BAB I
PRINSIP-PRINSIP
FILOSOFIS
1.
Konstruktivisme
a.
Konsep Filsafat Umum
Tema utama filsafat Konstruktivisme yaitu berkenaan
dengan hakikat pengetahuan. Filsafat Konstrukstivisme berimplikasi terhadap
pendidikan, khususnya dalam bidang pendidikan sains dan matematika. Von
Glaserfeld (1988) mengemukakan bahwa pengertian konstruktivisme kognitif muncul
pada abad ini dalam tulisan Mark Baldwin yang diperdalam dan disebarkan oleh
Jean Piaget. Tetapi Gagasan pokok cikal bakal Konstruktivisme sesungguhnya
sudah dimulai oleh Giambatista Vico, seorang epistemolog dari Italia. Pada
tahun 1710 dalam karyanya De Antiquissima Itolarum Sapienta, Vico mengungkapkan
filsafatnya dengan berkata, "Tuhan
adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan".
"Mengetahui " berarti "mengetahui
bagaimana membuat sesuatu". Artinya, seseorang dipandang
mengetahui jika ia dapat menjelaskan unsar-unsur yang membangun sesuatu itu
serta bagaimana membuatnya. Menurut Vico, hanya Tuhan yang dapat mengerti alam
raya ini, sebab hanya Dia yang tahu bagairnana membuatnya dan dari apa ia
membuatnya. Sedangkan manusia hanya dapat mengetahui sesuatu yang telah
dikonstruksikannya.
a.
Hakikat
Realitas :
Menurut Konstruktivisme, manusia tidak pernah dapat mengerti realitas yang sesungguhnya secara ontologis. Yang dapat kita mengerti hanyalah struktur konstruksi kita akan sesuatu objek (Shapiro, 1994). Konstrukstivisme memang tidak bertujuan mengerti realitas secara ontologis, tetapi lebih hendak melihat bagaimana kita menjadi tahu akan sesuatu.
Konstruktivisme menolak prinsip independensi dan objektivisme
dari Realisme/Empirisme, yang menyatakan bahwa keberadaan realitas
berdiri sendiri terlepas dari subjek pengamat, namun terbuka untuk dapat
diketahui melalui pengalaman empiris. Demikian pula menolak pandangan Idealisme.
Yang menyatakan bahwa realitas yang hakiki bersifat ideal /spiritual,
yang mana dunia fisik yang tampak dipandang sebagai bayangan dari dunia
ide/spiritual. Bagi penganut Konstrukrtivisme "realitas" itu tiada
lain adalah fenomena sejauh dipahami oleh yang menangkapnya. Contoh : Bagi Jean
Piaget realitas bukanlah sesuatu yang eksternal dan sudah jadi, bukan
predeterminasi, melainkan fenomena yang kita alami melalui konstruksi".
Sebagaimana dikemukakan Shapiro, bagi penganut Konstruktivisme terdapat banyak
bentuk kenyataan (realitas) dan masing-masing tergantung pada kerangka dan
interaksi pengamat dengan objek yang diamati. Bila kita bertanya : apakah yang
kita ketahui itu memang sungguh suatu realitas yang ada ? Penganut Konstruktivisme
aliran menjawab: "Kami tidak tahu, itu bukan urusan kami". Hal ini
sejalan dengan gagasan Vico yang menyatakan : hanya Tuhan-lah yang tahu hakikat
realitas, manusia hanya tahu tentang sesuatu yang telah dikonstruksikannya.
Sebab itu bagi penganut Konstruktivisme bahwa realitas itu sifatnya plural sebagaimana setiap individu
mengalaminya. (Paul Supaino, 1597).
b.
Hakikat Manusia
Berbeda dengan pandangan Empirismr (John Locke), Konstruksivisme
merandang manusia bukanlah sebagai tabula
rasa. Manusia dituntut
akiif membangun sendiri pengetahuannya. Eksistensi dan atau proses menjadi
manusia ada dalam konteks interelasi dengan iingkungannya, baik lingkungan
alamiah maupun manusiawi (Paul Suparno, 1997).
c.
Hakikat Pengetahuan
Filsuf Realisme
atau Empirisme (misalnys : Aristoteles, John Locke) menyatakan bahwa sumber
pengetahuan adalah "dunia luar", semua pengetahuan diturunkan dari
pengalarnan atau observasi atas alam semesta. Sebaliknya, filsuf Idealisme atau
Nativisme (misalnya : Plato) menyatakan sumber pengetahuan itu adalah
"dari dalam" (ide bawaan). Sedangkan filsuf Konstruktivisme
(misalnya: Vico) menyatakan bahwa sumber pengetahuan berasal dari dunia luar
tetapi dikonstruksikan dari dalam diri individu. Jadi Konstruktivisme memuat
dua segi, yaitu Empirisme/ Realisme dan Nativisme/ Idealisme.
Bagi penganut Konstruktivisme pengetahuan bukanlah
suatu potret dunia kenyataan yang ada, melainkan adalah hasil konstruksi atau bentukan kenyataan melalui
kegiatan subjek. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi
kognitif tentang kenyataan melalui kegiatan seseorang. Seseorang (subjek)
membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk
pengetahuan (Bettencourt, 1989). Sebagaimana dikemukakan Piaget (1971),
pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamat, tetapi merupakan
ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh
dialaminya. Proses pembentukan itu berjalan terus menerus dengan setiap kali
mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman baru (Paul Suparno,
1997).
Kriteria Kebenaran. Bagi konstrutivis,
kebenaran pengetahuan diletakan pada viabilitas. Dengan kriteria
ini, maka pengetahuan manusia ada taraf atau tingkatannya : ada pengetahuan
yang cocok atau berlaku untuk banyak persoalan sampai dengan pengetahuan yang
hanya cocok untuk beberapa persoalan saja.
Sifat Pengetahuan. Sehubungan dengan hal
di atas, maka pengetahuan memiliki sifat : (1) subjektif, sebab pengetahuan
lebih menunjuk pada pengalaman seseorang akan dunia daripada dunia itu sendiri
; sehingga (2) pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang
kepada orang lain ; (3) pengetahuan bukan barang mati yang sekaligus jadi,
bukan tertentu dan deterministik, melainkan suatu proses yang terus berkembang
; dan karena itu (4) pengetahuan bersifat relatif. Sebab itu, nilai bagi
konstruktivist juga bersifat relatif.
Rorty rnenilai Konstruktivisme sebagai salah satu
bentuk Praginatisme, terlebih dalam hal pengetahuan dan kebenaran,
sebab Konstruktivisme hanya mementingkan berlakunya suatu konsep atau dapat
digunakanan untuk Para konstruktivis sekarang melihat kesesuaian gagasan Vico
dengan model ilmiah yang digunakan untuk menganalisis dan mengerti pengalaman/
fenomen baru (Paul Suparno; 1997). Konstruktivisme tampaknya dipengaruhi oleh
Empirisme dan Pragmatisme.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Implikasi Terhadap Pendidikan
Dalam
Konstruktivisme istilah pendidikan lebih diartikan sebagai mengajar. Bagi
konstraktivist mengajar bukan kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru kepada
murid, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri
pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi dengan pelajar dalam
mengkonstruksi pengetahuan, membuat makna, mempertanyakan kejelasan, bersikap
kritis, dan mengadakan instifikasi. Jadi mengajar adalah suatu bentuk belajar
sendiri (Bettencourt, 1989). Mengajar, dalam konteks ini adalah membantu
seseorang berpikir secara benar dengan membiarkannya berpikir sendiri (von
Glasersfeld, 1989). Dalam kegiatan mengajar penyediaan prasarana dan situasi
yang memungkinkan dialog secara kritis perlu dikembangkan. Selain itu perlu
diperhatikan pula bahwa mengajar juga adalah suatu seni yang menuntut bukan
hanya penguasaan teknik, melainkan juga intuisi (Paul Suparno, 1997).
a. Tujuan
Pendidikan (Pengajaran).
Tujuan pengajaran Konstruktivisme lebih menekankan pada perkembangan konsep dan pengertian (pengetahuan) yang mendalam sebagai hasil konstruksi aktif si pelajar (Fosnot, 1996). Ini berbeda dengan Behaviorisme yang menekankan keterampilan sebagai tujuan pengajaran. Berbeda pula dengan Maturasionisme yang lebih menekankan pengetahuan yang berkembang sesuai dengan langkah-langkah perkembangan individu. Menurut Maturasionisme jika seseorang mengikuti langkah-langkah perkembangan yang ada, dengan sendirinya akan menemukan pengetahuan yang lengkap. Sedangkan menurut Konstruktivisme, jika seseorang tidak mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri secara aktif, meskipun ia berurnur tua, pengetahuannya akan tetap tidak berkembang (Paul Suparno, 1997).
b. Kurrikulum.
Driver dan Oldham (Matthews, 1994) menyatakan bahwa perencanaan kurikulum konstruktivis tidak dapat begitu saja mengambil kurikulum standar yang menekankan siswa pasif dan guru aktif, sebagai cara mentransfer pengetahuan dari guru kepada murid. Kurikulum bukan sebagai tubuh pengetahuan atau kumpulan keterampilan (skill). melainkan lebih sebagai program, aktivitas dimana pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksikan. Kurikulum bukan kumpulan bahan yang sudah ditentukan sebelumnya untuk mengajar, melainkan lebih sebagai suatu persoalan (perrnasalahan) yang perlu dipecahkan oleh para siswa untuk lebih mengerti (Paul Suparno. 1997).
c. Metode
Setiap pelajar mempunyai caranya sendiri untuk mengerti, karena itu mereka perlu menemukan cara belajar yang tepat untuk dirinya masing-masing. Dalam konteks ini maka tidak ada satu metode mengajar yang tepat, satu metode mengajar saja tidak akan banyak membantu pelajar belajar, sehingga pengajar sangat mungkin untuk mempertimbangkan dan menggunakan berbagai metode yang membantu pelajar belajar. Selain itu, mengingat pengetahuan dibentuk baik secara individual maupun sosial, maka kelompek belajar dapat dikembangikan (Paul Suparno, 1997).
d. Peranan Guru dan Peserta Didik.
Dalam kegiatan mengajar guru hendaknya berperan sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar peserta didik berjalan dengan baik. Menurut Tobin, dkk., (1994) "bagi siswa, guru berfungsi sebagai mediator, pemandu, dan sekaligus teman belajar (Paul Suparno, 1997). Dalam artian ini, guru dan peserta didik atau pelajar lebih sabagai mitra yang bersama-sama membangun pengetahuannya. Adapun peserta didik dituntut aktif belajar dalam rangka mengkonstruksi pengetahuannya, dan karena itu peserta didik sendirilah yang harus bertanggung jawab atas hasil belajarnya.
Menurut Tobin, Tippins, & Gallard (1994)
masyarakat sekarang ini sedang mengalami sesuatu tentang apa yang disebut oleh
Thomas Kuhn sebagai pergeseran paradigma (paradigm shift). Secara umum
banyak orang meragukan kebenaran paradigma lama seperti paradigma Idealisme,
Rasionalisme, Empirisme atau Objektivisme, dan mulai menerima paradigma
Konstruktivisme. Contoh : paradigma lama yang menyatakan bahwa
"pengetahuan sudah ada sebagai suatu fakta atau kenyataan ; atau bahwa
"pengetahuan dapat ditransfer dari guru kepada siswa, dsb", sekarang
mulai diragukan banyak orang dalam bidang epistemologi dan pendidikan.
Sebaliknya. mereka mu!ai menerima paradigma Konstruktivisme yang menyatakan
bahwa "pengetahuan seseorang adalah konstruksi (bentukan) orang yang
bersangkutan., karena itu transfer pengetahuan dari guru kepada siswa tidaklah
mungkin. Menurut Tobin, dkk., dewasa ini "masyarakat pendidikan sains
ingin melihat siswa belajar sains sebagai suatu proses. Mereka terlebih di
Amerika Serikat ingin menyaksikan para siswa belajar sains dan rnatematika dengan cara yang berarti. memperkaya. dan
memungkinkan mereka menginterpretasikan alam semesta ini dalam pengertian
ilmiah.
Pergeseran paradigma dan perubahan sikap atau
revolusi kognitif seperti di atas memang menantang dan memberikan semangat bagi
mereka yang terlibat dalam bidang pendidikan, namun sekaligus juga
membingungkan dan menakutkan karena suatu makna baru dari pencarian dalam
bidang pendidikan muncul. Misalnya Osborne (1993) dan Matthews (1994) mengemukakan
bahwa Konstrukttivisme mengandung suatu bahaya yang mengarah kepada empirisme
dan relativisme, terlebih dalam pendidikan sains (Paul Suparno, 1997).
Tag :
MAKALAH AGAMA
0 Komentar untuk "Contoh Makalah Agama Tentang Kontruktivisme Dan Landasan Filsafat Pendidikan Nasional"