BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kita
sebagai kaum muslimin tentunya menginginkan agar senantiasa berada pada rel
kehidupan yang diinginkan-Nya. Al-Qur’an merupakan pedoman hidup bagin manusia,
kitab yang mengatur secara detail, sedetail-detailnya setiap napas, gerak, ucap
dan tingkah laku manusia. Bahkan isi hati sebagai relung terdalam dari jiwa
manusia diatur juga agar selalu ingat kepada-Nya.
Kita
harus meyakini dan percaya bahwa Tuhan itu ada, juga mengalami dan menjauhi
segala larangannya yang telah tercantum dalam As-Sunnah dan Al-Qur’an.
Al-Qur’an
dan Al-Sunnah merupakan sumber ijtihad, baik untuk mengeluarkan hukum-hukum
fikih maupun menyangkut katakinan-keyakinan teologis dan mistisme islam.
2. Tujuan
Adapun
tujuan kami dalam menyusun makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah Pendidikan Agama Islam, menambah wawasan mahasiswa sebagai
calon pendidik yang modern dan fprofesional, serta untuk malatih mahasiswa
sebagai calon pendidik agar dapat mengemukakan materi ini.
BAB II
IJTIHAD
SUMBER DAN METODOLOGI HUKUM
ISLAM
A. KAPAN UMAT PERLU IJTIHAD ?
Kata
“Ulli al-Amri” dalam QS. Al-Nisa/ 4 : 59 dipahami oleh Islam Sunni dan Islam Syi' ah secara berbeda 1
Islam Sunni
mengkonotasikan kata tersebut sebagai ijma (kesepakatan) Ah al - Halli wa
al-'Aqdi kalangan mujtahidin (orang yang memiliki otoritas ber-ijtihad) ter-utama
Jima ' sahabat Nabi; sementara Islam Syi' ah mengkonotasi-kannya kepada para
Imam dari kalangan Ahl al-Bayt.
Sejak
Nabi wafat Islam Sunni telah ber-ijtihad, di antaranya dalam menetapkan
khalifah pengganti beliau. Terpilihnya keempat khalifah al-rasyidin diyakini
sebagai hasil Jima. Adapun Islam Syi 'ah memandang Uli al-Amri harus ma'shum
(terbebas dari dosa dan kesalahan) seperti Nabi, karena ketaatan kepadanya sebagai
ketaatan mutlak seperti mentaati Nabi. Tradisi berijtihad di kalangan mereka
baru ada sekitar 250 tahun kemudian, setelah gaibnya Imam ke
12, Imam Mahdi.
Sandaran mereka mengikuti para Imam
dari kalangan Ahl alBayt
adalah hadits Nabi yang sangat populer "Telah
aku tinggalkan dl antara kalian dua pusaka yang jika kalian berpegang teguh
kepada keduanya kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitab Allah
dan Sunah Rasul" : Tentang Kitab Allah
antara kita dan mereka sama, yaitu AI-Quran. Tapi tentang Sunah Rasul, yang
mereka maksudkan adalah Sunah Rasul yang diurai dan diabadikan oleh ke 12 Imam.
Sandaran mereka adalah hadits lainnya: Telah
aku tinggalkan di antara kalian dua pusaka yang jika kalian berpegang teguh
kepada keduanya kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitab Allah
dan keturunanku. Sementara kita mengartikan Sunah
Rasul sebagai hadits-hadits Nabi yang disampaikan para sahabatnya, termasuk
para sahabat dari keluarga Nabi, yang memiliki kualifikasi shahih, atau
sekurang-kurang nya hasan.
Di
kalangan Sunni kegiatan ijtihad sangat hidup, bahkan sejak Nabi
masih ada. Hadits tentang Mu'ad bin Jabbal ketika diangkat menjadi duta Nabi di
Yaman begitu populer dan dijadikan sandaran ijtihad'. Sahabat
Nabi yang sangat populer dengan aktivitas ijtihad adalah
Umar bin Khathab, khalifah al-rasyidah
yang kedua.
Banyak tabi'in (pengikut sahabat Nabi) dan Imam
mazhab yang merujuk ijtihad
khalifah kedua
ini. Di antara Mazhab Empat, Imam Abu Hanifah adalah mujtahid yang paling
banyak dipengaruhi oleh Khalifah Umar bin Khathab.
B. APA ITU IJTIHAD
Kata ijtihad bukanlah seperti yang dikatakan awam sebagai pendapat
pribadi tentang permasalahan agama.
Ijtihad yang benar adalah
sebagaimana didefinisikan para ahli Ushul Fikih, yakni usaha mujtahid dengan
segenap kesungguhan dan kesanggupan untuk mendapatkan ketentuan hukum sesuatu
masalah engan menggunakan metodologi yang benar dari kedua sumber hukum
AI-Quran dan AI-Sunah.
Dari definisi ahli Ushul Fikih di atas, ijtihad bukanlah dilakukan oleh
sembarang orang, melainkan orang yang memiliki otoritas untuk melakukan ijtihad
yaitu "mujtahid". Sumber hukumnya adalah : pertama, ayat -ayat AI-Qur’an yang berjumlah lebih dari enam
ribu ayat; baik sebagai satu kesatuan yang utuh-bulat,
satu kesatuan surat persurat maupun secara parsial ayat perayat ; kedua, hadits-hadits Nabi yang juga
bejumlah ribuan dan melalui seleksi yang ketat
tentang ke-shahihannya ; dan ketiga, ijma' para sahabat- Nabi :
Dalam Islam Syi'ah, ijtihad
bukanlah menggunakan metodemetode semacam qiyas dan mashalih mursalah tersebut. Ijtihad adalah penyimpulan hukum dari
Al-Quran dan AI-Sunah melalui prinsip-prinsip syara.
C. METODOLOGI IJTIHAD
Para Imam mujtahid
mutlak berhasil mengembangkan metodologi ijtihad, di antaranya yang paling
utama adalah : qiyas, istihsan,
mashalih mursalah, dan 'urf atau
adat kebiasaan'.
Qiyas
Qiyas menurut para
ahli Ushul Fikih adalah menetapkan suatu hukum "baru" yang belum ada nash-nya dengan hukum yang "sudah ada" adalah adanya
persamaan 'illat hukum (maksud dan tujuan hukum) dari kedua peristiwa itu
Contoh implementasi
qiyas adalah hukum melototi dan menempeleng orang tua. Hukum ini belum ada nash-nya.
Nash yang sudah ada adalah
larangan mengatakan uff (QS, Sunda: Ahl) dan membentak .kedua orang tua (QS. AI-isro/ 17:23).
Maksud dan tujuan
(illaf) larangan mengatakan uff dan membentak adalah larangan "menyakiti" orang tua. Karena
melototi dan menempeleng termasuk menyakiti orang tua, maka hukumnya pun
menjadi terlarang juga.
Kencing itu najis, tapi bila kita kencing dan mau melakukan shalat cukup
dengan berwudhu; sementara sperma tidak najis, tapi bila kita mengeluarkan
sperma dan hendak melakukan shalat maka kita wajib mandi janabath Bagaimana mungkin menerapkan
qiyas dalam
kasus demikian
Tarjih
Muhammadiyah membatasi qiyas hanya untuk masalah-masalah di luar peribadatan.
Istihsan
Istihsan merupakan perluasan dari qiyas
Adapun yang dimaksud dengan istihsan adalah meninggalkan qiyas
jalli (qiyas nyata) untuk menjalankan qiyas khaf (qiyas
samar-samar), atau meninggalkan hukum kulli (hukum umum) untuk menjalankan
hukum istisna'i (pengecualian), disebabkan ada dalil logika yang
membenarkannya.
Contoh penggunaan istihsan dalam
jual-beli.Islam hanya membenarkan transaksi jual-beli jika barangnya sudah
nyata-nyata ada. Praktek salam, yakni
jual-beli dengan cara bayar duluan sementara barangnya belakangan, dilarang
oleh Islam. Tentu saja maksudnya agar tidak terjadi kecurangan. Tapi zaman
berkembang dan sistem transaksi bisnis bergerak lebih cepat. Sering kali
produsen tidak sanggup menyediakan barang yang dibutuhkan pelanggan karena
keterbatasan modal. Atas dasar kebutuhan dan kepercayaan, pelanggan akhirnya
membayar duluan, sementara barang yang dipesannya baru diproduksi setelah
pelanggan membayar (penuh ataupun sebagian) dari keseluruhan harga barang yang
dipesannya. Pembayaran secara salam tersebut merupakan
"kekecualian" dari salam yang
umum.
Mashalih al-Mursalah
Mashalih al-mursalah ialah suatu kemaslahatan yang tidak ditetapkan oleh syara dan
tidak ada pula nash atau dalil syara baik yang memerintahkan
maupun melarang. Contohnya, mendirikan penjara. Hukum Islam menetapkan qishash
bagi pembunuhan sengaja, hukum cambuk bagi pezina dan penuduh zina yang
tidak sanggup mendatangkan empat orang saksi, dan hukum potong tangan bagi
pencuri yang tertentu. Dalam perkembangan hukum terjadi beragam tindak pidana
dan kriminal yang tidak tercakup secara tegas dalam syara Kemudian
muncul "penjara". Syard tidak
memerintahkan ataupun melarang pembuatan penjara. Tapi karena fungsinya sangat
baik bagi keamanan dan ketertiban masyarakat, maka keberadaan penjara dapat
dipandang bermaslahat.
Sebenarnya mashalih al-mursalah mirip dengan istihsan, yakni
mencari kemaslahatan. Bedanya, jika ihtihsan mengambil qiyas khaf dari
qiyas jalli, maka mashalih al-mursalah menetapkan suatu hukum
yang tidak diperintah ataupun dilarang oleh syara. Metode ini dikembangkan oleh Imam Maliki.
Urf atau Adat Kebiasaan
Urf merupakan kebiasaan masyarakat baik berupa perkataan atau perbuatan
yang baik, yang karenanya dapat dibenarkan oleh syara' Contohnya belanja di supermarket tanpa adanya ijab-qabul secara
lisan dengan lafal yang jelas, karena ketika pelanggan memilih barang dan
membayarnya di kasir sebenarnya sudah terjadi ijab-qabul. Hukum
kebiasaanlah ('urf) yang menetapkan sahnya
jual-beli demikian.
Tentu saja, ada juga 'urf yang rusak. Misalnya ijon. Praktek riba ini
sudah menjadi adat kebiasaan masyarakat, tapi syara' mengharamkan riba.
Karena itu praktek ijon tidak dapat dibenarkan oleh Islam.
Di Indonesia, ijtihad sering dilakukan secara kolektif (ijtihad
jam riah), antara lain dalam Forum Bahtsul
Masail Diniyah (Nahdhatul Ulama, NU), Majlis Tarjih (Muhammadiyah), dan Lembaga
Fatwa (Majelis Ulama Indonesia, MUI). Organisasi keagamaan lainnya pun, seperti
Persatuan Islam (Persis), menyelenggaralen pula kegiatan ijtihad dalam forum
mereka.
Sebagai panduan bagi kaum muslimin, bagi warga Nahdhiyin khususnya, hasil
Muktamar dan Munas Ulama NU tentang masalahmasalah keagamaan sejak pertama
kali berdirinya jam' iyah ini, 1926, sampai akhir-akhir ini telah dibukukan
(dalam 2 buku). Demikian juga hasil Tarjih Muhammadiyah, walau dokumen awal
belum ditemukan.
Dalam memutuskan suatu hukum, Majlis Tarjih Muhammadiyah menetapkan
pokok-pokok manhaj, antara lain :
1. Di dalam beristidlal dasar
utamanya adalah AI-Quran dan Al-Sunah al-Shahihah. Ijtihad dan istinbath
atas dasar
illah terhadap hal-hal yang tidak terdapat di dalam nash, dapat ditakukan sepanjang
tidak menyangkut bidang taabbudi dan memang merupakan hal yang
diajarkan dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dengan perkataan lain,
Majelis Tarjih menerima ijtihad, termasuk qiyas, sebagai cara dalam menetapkan hukum yang tidak ada nashnya
secara langsung.
2. Tidak mengikatkan diri
kepada suatu madzhab, tetapi pendapat-pendapat madzhab dapat menjadi bahan
pertimbangan dalam menetapkan hukum. Sepanjang sesuai dengan jiwa AI-Quran dan
AI-Sunah, atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat.
3. Dalil-dalil umum AI-Quran
dapat ditakhsis dengan hadits Ahad, kecuali dalam bidang Aqidah.
4. Dalam bidang ibadah yang
diperoleh ketentuan-ketentuannya dari al-Quran dan AI-Sunah, pemahamannya dapat
dengan menggunakan akal, sepanjang diketahui latar belakang dan tujuannya.
Meskipun harus diakui, bahwa akal bersifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan
nash daripada akal memiliki kelenturan dalam menghadapi perubahan situasi dan
kondisi.
5. Dalam memahami nash, makna
lahir didahulukan dari ta'wil dalam bidang aqidah. Dan ta'wil sahabat dalam hal
itu, tidak harus diterima.
D. HASIL IJTIHAD BERBEDA-BEDA
Mengapa hasil ijtihad para mujtahid bisa berbeda? Dan bagaimanakah sikap
kita terhadap perbedaan hasil ijtihad tersebut ? Ada beberapa sebab : Pertama,
dilihat dari sifat lafal yang ada (baik dalam AI-Quran maupun hadits),
terkadang dalam satu lafal mengundang makna ganda. Bahkan terkadang
kedua-duanya bersifat hakiki. Contoh klasik adalah istilah quru dalam Q.S. AI-Baqarah/2: 228. Ulama Hanafiyah
memaknai quru sebagai haidh (menstruasi), sedangkan Ulama Syafi'iyah memaknainya thuhr (suci). Implikasi hukumnya jelas berbeda. Bagi Imam Hanafi,
jika seorang istri yang telah bercerai mau menikah lagi dengan laki-laki lain,
ia cukup menunggu tiga kali haidh,
sedangkan
menurut Imam Syafi'i, ia harus menunggu tiga kali suci.
Hikmah guru diartikan
dengan haidh (dalam pandangan Hanafiyah) adalah agar wanita yang telah bercerai
dari suaminya bisa segera menikah lagi dengan laki-laki lain pilihannya ;
sementara hikmah diartikan dengan suci (dalam pandangan Syafi'iyah) adalah
memberi kesempatan yang luas kepada suami-istri yang telah bercerai itu untuk
merenung baik-buruknya perceraian yang telah dijatuhkannya, sehingga keputusan
apa pun yang mereka ambil (apa tetap bercerai atau rujuk kembali) memang telah
dipertimbangkannya matang-matang dan dalam waktu yang lama.
Ada lagi satu lafal yang mempunyai makna hakiki dan majazi
(kiasan)
sekaligus. Contohnya lafal “yunfau" dalam Q.S. AI-Maidah/5:
33. Ulama umumnya mengartikan 'yunfau' dengan "diusir dari kampung
halaman". Dan ini memang makna hakikinya. Tapi ulama Hanafiyah
mengartikannya dengan "penjara". Implikasi hukumnya jelas berbeda.
Ulama pertama menetapkan hukuman bagi orang orang yang memerangi Allah dan
Rasul-Nya, atau membuat kerusakan di bumi, dengan hukuman "diusir dari
kampung halamannya". Sedangkan ulama Hanafiyah menetapkan
"penjara" sebagai hukumannya.
Dua kasus di atas merupakan contoh yang sangat
sederhana proses dan hasil ijtihad dengan maksud agar mudah dicerna. Jelas,
bahwa lafal AI-Quran dan hadits itu demikian adanya, sehingga terkadang
menimbulkan perbedaan paham.
Contoh lainnya lagi adalah dalam menetapkan mana
lafal yang qath'i (benar secara mutlak) dan mana pula
lafal yang zhanni (penafsiran yang masih diperdebatkan). Menurut
Quraish Shihab, dilihat dari segi maknanya, ayat yang qath'i mempunyai
arti yang pasti (maknanya), sedangkan ayat yang zhanni adalah tidak
pasti. Pada ayat yang yang zhanni inilah ada peluang
untuk berbeda pandangan. Untuk menentukan manakah ayat yang qath'i biasanya
memerlukan kesepakatan ulama. Tapi kesepakatan itu pun tidak secara resmi
diumumkan, misalnya bahwa ayat itu adalah qath'i
E. SERUAN BARU UNTUK IJTIHAD
Berbeda dengan kaum tradisional yang mengajak umat untuk ber-taqlid
dengan Imam-imam mazhab, kaum Salaf dan terutama modernis di abad 19 dan awal
abad 20 justru mengajak umat untuk ber-ijtihad
dan
meninggalkan taqlid. Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha
(Mesir), Syaikh Waliullah, Ahmad Khan, dan Muhammad Iqbal (India-Pakistan), dan
Muhammad bin Abdul Wahab (Saudi Arabia) disebut sebut sebagai ulama dan
cendekiawan yang paling gencar menyerukan perlunya ber-ijtihad dan meninggalkan
taqlid. Di Indonesia, K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan Ustad A.
Hasan (pendiri Persis) dikategorikan sebagai ulama yang ittiba'. Adapun
Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari (pendiri NU) justru melarang ijtihad bagi orang yang tidak memenuhi syarat, malah
menganjurkan taqlid. Ulama mazhab (para peneliti Barat sering menyebutnya kaum
tradisional) memang tidak mentah-mentah menolak ijtihad. Anjuran taqlid terutama ditujukan untuk orang awam.
Adapun ulama dan cerdik pandai yang telah memenuhi syarat ijtihad malah
dianjurkan pula ber-ijtihad. Tapi kaum Salaf dan modernis tetap melarang taqlid
bagi orang awam sekalipun. Orang yang tidak mampu ber-ijtihad oleh kaum
Salafdan modernis dianjurkan untuk ber-ittiba' (berusaha memahami proses (ijtihad para mujtahid).
F. IJTIHAD DAN TAQLID DI KALANGAN NU – MUHAMMADIYAH
Hadratussyaikh Hasyim Asy`ari - pendiri NU - dalam risalah Ahlussunnah wal Jama'ah bagian
"Dasar-dasar Jam'iyah NU" yang disusun tahun 1941 membuat satu fasal
tentang keharusan taqlid bagi orang yang tidak mempunyai kemampuan berijtihad.
Lebih lengkapnya beliau mengungkapkan.
Menurut pendapat jumhur ulama muhaqqiq, bagi setiap orang yang tidak
memikili kualifikasi ijtihad mutlak - meskipun ia menguasai ilmu-ilmu yang
dapat diakui untuk berijtihad - wajib mengikuti pendapat para mujtahid dan
mengikuti fatwa mereka agar ia terlepas dari beban taklif, dengan mengikuti
siapa saja di antara mereka yang ia kehendaki. Hal ini berdasarkan firman Allah
: yang artinya "Maka, bertanyalah
kepada orang yang berpengetahuan jika kamu tidak mengetahui" : (Q.s. AI-Nahl/16:43).
Dengan demikian, orang yang tidak mengerti beberapa hal yang penting,
diwajibkan untuk bertanya. Ini merupakan taqlid terhadap orang yang
berpengetahuan ('alim). Ayat di atas bersifat umum dan mencakup semua orang
yang menjadi sasaran ayat tersebut. Dan ayat tersebut tentunya harus umum dan
mencakup pertanyaan mengenai segala sesuatu yang tidak diketahui. Telah
disepakati, bahwa orang-orang yang bertentangan dan berbeda pendapat, sebaiknya
bertanya (meminta fatwa) kepada para mujtahid. Mereka sebaiknya menjalankan
hukum-hukum syara'. Ada kesepakatan bahwa orang awam harus mengikuti mujtahid.
Pemahaman orang awam terhadap AI-Kitab dan AI-Sunah tidak diperhitungkan,
apabila tidak sesuai dengan pemahaman para ulama besar dan terpilih dari ahl al-haq. Semua pembuat bidah dan orang-orang tersesat juga
memahami hukum-hukum yang batil dari AI-Kitab dan Al-Sunah, dan mengambil dari
keduanya, padahal semua itu tidak dapat membantu sedikitpun pada kebenaran.
Orang awam tidak diharuskan bersikap konsisten pada satu mazhab dalam
setiap kejadian. Andaikata ia menganut mazhab tertentu, Syafi'i, umpamanya,
maka ia tidak diwajibkan menganutnya terus menerus, melainkan diperbolehkan
berpindah ke madzhab lainnya. Orang awam yang tidak memiliki semacam pemikiran,
istidlal dan tidak membaca satu kitab pun mengenai masalah furu' mazhab,
apabila ia mengatakan, "Saya bermazhab Syafi'i", hal ini tidak dapat
diterima begitu saja. Dikatakan : apabila seorang awam menetapi satu madzhab tertentu, maka ia merasa
harus terus tetap pada madzhab tertentu, sebab ia mempunyai keyakinan bahwa
madzhab yang dianutnya adalah benar, sehingga ia harus tetap setia dengannya
sesuai dengan keyakinannya.
Tapi dalam
peristiwa yang tertentu, misal dalam shalat ber jamaah, seseorang yang
mengikuti suatu mazhab (muqallid) boleh : mengikuti imam lain. Ia diperbolehkan
mengikuti seorang imam saat melakukan
shalat Dzuhur, umpamanya, dan mengikuti imam lain dalam shalat Asar.
Berbeda dengan
Muhammadiyah, sejak awal didirikan jam'iyah ini justru mengajak umat untuk
kembali secara langsung kepada AI-Quran dan AI-Sunah, dan "melarang"
taqlid.
Dalam Kongres XVI
Tahun 1927 di Pekalongan, atau satu tahun setelah berdirinya NU yang telah
mengeluarkan fatwa tentang wajibnya bermadzhab, Muhammadiyah mendirikan Majelis
Tarjih. Tujuannya, untuk menetapkan suatu hukum yang sesuai dengan AI-Quran dan
AI-Sunah. Tahun 1935 muncul gagasan tentang Mabadi Khamsah Manhaj Tarjih Muhammadiyah, yaitu : al-Din,
al-Dunya, al-ibadah, Sabilillah, dan al-Qiyas.
Tapi perumusannya baru terealisir
pada akhir tahun 1954 dan awal 1955 dalam muktamar khusus Majelis Tarjih di
Yogyakarta. Muktamar khusus ini menegaskan maksud “Al-Sunah" sebagai
"hadits” yang shahih", sebagai lawan dari "hadits yang
dla'if".
Dalam Muktamar
ke-41 di Solo, Tahun 1986, Muhammadiyah berhasil merumuskan Manhaj Tarjih dan
beberapa metode ijtihad yang telah digunakan, agar dimaklumi oleh anggota
Majelis Tarjih pada khususnya dan "warga" Muhammadiyah pada umumnya.
Keputusan ini secara implisit menegaskan tentang perlunya berijtihad bagi
setiap "warga" Muhammadiyah, baik yang memiliki kemampuan berijtihad
maupun masyarakat awam.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Ijtihad yang benar adalah sebagaimana didefinisikan para ahli ushul fikih yakni usaha-usaha mujtahid dengan segenap kesungguhan dan kesanggupan untuk mendapatkan ketentuan hukum suatu masalah dengan menggunakan metodologi yang benar dengan bersumber kepada ayat-ayat Al-Qur’an, hadits-hadits nabi dan ijma para sahabat nabi.
Metodologi ijtihad diantaranya yaitu qiyas, istihsan, mashalih mursalah dan ‘urf atau adat kebiasaan.
Hasil ijtihad para mujtahid berbeda-beda karena dilihat dari sifat lafal yang ada, terkadang dalam satu lafal mengundang makna ganda.
2. Saran
Semoga dengan dibuatnya makalah ini diharapkan kita dapat mningkatkan pengetahuan kita dalam memahami makna belajar dan strategi belajar sehingga jika suatu saat kita jadi pendidik. Dan penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun demi kesempurnaan penyusunan makalah dimasa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Asjmuni Abdurrahman (2002), Manhaj Tarjih
Muhammadiyah: Metodogi dan
Aplikasi, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Atho Mudzhar, H.M. (1998), Membaca Gelombang Ijtihad
:
Antara T'radisi dan Liberasi, Yogyakarta : Titian Ilahi Press.
Azis Masyhuri, K.H.A. (1997), Masalah Keagamaan Hasil
Muktamar dan Munas Ulama Nahdatul Ulama Kesatu 1926 s.d. Kedua puluh sembilan
1994, Cetakan IV, Surabaya
: PP Rabithah Ma'ahidi Islamiyah bekerja sama dengan Dinamika Press.
Hasbi al-Shiddiqy, Fikih Islam, Jakarta, Bulan-Bintang, 1975.
Hasil Muktamar XXX Nahdlatul
Ulama (13-18 Sya'ban,1420 H/ 21-26 Nopember 1999), Masail Al-Diniyah
Al-Waqiiyyah dan Masail Al-Diniyah Al-Maudzuiyyah, Jakarta: Sekjen PB NU.
Hasyim Asy'ari, Hadratussyaikh
(20 Syawal 1360 H), Risalah Ahlussunnah wa al-Jamaah, dalam M. Arief Hakim, Editor (1999), Risalah Ahlussunnah wal
Jama’ah, Yogyakarta : LKPSM.
Musthafa Kamal Pasha &
Ahmad Adaby Darban (2000), Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam : dalam Perspektif
Historis dan Ideologis, Yogyakarta:
LPII.
Tag :
MAKALAH AGAMA
0 Komentar untuk "Contoh Makalah Agama Tentang Ijtihad Sumber dan Metodologi Hukum Islam "