jaringan perdagangan laut Asia Tenggara di atas.
Awal abad
Masehi, jalur perdagangan tidak lagi melewati jalur darat (jalur sutera)
tetapi beralih kejalur laut, sehingga secara tidak langsung perdagangan antara
Cina dan India melewati selat Malaka. Untuk itu Indonesia ikut berperan aktif
dalam perdagangan tersebut. Akibat hubungan dagang tersebut, maka terjadilah
kontak/hubungan antara Indonesia dengan India, dan Indonesia dengan Cina. Hal
inilah yang menjadi salah satu penyebab masuknya budaya India ataupun budaya
Cina ke Indonesia. Mengenai siapa yang membawa atau menyebarkan agama Hindu -
Budha ke Indonesia, tidak dapat diketahui secara pasti, walaupun demikian para
ahli memberikan pendapat tentang proses masuknya agama Hindu - Budha atau
kebudayaan India ke Indonesia.
Keterlibatan
bangsa Indonesia dalam kegiatan perdagangan dan pelayaran internasional
tersebut menyebabkan timbulnya percampuran budaya. Misalnya saja India, negara
pertama yang memberikan pengaruh kepada Indonesia, yaitu dalam bentuk budaya
Hindu. Para sejarawan mengatakan bahwa banyak pendapat atau teori
masuknya agama hindu di Indonesia, antara lain:[3]
1.
Teori Brahman
Teori ini
di kemukakan oleh J.C. Van Leur, berpendapat bahwa agama Hindu masuk ke
Indonesia dibawa oleh kaum Brahman. Hanya kaum Brahmanalah yang berhak
mempelajari serta mengajarkan agama Hindu karena hanya kaum Brahmanlah yang
mengerti isi kitab suci Weda. Kedatangan Kaum Brahmana tersebut
diduga karena undangan Penguasa/Kepala Suku di Indonesia atau sengaja datang
untuk menyebarkan agama Hindu ke Indonesia. Beliau juga
mengatakan bahwa kaum Brahman sangat berperan dalam penyebaran agama dan
kebudayaan agama Hindu ke Indonesia.
2.
Teori Ksatria
Terdapat
dua pendapat mengenai teori Ksatria yang pertama menurut Prof.Dr.Ir.J.L.Moens
berpendapat bahwa yang membawa agama Hindu ke Indonesia adalah kaum ksatria
atau golongan prajurit, karena adanya kekacauan politik/peperangan di India
abad 4 - 5 M, maka prajurit yang kalah perang terdesak dan menyingkir ke
Indonesia, bahkan diduga mendirikan kerajaan di Indonesia. Yang
dikemukakan oleh F.D.K. Bosch, menyatakan bahwa adanya raja-raja dari India
yang datang menaklukan daerah-daerah tertentu di Indonesia yang telah
mengakibatkan penghinduan penduduk setempat.
3.
Teori Wasiya
Yang
dikemukakan oleh N.J. Krom, mengatakan bahwa pengararuh Hindu masuk ke
Indonesai melalui golongan pedagang dari kasta waisya yang menetap di Indonesai
dan kemudian memegang peranan penting dalam proses penyebaran kebudayaan India
termasuk agama Hindu.
4.
Teori Sudra
Von van
Faber, menyatakan bahwa agama Hindu masuk ke Indonesia dibawah oleh kasta
sudra. Tujuan mereka adalah mengubah kehidupan karena di India mereka hanya
hidup sebagai pekerja kasar dan budak. Dengan jumlah yang besar, diduga
golongan sudralah yang memberi andil dalam penyebaran agama dan kebudayaan
Hindu ke Nusantara.
5.
Teori Campuran
Teori ini
beranggapan bahwa baik kaum brahmana, ksatria, para pedagang, maupun golongan
sudra bersama-sama menyebarkan agama Hindu ke Indonesia sesuai dengan peran
masing-masing.
6.
Teori Arus Balik
Teori arus
blik ini tidak hanya berlaku untuk proses masuknya agamaHindu ke Indonesia saja
melainkan untuk agama Buddha juga. Para ahli mengatakan bahwa banyak
pemuda di Indonesia yang belajar agama Hindu dan Buddha ke India.
Di perantauan mereka mendirikan organisasi yang disebut Sanggha.
Setelah memperoleh ilmu yang banyak, mereka kembali untuk
menyebarkannya. Sedangakan menurut pendapat FD. K. Bosh, teori arus balik
ini menekankan peranan bangsa Indonesia dalam proses penyebaran kebudayaan
Hindu dan Budha di Indonesia. Menurutnya penyebaran budaya India di Indonesia
dilakukan oleh para cendikiawan atau golongan terdidik. Golongan ini dalam
penyebaran budayanya melakukan proses penyebaran yang terjadi dalam dua tahap
yaitu sebagai berikut: Pertama, proses penyebaran di lakukan oleh golongan pendeta
Buddha atau para biksu, yang menyebarkan agama Budha ke Asia termasuk Indonesia
melalui jalur dagang, sehingga di Indonesia terbentuk masyarakat Sangha, dan
selanjutnya orang-orang Indonesia yang sudah menjadi biksu, berusaha belajar
agama Budha di India. Sekembalinya dari India mereka membawa kitab suci, bahasa
sansekerta, kemampuan menulis serta kesan-kesan mengenai kebudayaan India.
Dengan demikian peran aktif penyebaran budaya India, tidak hanya orang
India tetapi juga orang-orang Indonesia yaitu para biksu Indonesia tersebut.
Hal ini dibuktikan melalui karya seni Indonesia yang sudah mendapat pengaruh
India masih menunjukan ciri-ciri Indonesia. Kedua, proses penyebaran
kedua dilakukan oleh golongan Brahmana terutama aliran Saiva-siddharta. Menurut
aliran ini seseorang yang dicalonkan untuk menduduki golongan Brahmana harus
mempelajari kitab agama Hindu bertahun-tahun sampai dapat ditasbihkan menjadi
Brahmana. Setelah ditasbihkan, ia dianggap telah disucikan oleh Siva dan dapat
melakukan upacara Vratyastome / penyucian diri untuk menghindukan seseorang
Pada
dasarnya teori Brahmana, Ksatria dan Waisya memiliki kelemahan yaitu,
golongan Ksatria dan Waisya tidak mengusai bahasa Sansekerta. Sedangkan bahasa
Sansekerta adalah bahasa sastra tertinggi yang dipakai dalam kitab suci
Weda. Dan golongan Brahmana walaupun menguasai bahasa
Sansekerta tetapi menurut kepercayaan Hindu kolot tidak boleh menyebrangi laut.
Jadi
hubungan dagang telah menyebabkan terjadinya proses masuknya penganut Hindu -
Budha ke Indonesia. Beberapa teori di atas menunjukan bahwa masuknya
pengaruh Hindu - Budha merupakan satu proses tersendiri yang terpisah namun
tetap di dukung oleh proses perdagangan.
Untuk
agama Budha diduga adanya misi penyiar agama Budha yang disebut dengan Dharmaduta,
dan diperkirakan abad 2 Masehi agama Budha masuk ke Indonesia. Hal ini
dibuktikan dengan adanya penemuan arca Budha yang terbuat dari perunggu
diberbagai daerah di Indonesia antara lain Sempaga (Sulsel), Jember (Jatim),
Bukit Siguntang (Sumsel). Dilihat ciri-cirinya, arca tersebut berasal dari
langgam Amarawati (India Selatan) dari abad 2 - 5 Masehi. Dan di samping itu
juga ditemukan arca perunggu berlanggam Gandhara (India Utara) di Kota Bangun,
Kutai (Kaltim).
Pada
umumnya para ahli cenderung kepada pendapat yang menyatakan bahwa masuknya
budaya Hindu ke Indonesia itu dibawa dan disebarluaskan oleh orang-orang
Indonesia sendiri. Bukti tertua pengaruh budaya India di Indonesia adalah
penemuan arca perunggu Buddha di daerah Sempaga (Sulawesi Selatan).
Dilihat dari bentuknya, arca ini mempunyai langgam yang sama dengan arca
yang dibuat di Amarawati (India). Para ahli memperkirakan, arca Buddha
tersebut merupakan barang dagangan atau barang persembahan untuk bangunan suci
agama Buddha. Selain itu, banyak pula ditemukan prasasti tertua dalam bahasa
Sanskerta dan Malayu kuno. Berita yang disampaikan prasasti-prasasti itu
memberi petunjuk bahwa budaya Hindu menyebar di Kerajaan Sriwijaya pada abad
ke-7 Masehi.[4]
2.
Interaksi Dengan Kebudayaan Indonesia dan Perkembanganya
Indonesia
adalah negara yang kaya akan budaya, dan sangat erat kaitanya dengan tindak
tutur manusia dalam kehidupannya sehari-hari. Khususnya Pulau Jawa
tradisi lokal pribumi Jawa sendiri sejak dulu telah mewarnai kebudayaan
setempat. Di tambah lagi dengan masuknya pengaruh dari Hindu-Buddha yang
di terima dengan baik dan ramah oleh orang-orang Jawa karena memang banyak
kesamaan dengan kepecayaan asli bangsa Indonesia. Perkembangan
Hindu-Buddha di Indonesia banyak ditandai dengan munculnya kerajaan-kerajaan
serta bangunan-bangunan yang bercorakan Hindu-Buddha, diantaranya:
Kerajaan
dan Bangunan Yang Bercorak Hindu
a.
Kerajaan Kutai
Kerajaan
Kutai merupakan kerajaan tertua bercorak Hindu di Indonesia. Kerajaan ini terletak
di Kalimantan, tepatnya di hulu sungai Mahakam. Nama Kutai sendiri diambil dari
nama tempat ditemukannya prasasti yang menggambarkan kerajaan tersebut. Tujuh
buah yupa merupakan sumber utama bagi para ahli untuk menginterpretasikan
sejarah Kerajaan Kutai. Dari salah satu yupa tersebut, diketahui bahwa raja
yang memerintah Kerajaan Kutai saat itu adalah Mulawarman.
Mulawarman
adalah anak Aswawarman dan cucu Kudungga, Nama Mulawarman dan Aswawarman sangat
kental dengan pengaruh bahasa Sansekerta. Putra Kudungga, Aswawarman,
kemungkinan adalah raja pertama kerajaan Kutai yang bercorak Hindu. Ia juga
diketahui sebagai pendiri dinasti Kerajaan Kutai sehingga diberi gelar
Wangsakerta, yang artinya pembentuk Keluarga.
Putra
Aswawarman adalah Mulawarman. Dari yupa, diketahui bahwa pada masa pemerintahan
Mulawarman, Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah kekuasaannya
meliputi hampir seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat Kutai hidup sejahtera
dan makmur.
b.
Kerajaan Tarumanegara
Sumber
sejarah Kerajaan Tarumanegara diperoleh dari prasasti-prasasti yang berhasil
ditemukan. Namun, tulisan pada beberapa prasati, seperti pada Prasati Muara
Cianten dan Prasasti Pasir Awi sampai saat ini belum dapat diartikan. Banyak
informasi berhasil diperoleh dari tulisan pada kelima prasasti lainnya,
terutama Prasasti Tugu yang merupakan prasasti terpanjang, Tujuh prasasti dari
kerajaan Tarumanegara adalah: Prasasti Ciaruteun, Prasasti Kebon Kopi, Prasasti
Jambu, Prasasti Muara Cianten, Prasasti Tugu, Prasasti Pasir Awi, dan Prasasti
Munjul.
Sumber
sejarah penting lain yang dapat menjadi bukti keberadaan kerajaan Tarumanegara
adalah catatan sejarah pengelana Cina. Catatan sejarah pengelana Cina yang
menyebutkan keberadaan Kerajaan Tarumanegara adalah catatan perjalanan pendeta
Cina Fa-Hsein, pada tahun414 dan catatan kerajaan Dinasti Sui dan Dinasti Tang.
Dari salah satu prasasti, yakniPrasati Ciaruteun yang ditemukan di Desa
Ciampea, Bogor, diketahui bahwa Purnawarman dikenal sebagai raja yang gagah
berani. Data sejarah yang lebih jelas, terdapat pada Prasasti Tugu. Pada
prasasti yang panjang ini, dikatakan bahwa pada tahun pemerintahannya yang
ke-22, Purnawarman telah menggali Sungai Gomati. Dari prasati tersebut, dapat
disimpulkan bahwa Purnawarman memerintah dalam waktu yang cukup lama.
Kerajaan
dan Bangunan Yang Bercorak Buddha
a.
Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan
Sriwijaya didirikan ± abad ke-7 hingga tahun 1377.[5] Pada mulanya
Kerajaan Sriwijaya berpusat di sekitar Sungai Batanghari, pantai timur
Sumatra, tetapi pada perkembangannya wilayah kerajaan Sriwijaya meluas hingga
meliputi wilayah Kerajaan Melayu, Semenanjung Malaya, dan Sunda (kini wilayah
Jawa Barat). Catatan mengenai kerajaan-kerajaan di Sumatra didapat dari seorang
pendeta Buddha dari Tiongkok yang bernama I-Tsing yang pernah tinggal di
Sriwijaya antara tahun 685-689 M.
Dari
Prasasti Kedukan Bukit (683), dapat diketahui bahwa Raja Dapunta Hyang berhasil
memperluas wilayah kekuasaannya dengan menaklukan daerah Minangatamwan, Jambi.
Daerah Jambi sebelumnya adalah wilayah kerajaan Melayu. Daerah itu merupakan
wilayah taklukan pertama Kerajaan Sriwijaya. Dengan dikuasainya wilayah Jambi,
Kerajaan Sriwijaya memulai peranannya sebagai kerajaan maritim dan perdagangan
yang kuat dan berpengaruh di Selat Malaka. Ekspansi wilayah Kerajaan Sriwijaya
pada abad ke-7 menuju ke arah selatan dan meliputi daerah perdagangan Jawa di
Selat Sunda.
Kerajaan
Sriwijaya mengalami kejayaan pada masa pemerintahan Raja Balaputradewa. Pada
masa itu, kegiatan perdagangan luar negeri ditunjang juga dengan penaklukan
wilayah-wilayah sekitar. Sepanjang abad ke-8, wilayah Kerajaan Sriwijaya meluas
kea rah utara dengan menguasai Semenanjung Malaya dan daerah perdagangan di
Selat Malaka dan Laut Cina Selatan. Sejarah tentang Raja Balaputradewa dimuat
dalam dua prasasti, yaitu Prasasti Nalanda dan Prasasti Ligor.
Raja
kerajaan Sriwijaya yang terakhir adalah Sri Sanggrama Wijayatunggawarman. Pada
masa pemerintahan Sri Sanggrama Wijayatunggawarman, hubungan Kerajaan Sriwijaya
dan kerajaan Chola dari India yang semula sangat erat mulai renggang. Hal itu
disebabkan oleh seranggan yang dilancarkan Kerajaan Chola di bawah pimpinan
Rajendracoladewa atas wilayah Sriwijaya di semenanjung Malaya.
Serangan-serangan tersebut menyebabkan kemunduran kerajaan Sriwijaya.
b.
Sailendra di Mataram
Sekitar
tahun ± 775-850 M di daerah Bagelan dan Yogyakarta berkuasalah raja-raja dari
Wangsa Sailendra yang memeluk agama Buddha. Dan pada kerajaan inilah
Mataram mengalami masa keemasaan dan daerah-daerah yang berada dibawah
pemerintahan Sailendra. Dan pada masa raja Sailenra lah banyak
seniman-seniman Indonesia yang telah melahirkan karya-karya yang mengagumkan,
misalnya candi Borobudur, candi paling besar yang dibangun pada masa
pemerintahan raja Sailendra. Selain itu ada candi Pawon, Mendut, Kalasan
dan Sewu[6].
c.
Kerajaan Majapahit
Kerajaan
bercorak Hindu yang terakhir dan terbesar di pulau Jawa adalah Majapahit. Nama
kerajaan ini berasal dari buah maja yang pahit rasanya. Ketika orang-orang
Madura bernama Raden Wijaya membuka hutan di Desa Tarik, mereka menenukan
sebuah pohon maja yang berubah pahit. Padahal rasa buah itu biasanya manis.
Oleh karena itu mereka menamakna permukiman mereka itu sebagai Majapahit.
Daerah ini merupakan daerah yang diberikan Raja Jayakateang dari Kerajaan
Kediri kepada Raden Wijaya. Raja Wijaya adalah menantu Raja Kertanegara dari
kerajaan Singasari. Pada saat Kerajaan Singasari diserbu dan dikalahkan oleh
Jayakatwang, Raden Wijaya berhasil melarikan diri. Ia mencari perlindungan
kepada Bupati Madura yang bernama Arya Wiraraja. Dengan bantuan orang-orang
Madura, ia membangun pemuliman di Desa Tarik yang kemudian diberi nama
Majapahit tersebut.
Pada tahun
1292, armada Cina yang terdiri dari 1.000 buah kapal dengan 20.000 orang
prajurit tiba di Tuban, Jawa Timur. Tujuan mereka adalah menghukum Raja
Kertanegara yang menyatakan tidak mau tunduk kepada Kaisar Kubilai Khan dari
Cina. Mereka tidak mengetahui bahwa Raja Kertanegara dari Singasari itu telah
meninggal dikalahkan oleh Raja Jayakatwang dari Kediri.
Melihat
peluang ini, Raden Wijaya mengambil kesempatan untuk merebut kembali Kerajaan
Singasari. Ia menggabungkan diri dengan pasukan cina dan menyerang Raja
Jayakatwang di Kediri. Kerajaan Kediri tidak mampu menghadapi serangan itu.
Raja Jayakatwang berhasil dikalahkan. Kemenangan itu membuat pasukan Cina
bergembira dan berpesta pora. Mereka tidak menyaka kalau kesempatan itu dipakai
oleh Raden Wijaya untuk balik menyerang mereka. Pasukan Raden Wijaya berhasil
mengusir armada Cina kembali ketanah airnya. Sejak saat itu Kerajaan Majapahit
dianggap sudah berdiri.
Raden
Wijaya naik tahta sebagai Raja Majapahit pada tahun 1293 dengan gelar Sri
Kertarajasa Jayawardhana. Pada tahun 1295., berturut-turut pecah pembrontakan
yang dipimpin oleh Rangga lawe dan disusul oleh Saro serta Nambi.
Pembrontakan-pembrontakan itu bisa dipadamkan. Raden Wijaya wafat pada tahun
1309 dan mendapat penghormatan di dua tempat, yaitu Candi Simping (Sumberjati)
dan Candi Artahpura.
Setelah
Raden Wijaya wafat, putera permaisuri Tribuwaneswari yang bernama Jayanegara
menggantikannya sebagai Raja Majapahit. Pada awal pemerintahannya Jayanegara
harus menghadapi sisa pemberontakan yang meletus dimasa ayahnya masih hidup.
Selain pembrontakan Kuti dan Sumi, Raja Jayanegara diselamatkan oleh pasukan
pengawal (Bhayangkari) yang dipimpin oleh Gajah Mada ia kemudian diungsikan ke
Desa Bedager.
Raja
Jayanegara wafat tahun1328 karena dibunuh oleh salah seorang anggota
dharmaoutra yang bernama Tanca. Oleh karena ia tidak mempunyai putra ia
kemudian digantikan oleh adik perempuannya Bhre Kahuripan yang bergelar
Tribuanatunggadewi Jayawishnuwardhani. Suaminya bernama Cakradhara yang
berkuasa di Singasari dengan gelar Kertawerdhana.
Dari kitab
Negarakertagama, digambarkan adanya beberapa pemberontakan di masa pemerintahan
Ratu Tribuanatunggadewi. Pembrontakan yang paling berbahaya adalah
pemberontakan di Sadeng dan Keta pada tahun 1331. Namun pemberontakan itu
pemberontakan itu dapat dipadamkan oleh Gajah Mada. Setelah itu Gajah Mada
bersumpah di hadapan Raja dan para pembesar kerajaan bahwa ia tidak akan amukti
palapa (memakan buah palapa), sebelum ia dapat menundukan Nusantara.
Pada tahun
1334, lahirlah putra mahkota Kerajaan Majapahit yang diberi nama Hayam Wuruk. Pada
tahun 1350, Ratu Tribuanatunggadewi mengundurkan diri setelah berkuasa 22
tahun. Ia wafat pada tahun 1372. Pada tahun 1350, Hayam Muruk dinobatkan
sebagai raja Majapahit dan bergelar Sri Rajasanagara. Gajah Mada diangkat
sebagai Patih Hamangkubumi. Dibawah pemerintahan Hayam Wuruk dan Gajah Mada,
Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaannya. Kerajaan Majapahit menguasai
wilayah yang sangat luas. Hampir seluruh wilayah Nusantara tunduk pada
Majapahit.
Gajah Mada
meninggal tahun 1364. Meninggalnya Gajah Mada menjadi titik tolak kemunduran
Majapahit. Setelah Gajah Mada tidak ada negarawan yang kuat dan bijaksana.
Keadaan semakin memburuk setelah Hayam Wuruk juga meninggal pada tahun 1389.
Hayam Wuruk tidak memiliki putra mahkota. Tahta kerajaan Majapahit diberikan
pada menantunya yang bernama Wikramawardhana (suami dari putri mahkota
Kusumawardhani). Hayam Wuruk sebenarnya memiliki putra yang bernama Bhre
Wirabhumi. Namun, dia bukan anak dari permaisuri sehingga tidak berhak mewarisi
tahta Kerajaan Majapahit.
Meskipun
demikian, Wirabhumi tetap diberi kekuasaan di wilayah kekuasaan di wilayah
Kerajaan sebelah Timur, yaitu Blambangan. Dengan cara tersebut, kemungkinan
perpecahan antara Bhre Wirabhumi dan Wikramawardhana berhasil diredam. Masalah
kembali timbul ketika tahta Kerajaan Majapahit kembali kosong setelah
Kusumawardhani meninggal dunia pada tahun 1400. Wikramawardhana berniat untuk
menjadi pendeta dan menunjuk putrinya, Suhita, menjadi ratu Kerajaan Majapahit.
Pada tahun
1401, pecah perang antara keluarga Wikramawardhana dan Wirabhumi yang dikenal
sebagai Perang Paregreg. Perang Paregreg baru berakhir pada tahun 1406 dengan
terbunuhnya Bhre Wirabhumi. Parang saudara ini semakin melemahkan Kerajaan
Majapahit. Satu demi satu daerah kekuasaannya melepaskan diri. Tidak ada lagi
raja yang kuat dan mampu memerintah kerajaan yang demikian luas. Menurut
catatan. Kerajaan Majapahit runtuh sekitar tahun 1500 yang didasarkan pada
tahun bersimbol Sirna Ilang Kertaning Bhumi.
SEJARAH
MASUKNYA AGAMA HINDU DI BALI
Masa
Prasejarah
Zaman
prasejarah Bali merupakan awal dari sejarah masyarakat Bali, yang ditandai oleh
kehidupan masyarakat pada masa itu yang belum mengenal tulisan. Walaupun pada
zaman prasejarah ini belum dikenal tulisan untuk menuliskan riwayat kehidupannya,
tetapi berbagai bukti tentang kehidupan pada masyarakat pada masa itu dapat
pula menuturkan kembali keadaanya Zaman prasejarah berlangsung dalam kurun
waktu yang cukup panjang, maka bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang
sudah tentu tidak dapat memenuhi segala harapan kita.
Berkat
penelitian yang tekun dan terampil dari para ahli asing khususnya bangsa
Belanda dan putra-putra Indonesia maka perkembangan masa prasejarah di Bali
semakin terang. Perhatian terhadap kekunaan di Bali pertama-tama diberikan oleh
seorang naturalis bernama Georg Eberhard Rumpf, pada tahun 1705 yang dimuat
dalam bukunya Amboinsche Reteitkamer. Sebagai pionir dalam penelitian
kepurbakalaan di Bali adalah W.O.J. Nieuwenkamp yang mengunjungi Bali pada
tahun 1906 sebagai seorang pelukis. Dia mengadakan perjalanan menjelajahi Bali.
Dan memberikan beberapa catatan antara lain tentang nekara Pejeng, Trunyan, dan
Pura Bukit Penulisan. Perhatian terhadap nekara Pejeng ini dilanjutkan oleh K.C
Crucq tahun 1932 yang berhasil menemukan tiga bagian cetakan nekara Pejeng di
Pura Desa Manuaba, Tegallalang.
Penelitian
prasejarah di Bali dilanjutkan oleh Dr. H.A.R. van Heekeren dengan hasil
tulisan yang berjudul Sarcopagus on Bali tahun 1954. Pada tahun 1963
ahli prasejarah putra Indonesia Drs. R.P. Soejono melakukan penggalian ini
dilaksanakan secara berkelanjutan yaitu tahun 1973, 1974, 1984, 1985.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap benda-benda
temuan yang berasal dari tepi pantai Teluk Gilimanuk diduga bahwa lokasi Situs
Gilimanuk merupakan sebuah perkampungan nelayan dari zaman perundagian di Bali.
Di tempat ini sekarang berdiri sebuah museum.
Berdasarkan
bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang di Bali, kehidupan masyarakat
ataupun penduduk Bali pada zaman prasejarah Bali dapat dibagi menjadi :
- Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana
- Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut
- Masa bercocok tanam
- Masa perundagian
Masa
Berburu dan Mengumpulkan Makanan Tingkat Sederhana
Sisa-sisa
dari kebudayaan paling awal diketahui dengan penelitian-penelitian yang
dilakukan sejak tahun 1960 dengan ditemukan di Sambiran (Buleleng bagian
timur), serta di tepi timur dan tenggara Danau Batur (Kintamani) alat-alat batu
yang digolongkan kapak genggam, kapak berimbas, serut dan sebagainya. Alat-alat
batu yang dijumpai di kedua daerah tersebut kini disimpan di Museum Gedong Arca
di Bedulu, Gianyar.
Kehidupan
penduduk pada masa ini adalah sederhana sekali, sepenuhnya tergantung pada alam
lingkungannya. Mereka hidup mengembara dari satu tempat ketempat lainnya
(nomaden). Daerah-daerah yang dipilihnya ialah daerah yang mengandung
persediaan makanan dan air yang cukup untuk menjamin kelangsungan hidupnya.
Hidup berburu dilakukan oleh kelompok kecil dan hasilnya dibagi bersama. Tugas
berburu dilakukan oleh kaum laki-laki, karena pekerjaan ini memerlukan tenaga
yang cukup besar untuk menghadapi segala bahaya yang mungkin terjadi. Perempuan
hanya bertugas untuk menyelesaikan pekerjaan yang ringan misalnya mengumpulkan
makanan dari alam sekitarnya. Hingga saat ini belum ditemukan bukti-bukti
apakah manusia pada masa itu telah mengenal bahasa sebagai alat bertutur satu
sama lainnya.
Walaupun
bukti-bukti yang terdapat di Bali kurang lengkap, tetapi bukti-bukti yang
ditemukan di Pacitan (Jawa Timur) dapatlah kiranya dijadikan pedoman. Para ahli
memperkirakan bahwa alat-alat batu dari Pacitan yang sezaman dan mempunyai
banyak persamaan dengan alat-alat batu dari Sembiran, dihasilkan oleh jenis
manusia. Pithecanthropus erectus atau keturunannya. Kalau demikian
mungkin juga alat-alat baru dari Sambiran dihasilkan oleh manusia jenis Pithecanthropus
atau keturunannya.
Masa
Berburu dan Mengumpulkan Makanan Tingkat Lanjut
Pada masa
ini corak hidup yang berasal dari masa sebelumnya masih berpengaruh. Hidup
berburu dan mengumpulkan makanan yang terdapat dialam sekitar dilanjutkan
terbukti dari bentuk alatnya yang dibuat dari batu, tulang dan kulit kerang.
Bukti-bukti mengenai kehidupan manusia pada masa mesolithik berhasil ditemukan
pada tahun 1961 di Gua Selonding, Pecatu (Badung). Gua ini terletak di
pegunungan gamping di Semenanjung Benoa. Di daerah ini terdapat goa yang lebih
besar ialah Gua Karang Boma, tetapi goa ini tidak memberikan suatu bukti
tentang kehidupan yang pernah berlangsung disana. Dalam penggalian Gua
Selonding ditemukan alat-alat terdiri dari alat serpih dan serut dari batu dan
sejumlah alat-alat dari tulang. Di antara alat-alat tulang terdapat beberapa
lencipan muduk yaitu sebuah alat sepanjang 5 cm yang kedua ujungnya
diruncingkan.
Alat-alat
semacam ini ditemukan pula di sejumlah gua Sulawesi Selatan pada tingkat
perkembangan kebudayaan Toala dan terkenal pula di Australia Timur. Di luar
Bali ditemukan lukisan dinding-dinding gua, yang menggambarkan kehidupan sosial
ekonomi dan kepercayaan masyarakat pada waktu itu. Lukisan-lukisan di dinding
goa atau di dinding-dinding karang itu antara lain yang berupa cap-cap tangan,
babi rusa, burung, manusia, perahu, lambang matahari, lukisan mata dan sebagainya.
Beberapa lukisan lainnya ternyata lebih berkembang pada tradisi yang lebih
kemudian dan artinya menjadi lebih terang juga di antaranya adalah lukisan
kadal seperti yang terdapat di Pulau Seram dan Papua, mungkin mengandung arti
kekuatan magis yang dianggap sebagai penjelmaan roh nenek moyang atau kepala
suku.
Masa
Bercocok Tanam
Masa
bercocok tanam lahir melalui proses yang panjang dan tak mungkin dipisahkan
dari usaha manusia prasejarah dalam memenuhi kebutuhan hidupnya pada masa-masa
sebelumnya. Masa neolithik amat penting dalam sejarah perkembangan masyarakat
dan peradaban, karena pada masa ini beberapa penemuan baru berupa penguasaan
sumber-sumber alam bertambah cepat. Penghidupan mengumpulkan makanan (food
gathering) berubah menjadi menghasilkan makanan (food producing).
Perubahan ini sesungguhnya sangat besar artinya mengingat akibatnya yang sangat
mendalam serta meluas kedalam perekonomian dan kebudayaan.
Sisa-sisa
kehidupan dari masa bercocok tanam di Bali antara lain berupa kapak batu
persegi dalam berbagai ukuran, belincung dan panarah batang pohon. Dari teori
Kern dan teori Von Heine-Geldern diketahui bahwa nenek moyang bangsa
Austronesia, yang mulai datang di kepulauan kita kira-kira 2000 tahun S.M ialah
pada zaman neolithik. Kebudayaan ini mempunyai dua cabang ialah cabang kapak
persegi yang penyebarannya dari dataran Asia melalui jalan barat dan
peninggalannya terutama terdapat di bagian barat Indonesia dan kapak lonjong
yang penyebarannya melalui jalan timur dan peninggalan-peninggalannya merata
dibagian timur negara kita. Pendukung kebudayaan neolithik (kapak persegi)
adalah bangsa Austronesia dan gelombang perpindahan pertama tadi disusul dengan
perpindahan pada gelombang kedua yang terjadi pada masa perunggu kira-kira 500
S.M. Perpindahan bangsa Austronesia ke Asia Tenggara khususnya dengan memakai
jenis perahu cadik yang terkenal pada masa ini. Pada masa ini diduga telah
tumbuh perdagangan dengan jalan tukar menukar barang (barter) yang diperlukan.
Dalam hal ini sebagai alat berhubungan diperlukan adanya bahasa. Para ahli
berpendapat bahwa bahasa Indonesia pada masa ini adalah Melayu Polinesia atau
dikenal dengan sebagai bahasa Austronesia.
Masa
Perundagian
Gong, yang
ditemukan pula di berbagai tempat di Nusantara, merupakan alat musik yang diperkirakan
berakar dari masa perundagian.
Dalam masa
neolithik manusia bertempat tinggal tetap dalam kelompok-kelompok serta
mengatur kehidupannya menurut kebutuhan yang dipusatkan kepada menghasilkan
bahan makanan sendiri (pertanian dan peternakan). Dalam masa bertempat tinggal
tetap ini, manusia berdaya upaya meningkatkan kegiatan-kegiatannya guna
mencapai hasil yang sebesar-besarnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pada zaman
ini jenis manusia yang mendiami Indonesia dapat diketahui dari berbagai penemuan
sisa-sisa rangka dari berbagai tempat, yang terpenting di antaranya adalah
temuan-temuan dari Anyer Lor (Banten), Puger (Jawa Timur), Gilimanuk (Bali) dan
Melolo (Sumbawa). Dari temuan kerangka yang banyak jumlahnya menunjukkan
ciri-ciri manusia. Sedangkan penemuan di Gilimanuk dengan jumlah kerangka yang
ditemukan 100 buah menunjukkan ciri Mongoloid yang kuat seperti terlihat pada
gigi dan muka. Pada rangka manusia Gilimanuk terlihat penyakit gigi dan encok
yang banyak menyerang manusia ketika itu.
Berdasarkan
bukti-bukti yang telah ditemukan dapat diketahui bahwa dalam masyarakat Bali
pada masa perundagian telah berkembang tradisi penguburan dengan cara-cara
tertentu. Adapun cara penguburan yang pertama ialah dengan mempergunakan peti
mayat atau sarkofagus yang dibuat dari batu padas yang lunak atau yang keras.
Cara penguburannya ialah dengan mempergunakan tempayan yang dibuat dari tanah
liat seperti ditemukan di tepi pantai Gilimanuk (Jembrana). Benda-benda temuan
ditempat ini ternyata cukup menarik perhatian di antaranya terdapat hampir 100
buah kerangka manusia dewasa dan anak-anak, dalam keadaan lengkap dan tidak
lengkap. Tradisi penguburan dengan tempayan ditemukan juga di Anyar (Banten),
Sabbang (Sulawesi Selatan), Selayar, Rote dan Melolo (Sumba). Di luar Indonesia
tradisi ini berkembang di Filipina, Thailand, Jepang dan Korea.
Kebudayaan
megalithik ialah kebudayaan yang terutama menghasilkan bangunan-bangunan dari
batu-batu besar. Batu-batu ini mempunyai biasanya tidak dikerjakan secara
halus, hanya diratakan secara kasar saja untuk mendapat bentuk yang diperlukan.
di daerah Bali tradisi megalithik masih tampak hidup dan berfungsi di dalam
kehidupan masyarakat dewasa ini. Adapun temuan yang penting ialah berupa batu
berdiri (menhir) yang terdapat di Pura Ratu Gede Pancering Jagat di Trunyan. Di
pura in terdapat sebuah arca yang disebut arca Da Tonta yang memiliki ciri-ciri
yang berasal dari masa tradisi megalithik. Arca ini tingginya hampir 4 meter.
Temuan lainnya ialah di Sembiran (Buleleng), yang terkenal sebagai desa Bali
kuna, disamping desa-desa Trunyan dan Tenganan. Tradisi megalithik di desa
Sembiran dapat dilihat pada pura-pura yang dipuja penduduk setempat hingga
dewasa ini. dari 20 buah pura ternyata 17 buah pura menunjukkan bentuk-bentuk megalithik
dan pada umumnya dibuat sederhana sekali. Di antaranya ada berbentuk teras
berundak, batu berdiri dalam palinggih dan ada pula yang hanya merupakan
susunan batu kali.
Temuan
lainnya yang penting juga ialah berupa bangunan-bangunan megalithik yang
terdapat di Gelgel (Klungkung).Temuan yang penting di desa Gelgel ialah sebuah
arca menhir yaitu terdapat di Pura Panataran Jro Agung. Arca menhir ini dibuat
dari batu dengan penonjolan kelamin wanita yang mengandung nilai-nilai
keagamaan yang penting yaitu sebagai lambang kesuburan yang dapat memberi
kehidupan kepada masyarakat.
Masuknya
Agama Hindu
Gua Gajah
(sekitar abad XI), salah satu peninggalan masa awal periode Hindu di Bali.
Berakhirnya
zaman prasejarah di Indonesia ditandai dengan datangnya bangsa dan pengaruh
Hindu. Pada abad-abad pertama Masehi sampai dengan lebih kurang tahun 1500,
yakni dengan lenyapnya kerajaan Majapahit merupakan masa-masa pengaruh Hindu.
Dengan adanya pengaruh-pengaruh dari India itu berakhirlah zaman prasejarah
Indonesia karena didapatkannya keterangan tertulis yang memasukkan bangsa
Indonesia ke dalam zaman sejarah. Berdasarkan keterangan-keterangan yang
ditemukan pada prasasti abad ke-8 Masehi dapatlah dikatakan bahwa periode
sejarah Bali Kuno meliputi kurun waktu antara abad ke-8 Masehi sampai dengan
abad ke-14 Masehi dengan datangnya ekspedisi Mahapatih Gajah Mada dari
Majapahit yang dapat mengalahkan Bali. Nama Balidwipa tidaklah merupakan nama
baru, namun telah ada sejak zaman dahulu. Hal ini dapat diketahui dari beberapa
prasasti, di antaranya dari Prasasti Blanjong yang dikeluarkan oleh Sri Kesari
Warmadewa pada tahun 913 Masehi yang menyebutkan kata "Walidwipa".
Demikian pula dari prasasti-prasasti Raja Jayapangus, seperti prasasti Buwahan
D dan prasasti Cempaga A yang berangka tahun 1181 Masehi.
Di antara
raja-raja Bali, yang banyak meninggalkan keterangan tertulis yang juga
menyinggung gambaran tentang susunan pemerintahan pada masa itu adalah Udayana,
Jayapangus , Jayasakti, dan Anak Wungsu. Dalam mengendalikan pemerintahan, raja
dibantu oleh suatu Badan Penasihat Pusat. Dalam prasasti tertua 882-914, badan
ini disebut dengan istilah "panglapuan". Sejak zaman Udayana, Badan
Penasihat Pusat disebut dengan istilah "pakiran-kiran i jro
makabaihan". Badan ini beranggotakan beberapa orang senapati dan pendeta
Siwa dan Budha.
Di dalam
prasasti-prasasti sebelum Raja Anak Wungsu disebut-sebut beberapa jenis seni
yang ada pada waktu itu. Akan tetapi, baru pada zaman Raja Anak Wungsu, kita
dapat membedakan jenis seni menjadi dua kelompok yang besar, yaitu seni keraton
dan seni rakyat. Tentu saja istilah seni keraton ini tidak berarti bahwa seni
itu tertutup sama sekali bagi rakyat. Kadang-kadang seni ini dipertunjukkan
kepada masyarakat di desa-desa atau dengan kata lain seni keraton ini bukanlah
monopoli raja-raja.
Dalam
bidang agama, pengaruh zaman prasejarah, terutama dari zaman megalitikum masih
terasa kuat. Kepercayaan pada zaman itu dititikberatkan kepada pemujaan roh
nenek moyang yang disimboliskan dalam wujud bangunan pemujaan yang disebut
teras piramid atau bangunan berundak-undak. Kadang-kadang di atas bangunan
ditempatkan menhir, yaitu tiang batu monolit sebagai simbol roh nenek moyang
mereka. Pada zaman Hindu hal ini terlihat pada bangunan pura yang mirip dengan
pundan berundak-undak. Kepercayaan pada dewa-dewa gunung, laut, dan lainnya
yang berasal dari zaman sebelum masuknya Hindu tetap tercermin dalam kehidupan
masyarakat pada zaman setelah masuknya agama Hindu. Pada masa permulaan hingga
masa pemerintahan Raja Sri Wijaya Mahadewi tidak diketahui dengan pasti agama
yang dianut pada masa itu. Hanya dapat diketahui dari nama-nama biksu yang
memakai unsur nama Siwa, sebagai contoh biksu Piwakangsita Siwa, biksu
Siwanirmala, dan biksu Siwaprajna. Berdasarkan hal ini, kemungkinan agama yang
berkembang pada saat itu adalah agama Siwa. Baru pada masa pemerintahan Raja
Udayana dan permaisurinya, ada dua aliran agama besar yang dipeluk oleh
penduduk, yaitu agama Siwa dan agama Budha. Keterangan ini diperoleh dari
prasasti-prasastinya yang menyebutkan adanya mpungku Sewasogata
(Siwa-Buddha) sebagai pembantu
Tag :
MAKALAH AGAMA
0 Komentar untuk "Contoh Makalah Agama Tentang Sejarah Agama Hindu dan Budha di Indonesia"