Secara umum, Sugiarto (2006) rnengatakan hahwa
keadaan-keadaan yang dapat memerlukan pemberian cairan infus adalah:
a)
Perdarahan dalam jumlah banyak (kehilangan cairan
tubuh dan komponen darah).
b)
Trauma abdomen (perut) berat (kehilangan cairan tubuh
dan komponen darah).
c)
Fraktur (patah tulang), khususnya di pelvis (panggul)
dan femur (paha) (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah).
d)
“Serangan panas” (heat stroke) (kehilangan cairan
tuhuh pada dehidrasi).
e)
Diare dan demam (mengakibatkan dehidrasi).
f)
Luka bakar luas (kehilangan banyak cairan tubuh).
g)
Semua trauma kepala. dada. dan tulang punggung
(kehilangan cairan tubuh dan komponen darah).
Selain untuk pemberian cairan, pemasangan intravena
juga berfungsi untuk pemberian obat IV dengan indikasi yaitu:
a. Pada
seseorang dengan penyakit berat, pemberian obat melalui intravena langsung
masuk ke dalam jalur peredaran darah. Misalnya, pada kasus infeksi bakteri
dalam peredaran darah (sepsis). Sehingga memberikan keuntungan lebih
dibandingkan memberikan obat oral. Namun sering terjadi, meskipun pemberian
antibiotika intravena hanya diindikasikan pada infeksi serius, rumah sakit
rnemberikan antibiotika jenis ini tanpa melihat derajat infeksi. Antibiotika
oral pada kebanyakan pasien dirawat di RS dengan infeksi bakteri, sama
efektifnya dengan antibiotika intravena, dan lebih menguntungkan dan segi
kemudahan administrasi RS, biaya perawatan. dan lamanya perawatan.
b. Obat
tersebut memiliki bioavailabilitas oral (efektivitas dalam darah jika
dimasukkan melalui mulut) yang terbatas. Atau hanya tersedia dalarn sediaan
intravena (sebagai obat suntik). Misalnya antibiotika golongan aminoglikosida
yang susunan kimiawinya “polications” dan sangat polar, sehingga tidak dapat
diserap rnelalui jalur gastrointestinal di usus hingga sampai masuk ke dalam
darah). Maka harus dimasukkan ke dalam pembuluh darah langsung.
c. Pasien tidak
dapat minum obat karena rnuntah, atau memang tidak dapat menelan obat (ada
sumbatan di saluran cerna atas). Pada keadaan seperti ini, perlu
dipertirnbangkan pemberian rnelalui jalur lain sepe rektal (anus), sublingual
(di bawah lidah), subkutan (di bawah kulit), dan intramuskular (disuntikkan di
otot).
d.
Kesadaran
menurun dan berisiko terjadi aspirasi (tersedak atau obat masuk ke pernapasan),
sehingga pemberian melalui jalur lain dipertimbangkan.
e. Kadar puncak
obat dalam darah perlu segera dicapai, sehingga diberikan melalui injeksi bolus
(suntikan langsung ke pembuluh balik atau vena). Peningkatan cepat konsentrasi
obat dalam darah tercapai. Misalnya pada orang yang mengalami hipoglikemia
berat dan mengancam nyawa, pada penderita diabetes melitus. Alasan ini juga
sering digunakan untuk pemberian antibiotika melalui infus atau suntikan, namun
perlu diingat bahwa banyak antibiotika memiliki bioavailabilitas oral yang
baik, dan mampu mencapai kadar adekuat dalam darah untuk membunuh bakteri.
Dari uraian
di atas dapat diketahui hahwa pemberian atau pemasangan terapi intravena harus
sesuai indikasi pada keadaan-keadaan tertentu dan berfungsi untuk pemberian
obat intravena. Secara garis besar, Sugiarto (2006) menyimpulkan bahwa indikasi
pemasangan terapi intravena, yaitu:
a)
Pemberian cairan intravena (intravenous fluids).
b)
Pemberian nutrisi parenteral (langsung masuk ke dalam
darah) dalam jumlah terbatas.
c)
Pemberian kantong darah dan produk darah.
d)
Pemberian obat yang terus-menerus (continiu).
e)
Upaya profilaksis (tindakan pencegahan sebelum
prosedur (misalnya pada operasi besar dengan risiko perdarahan, dipasang jalur
infus intravena untuk persiapan jika terjadi syok, juga untuk memudahkan
pemberian obat).
f)
Upaya profilaksis pada pasien-pasien yang tidak
stabil, misalnya resiko dehidrasi (kekurangan cairan) dan syok (mengancam
nyawa), sebelum pembuluh darah kolaps (tidak teraba). sehingga tidak dapat
dipasang jalur infus.
0 Komentar untuk "Indikasi Pemberian Jalur Intravena"