Tindakan terapi intravena adalah
terapi yang bertujuan
untuk mensuplai cairan melalui
vena ketika pasien
tidak mampu mendapatkan makanan,
cairan elektrolik lewat mulut,
untuk menyediakan kebutuhan garam untuk
menjaga keseimbangan cairan, untuk
menyediakan kebutuhan gula (glukosa/dekstrosa) sebagai bahan
bakar untuk metabolisme,
dan untukmenyediakan beberapa
jenis vitamin yang mudah
larut melalui intravena
serta menyediakan medium untuk pemberian obat secara intravena
(smeltzer, 2002). Tetapi
karena terapi ini
diberikan secara terus – menerus dan
dalam jangka waktu
tertentu tentunya akan meningkatkan
kemungkinan terjadi
komplikasi dari pemasangan
infus, salah satunya adalah
flebitis. (perry dan potter, 2005).
Flebitis merupakan
inflamasi vena yang disebabkan
oleh iritasi kimia
maupun mekanik ditunjukan dengan
adanya daerah yang merah,
nyeri dan pembengkakan
di daerah penusukan atau
sepanjang vena, edema, panas
dan keras menurut
( smith, 2008 ). Angka kejadian
flebitis di Negara maju
seperti Amerika terdapat
angka kejadian 20.000 kematian
per tahun akibat dari infeksi nosokomial salah satunya
adalah flebitis yang di
timbulkan oleh tindakan pemasangan terapi
intravena. Sedangkan di Negara di Asia Tenggara infeksi nosokomial
(flebitis) sebanyak 10.0%.dari
data tersebut infeksi nosokomial
(flebitis) tertinggi terdapat di
Negara Malaysia sebesar 12,7%. Penelitian yanag
lain dilakukan di RS. Dr. sardjito
Yogyakarta tahun 2002
didapatkan 31 orang dari
114 pasien yang
terpasang infus (27,19%) terjadi
flebitis pasca pemasangan infus
(Battica, 2002).
Adapun di Indonesia, penelitian
yang dilakukan oleh Depkes
(2004), proporsi kejadian infeksi
nosokomial di rumah
sakit pemerintah dengan jumlah
pasien 1.527 pasien dari
jumlah pasien beresiko
160.417 (55,1%), sedangkan untuk
rumah sakit swasta dengan jumlah
pasien 991 pasien dari jumlah
pasien beresiko 130.047
(35,7%). Untuk rumah sakit
ABRI dengan jumlah pasien
254 pasien dari
jumlah pasien beresiko 1.672 (9,1%).
( Depkes, 2004 ).Di Indonesia
penelitian yang dilakukan
pada tahun 2004 di
sebelas rumah sakit di
Indonesia, bahwa 9,8% pasien terjadi infeksi selama dirawat
dirumah sakit (marwoto, 2007). Selama
selang beberapa tahun, sudah terjadi peningkatan angka yang
cukup signifikan.Peningkatan angka ini diasumsikan bahwa
masih belum ketatnya pengawasan dan
tindakan pencegahan flebitis di
rumah sakit (Fitria, 2008).
Sedangkan di
Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) Prof.Dr.Hi.Aloe Saboe provinsi Gorontalo
Jawa Barat angka kejadian flebitis yang
disebabkan oleh pemasangan
terapi intravena pada tahun
2012 yaitu 7,51%, angka
itu lebih tinggi
dari angka standar yang
di tentukan oleh
Infusion Nurses Society (INS)
yaitu < 5%.
Data menunjukan bahwa angka
kejadian flebitis di RSUD Dr.Soekardjo Tasikmalaya pada periode 2010-2013 tetap
berada diatas rata-rata nasional, dimana angka standar yang menjadi acuan
adalah > 1,5 (Kepmenkes 129 tahun 2008). Pada Ruang IIIA terjadi 2,0%
kejadian flebitis pada periode tahun 2011 dan terjadi kenaikan yaitu 2,31%
kejadian flebitis pada tahun 2012 menjadi 4,4% pada tahun 2013
Melihat dari masalah-masalah diatas
dimana faktor-faktor yang
menyebabkan terjadi flebitis masih belum jelas, dan angka kejadian flebitis
juga masih cukup
tinggi dari standar yang telah ditentukan oleh INS, maka peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian tentang
“deskripsi kejadian flebitis di
rumah sakit umum Dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya.
0 Komentar untuk "Latar Belakang Lamanya Pemasangan Infus dengan Kejadian Flebitis"