BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG MASALAH
1.2
RUMUSAN MASALAH
a.
Bagaimana hubungan keluarga dengan
sosialisasi anak?
b. Apa fungsi dan peran orang tua bagi
anak?
c.
Apa saja dampak yang diterima oleh
anak karena kesibukan orang tua?
1.3
TUJUAN
a.
Untuk mengetahui hubungan keluarga
dengan sosialisasi anak.
b. Untuk mengetahui fungsi dan peran
orang tua bagi anak.
c.
Untuk mengetahui dampak terhadap
anak apabila kedua orang tuanya bekerja.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Keluarga Dan Hubungannya Dengan
Sosialisasi Pada Anak
Menurut
Megawangi (1999) ada tiga elemen struktur internal keluarga, yang salah satunya
mengacu pada fungsi sosial. Dalam hal ini, digambarkan oleh peran dari
masing-masing individu atau kelompok berdasar status sosial dalam suatu sistem
sosial (misal anak, ayah dan ibu). Artinya, setiap status sosial tertentu
harapannya dalam interaksi dengan individu/kelompok akan ada fungsi dan peran,
yang didasarkan bukan pada ciri pribadi individu melainkan karena status sosial
yang dipegangnya. Semisal saja, anak mempunyai kewajiban untuk menghormati dan
patuh pada orangtua dan sebaliknya orangtua berkewajiban juga memberikan cinta,
perhatian dan kasih sayang pada anaknya. Hal ini sejalan dengan apa yang
ditulis Parson & Bales (1955) dalam Megawangi (1999), bahwa orangtua
mempunyai dua peran, yaitu
1)
Instrumental, yang dilakukan oleh bapak/suami dan
2) Peran
emosional/ekspresif, yang biasanya disandang oleh seorang ibu/istri.
Kedua
peran tersebut dijalankan oleh keluarga yang juga merupakan intsitusi dasar
(fundamental unit of society) dalam rangka membentuk individu bertanggung
jawab, mandiri, kreatif dan hormat melalui proses sosialisasi terus menerus
kepada anak-anaknya.
Sedang
bila dilihat menurut fungsinya, keluarga salah satunya berperan dalam
melaksanakan proses sosialisasi. Zanden (1986) menyatakan bahwa fungsi keluarga
adalah sebagai wahana terjadinya sosialisasi antara individu dengan warga yang
lebih besar.Sama halnya dengan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah RI
no.21 tahun 1994 tentang penyelenggaraan pembangunan keluarga sejahtera, salah
satu fungsi dari delapan yang ada adalah sosialisasi dan pendidikan, yaitu
fungsi yang memberikan peran kepada keluarga untuk mendidik keturunan agar bisa
melakukan penyesuaian dengan alam kehidupannya dimasa yang akan datang.
Sosialisasi
merupakan suatu proses dimana seseorang mempengaruhi orang lain karena adanya
interaksi. Untuk perkembangan sosial anak akan sangat dipengaruhi siapa agen
sosialnya. agen sosial yang terpenting adalah orang-orang yang saling
berhubungan dan dapat mempengaruhi bagaimana orang tersebut berperilaku,
temasuk di sini adalah orangtua, saudara kandung (sibling) atau kelompok
bermain (peer); selain itu nenek/kakek, paman/bibi dan orang dewasa lain dalam
masyarakat sebagai jaringan hubungan yang lebih luas. Setiap agen sosial
tersebut akan menentukan perbedaan dalam proses sosialisasi anak. Oleh karena
itulah untuk menghasilkan individu-individu yang berkualitas baik, keluarga
amat berperan dalam mensosialisasi nilai-nilai kebaikan dan norma yang berlaku
atau yang diharapkan masyarakat kepada anak mereka yang dimulai dari
masalah-masalah kecil yang terjadi dalam keluarga sesuai dengan tahap
perkembangan usia anak tentunya. Praktek pengasuhan merupakan masa penting
dalam membentuk individu matang dan dewasa, yang didalamnya telah mencakup
proses sosialisasi.
Cara yang
dapat dilakukan keluarga dalam proses sosialisasi adalah sebagai berikut:
Pertama, pengkondisian/pelaziman. Karena kita tahu dan tidak dapat disangkal
lagi bahwa anak ialah manusia yang pasif sepenuhnya dalam sosialisasi, sehingga
hal-hal yang berkaitan dengan sebagian besar sikap dan tingkah lakunya
dilakukan sebenarnya melalui proses ini, yang diciptakan oleh orangtua atau
anggota keluarga lain yang telah dewasa dengan pemberian mekanisme hukuman atau
imbalan; semisal, makan, minum, mandi, berpakaian, buang air besar/kecil
(toilet training) bahkan bertutur kata sekalipun. Dengan diberikannya mekanisme
tersebut anak akan mempertahankan tingkah laku tertentu bila apa yang
dilakukan/diperbuat (baik) dapat imbalan. Sebaliknya anak akan menghindari
tingkah laku tertentu bila ternyata apa yang diperbuat (buruk) akan mendapat
hukuman.
Kedua,
pemodelan (pengimitasian dan pengindentifikasian). Cara imitasi biasanya
berlangsung dalam waktu singkat untuk sekedar meniru aspek luar dari
tokoh/model yang diidealkannya. Sebaliknya, jika anak menginginkan dirinya sama
(identik) dengan tokoh idolanya maka peniruan akan terjadi lebih mendalam
karena tidak hanya peniruan tingkah laku tapi juga totalitas dari tokoh atau
model tersebut (identifikasi) sehingga di sini orangtua (keluarga) perlu
memberi contoh perilaku yang baik bagi anaknya.
Dan
ketiga, internalisasi yaitu cara yang mempersyaratkan anak (dengan sukarela)
untuk menyadari bahwa sesuatu hal, seperti norma, nilai dan tingkah laku
memiliki makna tertentu yang berharga bagi dirinya atau bagi masyarakat kelak
untuk dijadikan panutan, pedoman atau tindakan yang lama kelamaan hal tersebut
akan menjadi bagian dari kepribadiannya, semisal anak dicontohkan dengan
perbuatan-perbuatn yang dilarang agama atau yang tidak diharapkan masyarakat
pada umumnya.
Anak
sebagai bagian anggota keluarga dalam pertumbuhan dan perkembangannya tidak akan
terlepas dari lingkungan dimana dia dirawat/diasuh atau awal diperolehnya
pengalaman belajar bagi seorang anak. Dalam keluargalah kali pertama anak
berinteraksi terutama dengan ibunya setelah anak dilahirkan dan melalui
kegiatan menyusui. Hubungan ini akan berkembang sesuai tahapan usia anak. Dari
sinilah anak akan dan selalu berusaha untuk menyesuaikan diri melalui
pengalaman belajar agar diterima di lingkungan sosial dan menjadi pribadi yang
dapat bermasyarakat; dengan syarat punya kesempatan untuk berhubungan dengan
orang lain (sosialisasi), mampu berkomunikasi dan berbicara yang dapat diterima
(dimengerti) orang lain dan memiliki motivasi belajar yang menyenangkan. Untuk
hal ini diperlukan suatu dukungan orang lain, karena pengalaman sosial dini
kali pertama diperoleh di dalam rumah maka keluargalah yang paling tepat
menentukan terjadinya proses sosialisasi pada anak.
Karena
keluarga berfungsi untuk menjaga dan menumbuh-kembangkan anggotanya, maka
diperlukan orangtua yang bijaksana, sebab sikap orangtua akan mempengaruhi cara
mereka memperlakukan anak dan mempengaruhi perilaku anak. Pada dasarnya
hubungannya orangtua-anak tergantung pada sikap orangtua, dimana hal ini juga
diperoleh melalui pengalaman belajar sebelumnya dari orangtua mereka.
Kesibukan Orangtua
Sesibuk
apapun orang tua perlu memiliki waktu untuk memperhatikan anak-anaknya. Jangan
sampai hanya bersemangat ketika ingin mendapatkan anak tetapi tidak bersemangat
dalam memperhatikan anak-anaknya.
Jika kedua
orang tua bekerja semua, orang tua dapat menggunakan waktu bersama-sama anak,
misalnya: pada sore hari atau malam hari setelah kedua orang tua pulang dari
bekerja. Orang tua yang bijaksana tentu bisa mengatur waktu untuk urusan
pekerjaan dan urusan rumah tangganya.
Setelah
pulang kerumah orang tua jangan memikirkan pekerjaannya yang ada dikantor
secara terus menerus, namun harus lebih memfokuskan perhatiannya terhadap
sesuatu yang ada dirumah, khususnya memperhatikan anak-anaknya. Tentu bukan
hanya sekedar bertemu dengan anak, namun kualitas pertemuan dengan anak itu
yang jauh lebih penting.
Setiap anak-anak
memiliki kebutuhan yang harus diperhatikan oleh orang tua, kebutuhan tersebut
dapat diberikan oleh orang tua baik ketika berada di tempat pekerjaan maupun
setelah berada dirumah.
A. Ketika Orang Tua Masih Bekerja
Kebutuhan
berkomunikasi. Komunikasi dengan anak bisa dilakukan oleh orang tua sekalipun
masih berada di tempat kerja. Misalnya: pada siang hari orang tua bisa
menghubungi anaknya melalui telpon, sehingga orang tua bisa mengetahui apakah
anaknya sudah pulang dari sekolah atau belum, selain itu orang tua dapat
mengontrol makan siang anaknya, dan memantau keberadaan anak dan aktifitasnya
didalam rumah.
Perhatian
Ayah dan ibu kepada anak melalui komunikasi lewat telpon adalah sangat penting
sifatnya, sehingga anak merasa mendapat perhatian dari kedua orang tua. Pada
zaman sekarang ini juga hand phone sudah bukan menjadi barang mewah lagi, dan
juga bukan hanya dimiliki oleh kalangan tertentu saja, hampir setiap rumah
tangga atau keluarga memiliki alat komunikasi ini.
B. Ketika Orang Tua Sudah di rumah
Setelah
pulang dari bekerja, orang tua perlu memperhatikan kehidupan rohani
anak-anaknya. Kebutuhan yang diperlukan oleh anak-anak antara lain:
Kebutuhan akan kehadiran Tuhan. Kebutuhan akan kehadiran Tuhan dalam diri
anak-anak harus menjadi prioritas. Orang tua yang rohani pasti merindukan
anak-anaknya mendapatkan keselamatan kekal (masuk surga). Dari sejak usia dini
misalnya: umur 2,5 tahun seorang anak sudah bisa dibawa untuk mengenal Tuhan
Yesus Kristus sebagai Juru selamat dalam kehidupannya. (Roma 10: 9-10).
Pengenalan terhadap Tuhan Yesus secara pribadi sangat perlu, supaya anak
mempunyai pengalaman dengan Tuhan dari sejak masa kecilnya. (Matius 18: 15-18).
Anak-anak juga perlu mengerti dan menyadari ketika Roh Kudus tinggal dihatinya
(Galatia 4:6-7), maka Tuhan akan menyertai kemanapun dirinya berada. Orang tua
tidak selalu bersama-sama dengan dirinya, namun Tuhan selalu bersama-sama: baik
dirumah, disekolah, ditempat yang lainnya. (Yohanes 14:16-17).
Selain keselamatan, orang tua perlu memperhatikan pertumbuhan rohani anak.Orang
tua perlu memperhatikan bagaimana hubungan anak-anaknya dengan Tuhan. Bagaimana
saat teduhnya? bagaimana doanya? Apa buku rohani yang dia baca? Apa talenta dan
karunianya, sehingga orang tua dapat ikut mendorong anak-anaknya mengembangkan
talenta dan karunia yang dimiliki secara maximal.
Perhatian
terhadap kebutuhan fisik anak-anak. Orang tua perlu memperhatikan pertumbuhan
fisik anak-anaknya, pertumbuhan fisik pada anak-anak bisa melalui makanan empat
sehat lima sempurna. Sebaiknya sebagai orang tua jangan menyerahkan begitu saja
tentang menu makanan yang diperuntukkan bagi anaknya. Orang tua harus
memperhatikan dalam hal ini. Kebutuhan fisik yang lainnya adalah pakaian.
Kebutuhan pakaian disini orang tuasebaiknya ikut memilihkan yang cocok untuk
anak-anaknya, tetapi orang tua juga harus menghargai apa yang menjadi pilihan
dari anak-anak, yang penting pilihan anak terhadap pakaian tidak melanggar
etika kesusilaan.
Kebutuhan Bersosialisasi. Orang tua perlu memperhatikan pergaulan anak agar
supaya anak dapat bersosialisasi baik disekolah, di tengah-tengah masyarakat
dan di gereja. Jika orang tua tidak memperhatikan masalah sosialisasi bagi
anaknya, maka akan berdampak pada diri anak, seperti: anak menjadi pendiam,
anak punya kebiasaan menyendiri, tidak biasa mengerjakan persoalan bersama-sama
orang lain akibatnya anak tidak bisa bekerja secara tim. Tuhan Yesus sejak
kanak-kanak sudah bersosialisasi dengan lingkungan (Lukas 2:41-52). Sehingga
Tuhan Yesus berhasil menjalankan tugas sebagai: rasul, nabi, penginjil,
gembala, guru (Efesus 4:11) secara baik.
Kebutuhan perasaan berarti. Orang tua yang dapat meluangkan waktu untuk mau
mendengarkan keprihatinan anak-anaknya, akan membuat anak merasa dihargai dan
berarti. Orang tua juga perlu memiliki perasaan berarti terlebih dahulu
dihadapan Tuhan, baru dapat membangun perasaan berarti bagi anak-anaknya. Jika
ada orang tua yang citra dirinya sudah rusak, maka harus diperbaharui terlebih
dahulu.
Kebutuhan untuk rasa aman. Orang tua yang hidup rukun dan tidak suka
bertengkar, tidak suka mengkritik anak-anaknya, suka makan malam bersama
setelah pulang dari bekerja akan menjawab kebutuhan anak tentang rasa aman.
Kebutuhan untuk diterima. Orang tua jangan suka membanding-bandingkan anaknya
dengan anak orang lain, dalam hal: nilai disekolah, masalah prestasi,
penampilan, dll. Selain itu kritikan dari orang tua akan menciptakan perasaan
gagal pada diri anak, anak bisa merasa tertolak dan tidak mampu. Sehingga anak
merasa tidak diterima.
Kebutuhan untuk mencintai dan dicintai. Cinta orang tua harus diucapkan dengan
kata-kata kepada anak. Cinta harus disertai dengan tindakan, orang tua harus
memiliki waktu untuk meng-ekspresikan cinta.
Kebutuhan untuk dipuji. Pujian sebaiknya ditujukan pada prestasi anak bukan
pada dirinya. Memuji apa yang dapat dikerjakan oleh anak, bukan apa yang mereka
tidak dapat kerjakan. Memuji harus dengan tulus, tidak perlu dibuat-buat.
Pujilah anak atas apa yang dikerjakan dengan inisiatifnya sendiri, seperti
mengerjakan hal yang berharga tanpa disuruh harus dihargai dan mendapat pujan.
Semakin cepat memberikan pujian semakin baik, pujian sebaiknya pada saat
keberhasilan dicapai. Sikap orang tua dalam memberikan pujian sangat penting,
seperti nada bicara orang tua akan menghasilkan semangat kepada anak.
Kebutuhan akan disiplin. Tanpa disiplin perintah seorang ayah hanyalah sebuah
nasihat. Anak-anak harus belajar sejak dini bahwa keputusan salah mengakibatkan
konsekuensi yang harus diterima. Setiap anak perlu didisiplin, tanpa disiplin
di dalam menjalani hidup mereka tidak mempunyai pengendalian diri, padahal
disiplin sangat dibutuhkan dalam segala hal.
Jika kedua orang tua dapat memperhatikan kebutuhan anak seperti yang diuraikan
diatas, maka anak-anak akan merasa diperhatikan oleh kedua orang tuanya.
Sehingga pekerjaan tidak akan menjadi kendala bagi orang tua untuk memperhatikan
anak-anaknya.
2.2 Fungsi dan Peran Orang Tua.
Orang tua mempunyai fungsi yang penting dalam keluarga. Diantara fungsi-fungsi
tersebut antara lain (dalam Soelaeman, 1987): Pertama, Fungsi religius. Artinya
orang tua mempunyai kewajiban memperkenalkan dan mengajak anak dan anggota
lainnya kepada kehidupan beragama. Soelaeman (1987) memberikan penjelasan bahwa
untuk melaksanakan Fungsi dan peran ini, orang tua sebagai tokoh inti dalam
keluarga itu harus terlebih dahulu menciptakan iklim yang religius dalam keluarga
itu, yang dapat dihayati oleh seluruh anggotanya.
Fungsi
yang kedua adalah Fungsi edukatif. Pelaksanaan fungsi edukatif keluarga
merupakan salah satu tanggung jawab yang dipikul oleh orang tua. Sebagai salah
satu unsur pendidikan keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama
bagi anak. Orang tua harus mengetahui tentang pentingnya pertumbuhan,
perkembangan dan masa depan seorang anak secara keseluruhan. Ditangan orang
tuanyalah masalah-masalah yang menyangkut anak, apakah dia akan tumbuh menjadi orang
yang suka merusak dan menyeleweng atau ia akan tumbuh menjadi orang baik.
Selanjutnya
fungsi yang ketiga yakni Fungsi protektif. Soelaeman (1987) memberikan gambaran
pelaksanaan fungsi lingkungan, yaitu dengan cara melarang atau menghindarkan
anak dari perbuatan-perbuatan yang tidak diharapkan, mengawasi atau membatasi
perbuatan anak dalam hal-hal tertentu menganjurkan atau menyuruh mereka untuk
melakukan perbuatan-perbuatan yang diharapkan mengajak bekerja sama dan saling
membantu, memberikan contoh dan tauladan dalam hal-hal yang diharapkan.
Fungsi
keempat yaitu Fungsi Sosialisasi. Fungsi dan peran orang tua dalam mendidik
anaknya tidak saja mencakup pengembangan pribadi, agar menjadi pribadi yang
mantap tetapi meliputi pula mempersiapkannya menjadi anggota masyarakat yang
baik. Sehubungan dengan itu perlu dilaksanakan fungsi sosialisasi anak.
Melaksanakan fungsi sosialisasi itu berarti orang tua memiliki kedudukan
sebagai penghubung anak dengan kehidupan sosial dan norma-norma sosial, dan
membutuhkan fasilitas yang memadai.
Yang
terakhir adalah Fungsi ekonomis. Meliputi; pencarian nafkah, perencanaan serta
pembelajarannya. Keadaan ekonomi sekeluarga mempengaruhi pula harapan orang tua
akan masa depan anaknya serta harapan anak itu sendiri. Orang tua harus dapat
mendidik anaknya agar dapat memberikan penghargaan yang tepat terhadap uang dan
pencariannya, disertai pula pengertian kedudukan ekonomi keluarga secara nyata,
bila tahap perkembangan anak telah memungkinkan.
Berdasarkan
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Fungsi dan peran orang tua pada anaknya
antara lain menanamkan kehidupan beragama, memberikan pendidikan dalam masa
perkembangan anak, menjadi penghubung dalam kehidupan sosial anak, dan
memberikan nafkah secara ekonomi demi keberlangsungan anak.
2.3 Keluarga Sebagai Kekuatan
Pencegah Kenakalan Anak dan Remaja
Kenakalan
remaja merupakan salah satu dari sekian banyak masalah sosial yang semakin
merebak pada waktu sekarang ini. Masalah sosial sering dikaitkan dengan masalah
perilaku menyimpang dan bahkan pelanggaran hukum atau tindak kejahatan. Upaya
rehabilitasi dianggap lebih tepat untuk mengatasi masalah kenakalan remaja. Hal
ini karena remaja adalah generasi penerus yang masih memungkinkan potensi
sumberdaya manusianya berkembang, sehingga pada saatnya akan menggantikan
generasi sebelumnya menjadi pemimpin-pemimpin bangsa.
Pada saat
ini semakin berkembang bentuk penyimpangan perilaku yang dilakukan remaja.
Kenakalan remaja tidak hanya berbentuk bolos sekolah, mencuri kecil-kecilan,
tidak patuh pada orang tua, tetapi mengarah pada tindakan kriminal, seperti
perkelahian masal antar pelajar (tawuran) yang menyebabkan kematian, perkosaan,
pembunuhan dan lain-lain. Di Amerika Serikat hampir lebih dari 40 % orang-orang
yang melakukan kejahatan serius adalah anak-anak remaja nakal. Ditemukan setiap
harinya 2500 anak lahir di luar pernikahan, 700 anak lahir dengan berat badan
rendah, 135.000 anak membawa senjata tajam ke sekolah, 7.700 anak umur belasan
melakukan kegiatan seksual aktif, 600 anak umur belasan mengidap syphilis atau
gonorhoe, dan 6 anak umur belasan memutuskan untuk bunuh diri (Horn, 1991). Di
Indonesia tercatat pada Direktorat Bimbingan Masyarakat POLRI, bahwa pada tahun
1994 menangkap 1.261 pelaku perkelahian antar pelajar dan pada tahun 1998 data
ini telah meningkat menjadi 18.946 pelaku yang ditangkap (Justika, 1999).
1. Kenakalan Remaja
Menurut C.
Zastrow (1982), Juvenile Deliquency atau kenakalan remaja adalah label
perilaku-perilaku, seperti menjauh/menghindar dari sekolah, dari kebosanan,
dari orang tua yang menterlantarkan, dari kesulitan diri, dari rumah yang
bermasalah, dari situasi rumah yang membosankan, dari rumah yang tidak bahagia,
dari kehidupan yang sulit, dan dari kesulitan yang satu ke kesulitan yang lain.
Perilaku mereka berkisar dari perilaku agresi pasif (bolos sekolah) ke perilaku
kenakalan atau kejahatan, perilaku yang tidak dapat dikendalikan (menentang
aturan-aturan disiplin keluarga, minggat, mencuri kecil-kecilan di toko) ke
perilaku agresi aktif dan kejahatan (vandalisme / merusak tanpa alas an,
membakar rumah dengan sengaja, dan penyerangan secara fisik). Mereka berumur di
bawah 17 tahun dan berasal dari semua tingkatan ekonomi (orang kaya,
berpenghasilan menengah, pegawai tapi miskin, dan miskin akut), dan single
parent maupun keluarga utuh, laki-laki maupun perempuan, dan tidak mengenal
ras.
Menurut
Parillo, Stimpson dan Stimpson (1985), yang tergolong remaja nakal adalah
mereka yang ditangkap, seperti :
Anak laki-laki yang ditangkap lebih
daripada anak perempuan
Angka penangkapan untuk kenakalan
yang paling tinggi di kota-kota paling besar , yang paling tinggi berikutnya di
daerah-daerah subur, dan yang paling rendah adalah di wilayah-wilayah pedesaan.
Pola ini sama dalam semua bentuk kejahatan. Angka penangkapan yang paling
tinggi adalah kalangan anak-anak yang berasal dari keluarga pecah (single
parent) dan keluarga yang sangat besar. Mereka yang ditangkap biasanya
berakibat buruk di sekolah, menyebabkan putus sekolah atau prestasinya rendah
di bawah rata-rata. Mereka yang ditangkap biasanya tinggal di wilayah-wilayah
yang bercirikan adanya deprivasi sosial dan ekonomi (tempat tinggal lebih
penting daripada status keluarga dilihat dari resiko ditangkap).
2. Penyebab Kenakalan Remaja
Manusia,
termasuk anak dan remaja adalah mahluk sosial yang senantiasa melakukan
interaksi yang terbuka dengan berbagai faktor yang sulit dideteksi secara
jelas, dan memungkinkan lebih bersifat individual. Profesi pekerjaan sosial
merupakan profesi yang bertanggung jawab atas masalah sosial kenakalan
remaja, menunjuk ketidakmampuan orang tua sebagai penyebab kenakalan remaja,
yang dalam hal ini berarti keluarga. Orang tua seharusnya memiliki kompetensi
untuk mengendalikan anak-anak mereka, terutama yang sedang memasuki masa
remaja. Sosiolog memandang disorganisasi sosial sebagai penyebab terjadinya
kenakalan semaja, sedangkan psikolog mengacu pada pandangan Freud, bahwa
kenakalan remaja disebabkan oleh terjadinya inner conflict, kelabilan emosional
dan emosi alam bawah sadar lainnya.
Keluarga
sering dianggap sebagai sumber tunggal dari banyak masalah sosial. Teoritisi
Fungsionalis beranggapan bahwa ketidakmampuan kelompok tertentu, terutama
orang-orang miskin dan para imigran, mengakibatkan anak-anak mereka mencari
hubungan-hubungan alternatif seperti gang, kelompok kriminal, dan kelompok
sebaya yang menyimpang lainnya. Teoritisi Interaksionist mempelajari pola-pola
interaksi keluarga sebagai petunjuk mengapa beberapa anggota keluarga berubah
menyimpang, misalnya : keluarga-keluarga yang dikepalai oleh perempuan dan
keluarga yang pasangannya tidak menikah, tetapi menganut norma-norma keluarga
konvensional, sering mendapat stigma dan sumber masalah sosial. Bagi Teoritisi
Konflik, keluarga adalah sumber masalah sosial ketika nilai-nilai yang
diajarkan bertentangan dengan masyarakat yang lebih besar. Para sosiolog
mengabaikan perspektif teoritis tentang keluarga tersebut dan cenderung
memfokuskan pada apa yang dapat dilakukan oleh institusi-institusi dalam
masyarakat, terutama institusi-institusi kesejahteraan sosial, untuk
mempertahankan dan memperkuat stabilitas keluarga.
Keluarga
sebagai iakatan sosial pertama yang dialami oleh seseorang. Di dalam
keluargalah anak belajar untuk hidup sebagai mahluk sosial yang berinteraksi
dengan orang lain dalam lingkungannya (learning to live as a social being)
(Brill, 1978). Keluarga merupakan wadah pertama bagi seseorang untuk
mempelajari bagaimana dirinya merupakan suatu pribadi yang terpisah dan harus berinteraksi
dengan orang-orang lain di luar dirinya. Interaksi sosial yang terjadi dalam
keluarga ini merupakan suatu komponen vital dalam sosialisasi seorang manusia.
Anak akan menyerap berbagai macam pengetahuan, norma, nilai, budi pekerti,
tatakrama, sopan santun, serta berbagai keterampilan sosial lainnya yang sangat
berguna dalam berbagai kehidupan masyarakat. Anak akan belajar bagaimana
memikul rasa bersalah, bagaimana menghadapi secara konstruktif berbagai
tanggapan anggota keluarganya yang lain, anak akan mengembangkan rasa percaya
diri, harga diri, kepuasan, dan cinta kasih terhadap sesama mahluk. Dengan
demikian, keluargalah pelaku pendidikan utama bagi seorang anak menjadi manusia
secara penuh, manusia yang mampu hidup bersama manusia lain dalam lingkungannya
yang diliputi suasana harmonis, bukan manusia congkak yang memiliki dorongan
agresi, merusak, dan mengganggu lingkungan sosialnya.
Suatu
keluarga yang penuh dengan kehangatan, cinta kasih, dan dialog terbuka akan
diserap oleh anak dan dijadikan sebagai nilainya sendiri. Hal inilah yang
menjadi landasan kuat anak dalam berinteraksi dengan orang lain di masyarakat
yang lebih luas. Pada kenyataannya, keluarga dengan kondisi seperti itu tidak
selalu terbentuk. Banyak keluarga yang penuh dengan kekerasan, akibat berbagai
situasinya tidak sempat mendidik anaknya menjadi manusia yang secara sosial
memiliki kematangan, misalnya anak yang hanya diarahkan kepada pembantu rumah
tangga dari pagi hingga malam hari, enam hari dalam seminggu, akibat kedua orang
tuanya harus bekerja mencari nafkah. Banyak keluarga yang merasa lingkungan
sosialnya kurang aman sehingga melarang anak-anaknya bergaul di luar rumah,
sedangkan orang tuanya sendiri sibuk dengan pekerjaannya. Keluarga akan
menghasilkan manusia yang “kering”, “kerdil” dan “tidak bersahabat”. Inilah
yang memungkinkan menjadi pra kondisi bagi kenakalan anak dan remaja. Anak akan
menyerap perilaku, kebiasaan, tatakrama, serta norma yang berasal dari televisi
tanpa mendapat bimbingan yang cukup berarti dari kedua orang tuanya. Anak akan
menyerap tanpa evaluasi, atas perilaku orang lain yang diamatinya.
3. Perubahan Keluarga dan Kenakalan
Remaja
Unit
keluarga adalah sekelompok individu-individu yang satu sama lain dihubungkan
baik oleh darah, maupun oleh institusi seperti perkawinan. Didalam kelompok
tersebut biasanya terdapat pembagian wewenang (otoritas), hak tanggung jawab,
serta peran-peran ekonomi dan seks. Definisi keluarga mungkin berbeda antara
masyarakat yang satu dengan yang lainnya, yang menimbulkan perbedaan pula dalam
standar perilakunya. Unit Nuclear Family terdiri atas ayah, ibu, dan anak-anak
mereka, dan Extended Family, terdiri atas orang tua, anak-anak, kakek-nenek,
bibi, paman dan lain-lain yang tinggal bersama. Pada extended family, orang tua
mempertahankan otoritas atas perkawinan diantara sepupu dilarang. Pada nuclear
family unit keluarga tidak tergantung, perkawinan antar sepupu dianggap normal.
Nuclear family adalah tipe keluarga yang menonjol dalam masyarakat industri,
sedangkan extended family banyak ditemukan pada kultur masyarakat agraris.
Menurut W.
Kornblum (1989), dewasa ini keluarga mengalami perubahan-perubahan dari
extended family menjadi nuclear family, dan single earner menjadi dual earner,
dari agraris ke industri dan teknologi. Bahkan definisi keluargapun berubah
dari kumpulan orang-orang yang didasarkan pada hubungan darah atau perkawinan
menjadi atas dasar companionship (kesepakatan atau komitmen) saja, seperti yang
dilakukan oleh para kaum homo seksual di Amerika Serikat. Bila
perubahan-perubahan ini tidak menimbulkan akibat negatif pada fungsi utama
keluarga, yaitu memelihara dan membesarkan anak, mungkin bukan masalah. Akan
tetapi, bila terjadi sebaliknya maka itu adalah sebuah masalah.
Semua
keluarga secara kontinyu berubah, sebab mereka harus secara konstan
menyesuaikan diri dengan siklus perkembangan keluarga, dimana peran-peran dari
semua anggota keluarga berubah. Misalnya, sebagian besar keluarga melampaui
tahap-tahap pra nikah, membesarkan anak, kesepian, dan pensiun. Selama dalam
tahap dan pada masa transisi ke tahap yang lain, keluarga menghadapi tantangan
untuk mempertahankan stabilitas atau kontinuitas, sehingga berfungsi secara
memadai. Menurut Glasser dan Glasser (1965) ada lima kriteria keluarga
berfungsi memadai, yaitu :
a.
Konsistensi peranan internal di
antara anggota keluarga.
b. Konsistensi peran-peran dan
norma-norma keluarga, serta penampilan peran aktual.
c.
Penyesuaian peran-peran dan
norma-norma keluarga dengan norma-norma masyarakat.
d. Kemampuan memenuhi
kebutuhan-kebutuhan psikologis anggota-anggota keluarga.
e.
Kemampuan keluarga dalam merespons
perubahan-perubahan.
Kegagalan
melaksanakan fungsi-fungsi ini dapat menimbulkan masalah-masalah dalam
keluarga. Kegagalan tersebut biasanya tanpa sengaja dan mengakibatkan krisis
internal dan eksternal. Krisis eksternal berasal dari luar, misalnya orang tua
menganggur karena terkena PHK. Ini dapat mengakibatkan orang tua kehilangan
harga diri dan otoritas, dan senua anggota akan takut dan cemas karena tidak
adanya jaminan ekonomi. Krisis internal muncul dalam keluarga sebagai akibat,
misalnya salah seorang anak mengalami mental disorder, ketidaksetiaan perkawinan
dan lain-lain. Perubahan besar dalam satu peran keluarga dapat mempengaruhi
krisis internal, misalnya orang tua yang tiba-tiba memutuskan untuk bekerja
disamping mengurus anak, atau tiba-tiba berhenti bekerja.
Tekanan-tekanan
dan masalah-masalah interpersonal lainnya dapat menimbulkan “empty shell” dalam
keluarga, yaitu tidak lagi memiliki perasaan kehangatan dan kemenarikan
diantara anggota-anggota keluarga karena tekanan dari luar. Di dalam keluarga
tidak ada lagi strong attachment, saling mengabaikan kewajiban, dan
berkomunikasi seminimal mungkin. Situasi rumah seperti demikian merupakan
tempat yang subur untuk tumbuh dan berkembangnya masalah kenakalan anak dan
remaja. Rumah atau keluarga yang bahagiapun dapat mengakibatkan terjadinya
masalah kenakalan remaja, bila keluarga lost event dalam memperhatikan anak
remajanya.
4. Model Pendekatan Dalam Memahami
Remaja
Kenakalan
anak dan remaja merupakan hal yang harus diperhatikan oleh orang tua dalam
upaya pemecahannya. Tidak mudah untuk mendekati mereka tanpa memahami siapa
mereka dan dalam kondisi apa. Jones dan Pritchard (1985) mengemukakan lima
model pendekatan untuk memahami remaja, yaitu :
a. Model Konstitusi
(Constitutional Model)
Model ini
memahami remaja dari perkembangan biologis dan fisiologis. Perkembangan fisik
dan biologis yang terlalu dini atau terlalu lambat dapat menimbulkan masalah
bagi remaja, terutama dalam menyesuaikan dirinya dengan lingkungan. Misalnya
anak perempuan terlalu cepat mengalami menstruasi dan mengalami pembesaran buah
dada, atau sebaliknya terlambat (sudah lewat masa remaja) belum mengalami masa
menstruasi dan buah dadanya masih belum muncul. Hal ini dapat menimbulkan
kepanikan, rendah diri, yang akhirnya sulit berkomunikasi dan tidak dapat
menyesuaikan dengan lingkungan. Demikian pula dengan perkembangan biologis dan
fisiologis anak laki-laki, misalnya mimpi basah, tumbuh bulu dan lain-lain.
Peran orang tua dalam hal ini sangat penting untuk membimbing mempersiapkan
berbagai kemungkinan menghadapi perkembangan biologis dan fisiologis.
b. Model Krisis Identitas (Identity
Crises Model)
Model ini
memahami remaja berdasarkan pemahaman remaja terhadap identitas dan konsep
dirinya. Memandang remaja mengalami krisis identitas, belum memiliki kejelasan
tentang siapa dirinya, apa potensinya dan apa kekurangannya. Berdasarkan model
ini, remaja harus dibantu untuk menjawab pertanyaan siapa saya?, sehingga
memperoleh kejelasan tentang konsep diri dan identitas dirinya. Bila tidak,
remaja akan mengidentifikasi dan melakukan imitasi identitas orang lain,
terutama tokoh idolanya sebagai dirinya. Masalah muncul bila tokoh yang menjadi
idolanya adalah tokoh mafia, yang sering digambarkan sebagai pembunuh berdarah
dingin. Dalam hal ini peran orang tua dan para profesional yang berkepentingan
mempunyai tanggung jawab untuk membantu remaja agar memiliki kejelasan terhadap
identitas dan konsep dirinya.
c. Model Kebutuhan (Need Model)
Mengacu
pada teori kebutuhan untuk memahami remaja. Menurut teori kebutuhan Maslow (1970),
bila kebutuhan fisiologis dan kebutuhan akan rasa aman terpenuhi, maka
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan lainnya tidak akan banyak menemukan kesulitan
yang berarti. Kedua kebutuhan tersebut sangat berpengaruh pada pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan remaja yang lainnya. Remaja sering menampilkan perilaku
kasar bila perutnya lapar, kurang tidur an perasaannya tidak aman. Dalam hal
ini orang tua sangat berperanan untuk menjamin pemenuhan kebutuhan fisiologis
dan rasa aman remaja.
d. Model Belajar Sosial (Social
Learning Model)
Memandang
bahwa remaja sangat sensitive atas model-model perilaku di lingkungannya.
Bandura (1970) mengemukakan sebuah teori bahwa apabila seseorang terekspos pada
satu model perilaku, kemudian exposure tersebut terjadi berulang-ulang (repetition),
maka akan terjadi retention (penyimpanan dalam long-term memory). Bila ini
terjadi, maka seseorang tersebut akan mengikuti model perilaku tersebut.
Exposure ini biasanya dialami remaja dari media massa terutama televisi atau
dari lingkungan sebayanya. Bila model perilaku yang menempa remaja tersebut
ternyata dianggap cocok, maka remaja akan mengikuti model perilaku
tersebut. Selain itu, pada saat berkumpul dengan lingkungan kelompoknya,
biasanya mereka berperilaku sama, yang sebenarnya merupakan hasil belajar
sosial. Masalah muncul apabila model perilaku yang mengeksposnya adalah model
perilaku negatif atau menyimpang. Orang tua dan para profesional yang
berkepentingan juga mempunyai tanggung jawab dalam hal mencegah tereksposnya
remaja pada model-model perilaku negatif atau menyimpang, atau mempersiapkan
remaja agar memiliki ketahanan dalam menghadapi pengaruh model-model perilaku
tersebut.
e. Model Stress (Stress Model)
Memandang
bahwa setiap orang pasti mengalami stress pada suatu saat. Kemampuan mengatasi
stress (Coping Ability) sangat berperanan. Stress yang tidak teratasi akan
mengakibatkan kecemasan, baik kecemasan ringan, seperti berkeringat, sampai
kecemasan berat seperti psikosomatis. Daya untuk mengatasi atau mengelola
stress pada diri remaja perlu dikembangkan. Banyak kasus-kasus kenakalan remaja
disebabkan oleh stress dan rendahnya kemampuan untuk mengatasi.
Pelatihan-pelatihan untuk mengatasi stress dapat membantu para remaja
mengembangkan coping ability.
5. Pemberdayaan Untuk Memperkuat
Keluarga
Pemberdayaan
keluarga yang ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan yang berhubungan
dengan perkembangan anak dan remaja didasarkan atas asumsi-asumsi untuk
memperkuat keluarga. Seorang Pekerja Sosial yang menggunakan model pemberdayaan
didalam prakteknya akan mampu membantu keluarga yang mengalami masalah dimana :
1) mereka sama sekali tidak bertanggung jawab terhadap masalahnya akan tetapi
akan bertanggung jawab terhadap solusi terhadap masalah tersebut; 2) membantu
profesional dalam mencapai keahlian yang dapat digunakan dalam proses pemecahan
masalah; 3) resolusi masalah yang menuntut kolaborasi antara keluarga dan
“penolong” sebagai suatu kesatuan; 4) relasi mereka dengan beberapa institusi
sosial akan mempengaruhi etiologi dan terpeliharanya masalah yang dialami oleh
mereka, misalnya relasinya dengan polisi, rumah sakit, sekolah, lembaga
probasi; 5) sistem tidak monilitis tetapi terbentuk dari subsistem dan
cara-cara yang efektif yang berhubungan dengan sistem ini dapat dipelajari
dalam cara yang sama dimana relasi dengan individu-individu dapat dipelajari.
a. Enabling
Asumsi
dari strategi ini adalah bahwa keluarga mungkin memiliki sumber-sumber yang
tidak selalu dikenali sebagai hal yang bermanfaat didalam pencapaian sistem apa
yang keluarga butuhkan. Enabling menunjuk pada tindakan pekerja sosial untuk
menyediakan informasi atau kontak yang akan memberikan kemampuan terhadap
keluarga untuk memanfaatkan sumber-sumber yang ada pada keluarga lebih efektif.
Keluarga mencoba untuk memperoleh pelayanan dukungan khusus untuk anaknya yang
mengalami kegagalan di sekolah. Keluarga diberikan kemampuan untuk dapat
menghadapi otoritas sekolah dan mendapatkan pelayanan.
b. Linking
Asumsi
strategi ini bahwa keluarga dapat memperbesar kekuatannya sendiri melalui
berhubungan dengan orang lain yang dapat menyediakan persepsi-persepsi dan atau
kesempatan-kesempatan baru. Mungkin keluarga berhubungan dengan orang lain
untuk menyediakan kekuatan kolektif yang dapat membuat lebih kuat didalam
menghadapi sistem. Linking menunjuk pada tindakan yang dilakukan oleh pekerja
sosial untuk menghubungkan keluarga-keluarga kepada keluarga-keluarga lain,
kelompok atau jaringan kerja.
c. Catalyzing
Asumsi
strategi ini bahwa keluarga memiliki sumber-sumber akan tetapi sumber tambahan
dibutuhkan sebelum sumber yang ada pada keluarga digunakan secara penuh.
Sebagai contoh, apabila orang tua memiliki keterampilan kerja, maka mereka akan
membutuhkan pekerjaan sebelum keterampilan tersebut digunakan. Catalyzing
menunjuk pada tindakan pekerja sosial untuk mendapatkan sumber-sumber yang
menjadi prasyarat untuk keluarga menggunakan secara penuh sumber-sumbernya yang
sudah ada.
d. Priming
Asumsi strategi
ini bahwa banyak sistem dimana keluarga yang tadinya memiliki respon negatif,
diarahkan kepada pemberian respon yang lebih positif. Keluarga menjadi
berpengalaman didalam berhubungan dengan konflik. Sebagai contoh, seorang ibu
diberi kemampuan untuk mendiskusikan reaksi anak laki-lakinya terhadap situasi
stress di rumah dengan konselor sekolah dan gurunya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Keluarga
sebagai wahana utama dan pertama terjadinya sosialisasi pada anak. Karena
pertama, anak kali pertama berinteraksi dengan ibunya (dan anggota keluarga
lain); kedua pengalaman dini belajar anak (terutama sikap sosial) awal mula
diperoleh di dalam rumah dan ketiga, keluarga sesuai peran dan fungsinya
diidentikan sebagai tempat pengasuhan yang didalamnya mencakup proses
sosialisasi yang sekaligus bertanggung jawab untuk menumbuh-kembangkan anggota
keluarganya, dengan tidak boleh mengabaikan faktor nilai, norma dan juga
tingkah laku yang diharapkan baik dalam lingkungan keluarga ataupun lingkungan
yang lebih luas (masyarakat).
Masalah
kenakalan anak dan remaja tidak memandang tempat maupun status sosial ekonomi,
ada pada setiap lapisan masyarakat, di kota maupun di desa, pada lingkungan
kaya maupun miskin. Keluarga sebagai penyebab tidak langsung terjadinya
kenakalan remaja selain masyarakat. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam
keluarga, misalnya dari single earner menjadi dual earner mengakibatkan ibu
rumah tangga berkurang waktunya untuk memperhatikan anaknya. Perubahan ini juga
memberikan kontribusi pada semakin besarnya peluang terjadinya perceraian.
Fenomena empty shell juga dapat disebabkan oleh perubahan akibat tidak langsung
terjadinya kenakalan remaja, sebab kebutuhan akan rasa aman remaja tidak
terpenuhi.
Kenakalan
remaja dapat difahami melalui lima model pendekatan, yaitu model
konstitusional, yang memahami remaja dari perkembangan fisiologis dan biologis;
model krisis identitas untuk memahami kesulitan remaja dalam menemukan jati
dirinya; model kebutuhan yang memahami remaja dari kondisi pemenuhan kebutuhan
dasar manusia; model belajar sosial untuk memahami bagaimana perilaku remaja
sebagai hasil belajar dari lingkungannya; dan model stress untuk memahami bagaimana
kemampuan remaja dalam mengatasi stress (coping ability).
Keluarga,
bagaimanapun merupakan sumber terjadinya masalah kenakalan remaja, akan tetapi
keluarga juga merupakan sumber untuk mencegah dan mengatasi kenakalan remaja.
Hal ini sejalan dengan aliran konservatif yang menganggap bahwa keluarga,
utamanya yang memiliki orang tua lengkap, merupakan institusi yang sangat
penting sebagai tempat anak untuk tumbuh dan berkembang ke arah yang memadai
dengan menerapkan nilai dan moralitas yang berlaku dalam kehidupan
bermasyarakat. Demikian pula Parsons (1964) dan Parsons & Bales (1956)
mengatakan bahwa modernisasi akan melunturkan dan mengurangi fungsi keluarga.
Fungsi sosialisasi anak dan tention.
DAFTAR
PUSTAKA
http://rudyct.com/PPS702-ipb/08234/uke_h_rasalwati.htm
http://mo2gi.student.umm.ac.id/
http://www.duniapsikologi.com/fungsi-dan-peran-orang-tua/
http://astaqauliyah.com/2007/02/keluarga-dan-hubungannya-dengan-sosialisasi-pada-anak/
http://dunamis-ministry.blogspot.com/p/jika-orang-tua-sibuk.html
Tag :
Makalah Sosiologi
0 Komentar untuk "Contoh Makalah Sosiologi Pendidikan Tentang Problematika Sosialisasi Anak yang Kedua Orang Tuanya Bekerja"