PENDAHULUAN
Secara umum,
pendidikan merupakan segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala
lingkungan dan sepanjang hidup. Secara khusus, pendidikan adalah usaha sadar
yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah, melalui kegiatan
bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan, yang berlangsung di dalam dan luar
sekolah sepanjang hayat, untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan
peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tepat di masa yang akan datang
(Mudyaharjo, 2008: 3, 11).
Tujuan
pendidikan di Indonesia adalah untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang
Pancasilais yang dimotori oleh pengembangan afeksi, seperti sikap suka belajar,
tahu cara belajar, rasa percaya diri, mencintai prestasi tinggi, punya etos
kerja, kreatif dan produktif, serta puas akan sukses yang akan dicapai
(Pidarta, 2007)
Pendidikan
adalah mencakup segala usaha dan perbuatan dari generasi tua untuk mengalihkan
pengalamannya, pengetahuannya serta keterampilannya kepada generasi muda untuk
memungkinannya melakukan fungsi hidupnya dalam pergaulan bersama dengan
sebaik-baiknya (Purbakawatja, 1970: 11). Dari kutipan tersebut kita dapat
mengetahui bahwa pendidikan tidak lepas dari sejarah dan pendidikan merupakan pewarisan budaya dari
generasi ke generasi sebagai transformasi inormasi generasi muda dalam proses
pendewasaan berdasarkan pengalaman yang diperoleh dengan bercermin dari sejarah
tersebut untuk menjadi lebih baik lagi di masa yang akan datang.
Sejarah juga
memberikan suatu landasan atau titik tolak terjadinya berbagai peristiwa yang
saling berhubungan satu dengan yang lain. Oleh sebab itulah sejarah memberikan
landasan bagi kaum pelajar atau praktisi kehidupan mengamati dan mengubah dunia,
baik pada masa sekarang, maupun untuk masa-masa yang akan datang (Rizal, 2008:
1). Selain itu antara sejarah pendidikan dengan perkembangan pendidikan
memiliki hubungan yang sangat erat kaitannya, karena dengan kita mengetahui
sejarah kita dapat mengetahui keadaan yang lampau sehingga kita bisa bercermin
dari keadaan itu serta memberi
penjelasan untuk masa sekarang dan memprediksi langkah-langkah selanjutnya
untuk masa yang akan datang agar tidak stagnan atau bahkan mengalami kemunduran
- Pengertian Historis
Yang dimaksud dengan
sejarah/historis adalah keadaan masa lampau dengan segala macam kejadian atau
kegiatan yang didasari oleh konsep-konsep tertentu. Sejarah penuh dengan
informasi-informasi yang mengandung kejadian, model, konsep, teori, praktik,
moral, cita-cita, bentuk dan sebagainya (Pidarta, 2007: 109).
Yang dimaksud
dengan landasan historis pendidikan adalah sejarah pendidikan di masa lalu yang
menjadi acuan terhadap pengembangan pendidikan di masa kini.
- Landasan Historis Pendidikan Nasional Indonesia
Landasan
historis pendidikan Nasional Indonesia tidak terlepas dari sejarah bangsa
indonesia itu sendiri. Bangsa Indonesia terbentuk melalui suatu proses sejarah
yang cukup panjang sejak zaman kerajaan Kutai, Sriwijaya, Majapahit sampai
datangnya bangsa lain yang menjajah serta menguasai bangsa Indonesia.
Beratus-ratus tahun bangsa Indonesia dalam perjalanan hidupnya berjuang untuk
menemukan jati dirinya sebagai suatu bangsa yang merdeka, mandiri serta
memiliki suatu prinsip yang tersimpul
dalam pandangan hidup serta filsafat hidup bangsa. Pada akhirnya bangsa
Indonesia menemukan jati dirinya, yang di dalamnya tersimpul ciri khas, sifat
dan karakter bangsa yang berbeda dengan bangsa lain. Para pendiri negara kita
merumuskan negara kita dalam suatu rumusan yang sederhana namun mendalam, yang
meliputi 5 prinsip (lima sila) yang kemudian diberi nama Pancasila.
Jadi, secara
historis nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila Pancasila sebelum
dirumuskan dan disahkan menjadi dasar negara Indonesia secara objektif historis
telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri. Sehingga asal nilai-nilai
Pancasila tersebut tidak lain adalah dari bangsa Indonesia sendiri.
Konsekuensinya, Pancasila berkedudukan sebagai dasar filsafat negara serta ideology
bangsa dan negara, bukan sebagai suatu ideology yang menguasai bangsa, namun
justru nilai-nilai dari sila-sila Pancasila itu melekat dan berasal dari bangsa
Indonesia itu sendiri
Dengan kata
lain, tinjauan landasan sejarah atau historis Pendidikan Nasional Indonesia
merupakan pandangan ke masa lalu atau pandangan retrospektif. Pandangan ini
melahirkan studi-studi historis tentang proses perjalanan pendidikan nasional
Indonesia yang terjadi pada periode tertentu di masa yang lampau.
Dengan
demikian, setiap bidang kegiatan yang ingin dicapai manusia untuk maju, pada
umumnya dikaitkan dengan bagaimana keadaan bidang tersebut pada masa yang
lampau (Pidarta, 2007: 110). Demikian juga halnya dengan bidang pendidikan.
Sejarah pendidikan merupakan bahan pembanding untuk memajukan pendidikan suatu
bangsa. Sejarah telah memberi penerangan, contoh, dan teladan bagi manusia dan
diharapkan akan dapat meningkatkan peradaban manusia itu sendiri di masa kini
dan masa yang akan datang.
Berikut ini
adalah pembahasan landasan sejarah kependidikan di Indonesia yang meliputi:
- . Sejarah pendidikan dunia
Sejarah
pendidikan dunia yang memberikan pengaruh pada pendidikan zaman sekarang
meliputi zaman-zaman: (1) Realisme, (2) Rasionalisme, (3) Naturalisme, (4)
Developmentalisme, (5) Nasionalisme, (6) Liberalisme, Positivisme, dan
Individualisme, serta (7) Sosialisme.
1. Zaman
Realisme
Seiring
berkembangnya ilmu pengetahuan alam yang didukung oleh penemuan-penemuan ilmiah
baru, pendidikan diarahkan pada kehidupan dunia dan bersumber dari keadaan
dunia pula, berbeda dengan pendidikan-pendidikan sebelumya yang banyak
berkiblat pada dunia ide, dunia surga dan akhirat. Realisme menghendaki pikiran
yang praktis (Pidarta, 2007: 111-114). Menurut aliran ini, pengetahuan yang
benar diperoleh tidak hanya melalui penginderaan semata tetapi juga melalui
persepsi penginderaan (Mudyahardjo, 2008: 117).
Tokoh-tokoh
pendidikan zaman Realisme ini adalah Francis Bacon dan Johann Amos Comenius.
Sedangkan prinsip-prinsip pendidikan yang dikembangkan pada zaman ini meliputi:
a) Pendidikan lebih dihargai daripada
pengajaran,
b) Pendidikan harus menekankan aktivitas
sendiri,
c) Penanaman pengertian lebih penting
daripada hafalan,
d) Pelajaran disesuaikan dengan perkembangan
anak,
e) Pelajaran harus diberikan satu per satu,
dari yang paling mudah,
f) Pengetahuan diperoleh dari metode
berpikir induktif (mulai dari menemukan fakta-fakta khusus kemudian dianalisa
sehingga menimbulkan simpulan) dan anak-anak harus belajar dari realita alam,
g) Pendidikan bersifat demokratis dan semua
anak harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar (Pidarta, 2007: 112).
2. Zaman Rasionalisme
Tokoh
pendidikan pada zaman ini pada abad ke-18 adalah John Locke Aliran ini
memberikan kekuasaan pada manusia untuk berfikir sendiri dan bertindak untuk
dirinya, karena itu latihan sangat diperlukan pengetahuannya sendiri dan
bertindak untuk dirinya. Paham ini muncul karena masyarakat dengan kekuatan
akalnya dapat menumbangkan kekuasaan Raja Perancis yang memiliki kekuasaan
absolut. Teorinya yang terkenal adalah leon Tabularasa, yaitu mendidik seperti
menulis di atas kertas putih dan dengan kebebasan dan kekuatan akal yang
dimilikinya manusia digunakan unutk membentuk pengetahuannya sendiri. Teori
yang membebaskan jiwa manusia ini bisa mengarah kepada hal-hal yang negatif,
seperti intelektualisme, individualisme, dan materialisme (Pidarta, 2007: 114).
Menurut John
Locke ada tiga langkah dalam proses belajar mengajar, yaitu:
a) Mengamati hal-hal yang ada di luar diri
manusia
b) Mengingat apa yang telah diamati dan
dihafalkan
c) Berpikir (Pidarta, 2007: 114)
3. Zaman
Naturalisme
Pada abad ke-18
muncullah aliran Naturalisme Sebagai reaksi terhadap aliran Rasionalisme dengan
tokohnya, J. J. Rousseau. Aliran ini menentang kehidupan yang tidak wajar
sebagai kibat dari Rasionalisme, seperti gaya hidup yang diperhalus, cara hidup
yang dibuat-buat sampai pada korupsi, anak-anak dipandang sebagai manusia
dewasa yang kecil. Naturalisme menginginkan keseimbangan antara kekuatan rasio
dengan hati (Pidarta, 2007: 115).
Naturalisme
menyatakan bahwa manusia didorong oleh kebutuhan-kebutuhannya, dapat menemukan
jalan kebenaran di dalam dirinya sendiri (Mudyaharjo, 2008: 118). Menurut
Rousseau ada tiga asas mengajar, yaitu:
a)
Asas
pertumbuhan, pengajaran harus memberi kesempatan untuk anak-anak bertumbuh
secara wajar dengan cara mempekerjakan mereka sesuai dengan kebutuhannya
b)
Asas aktivitas,
melalui bekerja anak-anak akan menjadi aktif yang akan memberikan pengalaman,
yang kemudian akan menjadi pengetahun mereka
c)
Asas
individualitas, dengan cara menyiapkan pendidikan sesuai dengan
individualitas
masing-masing
anak, sehingga mereka berkembang sesuai dengan alamnya sendiri (Pidarta, 2007:
116)
4. Zaman
Developmentalisme
Zaman
Developmentalisme berkembang pada abad ke-19. Aliran ini memandang pendidikan
sebagai suatu proses perkembangan jiwa sehingga aliran ini sering disebut
gerakan psikologis dalam pendidikan. Tokoh-tokoh aliran ini adalah: Pestalozzi,
Johan Fredrich Herbart, Friedrich Wilhelm Frobel, dan Stanley Hall (Pidarta,
2008: 116).
Konsep
pendidikan yang dikembangkan oleh aliran ini meliputi:
a)
Mengaktualisasi
semua potensi anak yang masih laten, membentuk watak susila dan kepribadian
yang harmonis, serta meningkatkan derajat sosial manusia (Pidarta, 2007:119).
b)
Pengembangan
ini dilakukan sejalan dengan tingkat-tingkat perkembangan anak (Pidarta, 2007:
120) yang melalui observasi dan eksperimen (Mudyahardjo, 2008: 114)
c)
Pendidikan
adalah pengembangan pembawaan (nature) yang disertai asuhan yang baik (nurture)
(Rohmawati, 2008).
d)
Pengembangan pendidikan
mengutamakan perbaikan pendidikan dasar dan pengembangan pendidikan universal
(Mudyaharjo, 2008: 114).
5. Zaman
Nasionalisme
Zaman
nasionalisme muncul pada abad ke-19 sebagai upaya membentuk patriot-patriot
bangsa dan mempertahankan bangsa dari kaum imperialis. Tokoh-tokohnya adalah La
Chatolais (Perancis), Fichte (Jerman), dan Jefferson (Amerika Serikat).
Konsep
pendidikan yang ingin diusung oleh aliran ini adalah:
a) Menjaga, memperkuat, dan mempertinggi
kedudukan negara,
b) Mengutamakan pendidikan sekuler, jasmani,
dan kejuruan,
c) Materi pelajarannya meliputi: bahasa dan
kesusastraan nasional, pendidikan
kewarganegaraan, lagu-lagu kebangsaan,
sejarah dan geografi Negara, dan pendidikan
jasmani (Rohmawati, 2008).
Akibat negatif
dari pendidikan ini adalah munculnya chaufinisme, yaitu kegilaan atau kecintaan
terhadap tanah air yang berlebih-lebihan di beberapa Negara, seperti di Jerman,
yang akhirnya menimbulkan pecahnya Perang Dunia I (Pidarta, 2007: 121).
6. Zaman
Liberalisme, Positivisme, dan Individualisme.
Zaman ini lahir
pada abad ke-19. Liberalisme berpendapat bahwa pendidikan adalah alat untuk
memperkuat kedudukan penguasa/pemerintahan yang dipelopori dalam bidang ekonomi
oleh Adam Smith dan siapa yang banyak berpengetahuan dialah yang berkuasa yang
kemudian mengarah pada individualisme. Sedangkan positivisme percaya kebenaran
yang dapat diamati oleh panca indera sehingga kepercayaan terhadap agama
semakin melemah. Tokoh aliran positivisme adalah August Comte (Pidarta, 2007:
120).
7. Zaman
Sosialisme
Aliran sosial
dalam pendidikan muncul pada abad ke-20 sebagai reaksi terhadap dampak
liberalisme, positivisme, dan individualisme. Tokoh-tokohnya adalah Paul
Nartorp, George Kerchensteiner (jerman), dan John Dewey (Amerik Serikat).
Menurut aliran ini, masyarakat memiliki arti yang lebih penting daripada
individu. Nartorp mengatakan individu
itu ibarat atom-atom yang tidak memiliki arti bila tidak berwujud benda. Begitu
pula individu sebenarnya tidk ada, sebab individu adalah suatu abstraksi saja
dari masyarakat. Karena itu sekolah harus diabdikan untuk tujuan-tujuan sosial
(Pidarta, 2007: 121).
- Sejarah Pendidikan Indonesia
Pendidikan di
Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang. Pendidikan itu telah ada sejak
zaman kuno/tradisional yang dimulai dengan zaman pengaruh agama Hindu dan
Budha, zaman pengaruh Islam, zaman penjajahan, dan zaman merdeka (Pidarta,
2007: 125). Mudyahardjo dan Nasution (Dalam rohmawati 2008) menguraikan masing-masing
zaman tersebut secara lebih terperinci.
Berikut ini
adalah uraian dan rincian perjalanan sejarah pendidikan Indonesia:
1. Zaman
Pengaruh Hindu dan Budha(Purba)
Hinduisme and
Budhisme datang ke Indonesia sekitar abad ke-5. Hinduisme dan Budhisme
merupakan dua agama yang berbeda, namun di Indonesia keduanya memiliki
kecenderungan sinkretisme, yaitu keyakinan mempersatukan figur Syiwa dengan
Budha sebagai satu sumber Yang Maha Tinggi. Motto pada lambang Negara Indonesia
yaitu Bhinneka Tunggal Ika, secara etimologis berasal dari keyakinan tersebut
(Mudyahardjo, 2008: 215).
Jika kita
mengamati sejarah tentang borobudur merupakan warisan sejarah yang bisa kita
gunakan sebagai perbandingan perkembangan pendidikan pada masa itu dengan masa
sekarang. Borobudur adalah candi budha terbesar pada abad 9, yang berukuran 123
X 123 meter serta terdiri dari 1.460 relief dan 504 stupa. Borobudur setelah
dibangun 3 abad sebelum Angkor Wat di
Kamboja dan 4 abad sebelum Katedral Agung di Eropa ini.
Berdasarkan
keterangan di atas Borobudur merupakan tonggak sejarah terbesar bagi Indonesia,
karena pada saat itu (abad 9) bisa dikatakan Indonesia menjadi negara number
one. Jika ditinjau dari segi pembuatannya, maka akan muncul asumsi tentang
jumlah tenaga yang digunakan (berhubungan dengan manajemen) dan arsitekturnya.
Padahal pada masa itu sumber belajarnya hanya berupa orang tidak seperti
sekarang yang sumber belajarnya tidak hanya berupa orang, tetapi ada buku, TV,
radio, HP, komputer (laptop), dan internet. Seharusnya pada saat ini justru
kita harus lebih baik lagi dan lebih maju dari pada abad 9 tersebut yang belum
ada pendidikan manajemen dan pendidikan arsitek.
1. Zaman
Pengaruh Islam (Tradisional)
a). Awal
masuknya Agama Islam di Indonesia
Agama islam
yang dibawa oleh pedagang dari Persia dan Gujarat ke Indonesia. Agama Islam
mudah tersebar karena agama Islam dapat bersatu dengan kebudayaan Indonesia.
Keduanya dapat saling membantu dan saling mempengaruhi. Agama Islam besar
sekali pengaruhnya di dalam mendidik rakyat jelata. Berbeda dengan Agama Hindu
dan Budha, Agama Islam menyiarkan Agamanya mulai dari bawah/dari rakyat biasa.
Para Ulama sangat dekat dengan rakyat biasa, mereka bisa hidup bersama dengan
rakyat biasa. Bentuk pendidikan yang Islam ada 3 macam, yaitu di Langgar,
Pesantren, dan Madrasah.
b). Bentuk
pendidikan pada awal penyebaran agama islam di Indonesia
1). Di langgar
Merupakan
tempat pendidikan agama islam permulaan. Yang dipentingkan ialah membaca dan
menulis huruf arab. Pengajaran berlangsung secara secara Individual, artinya
seorang guru mengajar seorang anak.
2). Pendidikan
di pesantren
Tempat
pengajaran Agama Islam yang lebih lanjut dan lebih mendalam ada di pesantren.
Pengetahuan yang diberikan ada 3 bidang yaitu: agama; ilmu pengetahuan; keterampilan.
3). Pendidikan
Madrasah
Pada madrasah
guru-guru diperkenankan menerima balasan jasa dalam bentuk uang (gaji). Lembaga
pendidikan ini lebih menekankan pada pemberian ilmu pengetahuan umum disamping
pelajaran agama. Pendidikan Madrasah diatur berjenjang sejajar dengan
pendidikan dasar dan menengah seperti sekarang ini. Jenjang ini adalah
1. Tingkat TK :
Bustanul
2. Tingkat SD :
Ibtidaiyah
3. Tingkat SMP
: Tsanawiyah
4. Tingkat SMA
: Aliyah
4). Wali Sanga
Wali adalah
sahabat Allah, yaitu orang yang dicintai oleh Allah serta memiliki pengetahuan
agama islam yang mendalam. Wali merupakan orang yang pintar, ahli agama, dan
filsafat hidupnya dicurahkan untuk agama, tidak mementingkan dunia materi.
Tugas utamanya adalah sebagai penyebar agama. Selain sebagai penyiar agama, ia
juga menjadi pelopor dalam usaha memajukan kehidupan rakyat (Rizal, 2008).
3. Zaman
Pengaruh Nasrani (Katholik dan Kristen)
Bangsa Portugis
pada abad ke-16 bercita-cita menguasai perdagangan dan perniagaan Timur-Barat
dengan cara menemukan jalan laut menuju dunia Timur serta menguasai
bandar-bandar dan daerah-daerah strategis yang menjadi mata rantai perdagaan
dan perniagaan (Mudyahardjo, 2008: 242).
Di samping
mencari kejayaan (glorious) dan kekayaan (gold), bangsa Portugis datang ke
Timur (termasuk Indonesia) bermaksud pula menyebarkan agama yang mereka anut,
yakni Katholik (gospel). Pada akhirnya pedagang Portugis menetap di bagian
timur Indonesia tempat rempah-rempah itu dihasilkan. Namun kekuasaan Portugis
melemah akibat peperangan dengan raja-raja di Indonesia dan akhirnya
dilenyapkan oleh Belanda pada tahun 1605 (Nasution, 2008: 4). Dalam setiap
operasi perdagangan, mereka menyertakan para paderi misionaris Paderi yang
terkenal di Maluku, sebagai salah satu pijakan Portugis dalam menjalankan
misinya, adalah Franciscus Xaverius dari orde Jesuit.
Orde ini
didirikan oleh Ignatius Loyola (1491-1556) dan memiliki tujuan yaitu segala
sesuatu untuk keagungan yang lebih besar dari Tuhan (Mudyahardjo, 2008: 243).
Yang dicapai dengan tiga cara: memberi khotbah, memberi pelajaran, dan
pengakuan. Orde ini juga mempunyai organisasi pendidikan yang seragam: sama di
mana pun dan bebas untuk semua. Xaverius memandang pendidikan sebagai alat yang
ampuh untuk penyebaran agama, Nasution dalam Rohmawati (2008).
Sedangkan
pengaruh Kristen berasal dari orang-orang Belanda yang datang pertama kali
tahun1596 di bawah pimpinan Cornelis de Houtman dengan tujuan untuk mencari
rempah-rempah. Untuk menghindari persaingan di antara mereka, pemerintah
Belanda mendirikan suatu kongsi dagang yang disebut VOC (vreenigds Oost
Indische Compagnie) atau Persekutuan Dagang Hindia Belanda tahun 1602
(Mudyahardjo, 2008: 245).
Sikap VOC
terhadap pendidikan adalah membiarkan terselenggaranya Pendidikan Tradisional
di Nusantara, mendukung diselenggarakannya sekolah-sekolah yang bertujuan
menyebarkan agama Kristen. Kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh VOC terutama
dipusatkan di bagian timur Indonesia di mana Katholik telah berakar dan di
Batavia (Jakarta), pusat administrasi kolonial. Tujuannya untuk melenyapkan
agama Katholik dengan menyebarkan agama Kristen Protestan, Calvinisme
(Nasution, 2008: 4-5).
4. Zaman
Kolonial Belanda
Tujuan bangsa
Belanda ke Indonesia juga sama dengan bangsa Spanyol dan Portugis. Belanda
mendirikan sekolah-sekolah yang tidak hanya mengjarkan agama saja, tetapi juga
mengajarkan pengetahuan umum. Sekolah-sekolah banyak didirikan di Pulau Ambon,
Ternate, dan Bacan (Maluku). Sekolah-sekolah ini tidak hanya mengajarkan khusus
agama saja, tetapi juga mengejarkan pengetahuan umum. Bahasa pengantar yang
dipergunakan adalah bahasa Melayu dan Belanda. Selain itu mereka juga
mendirikan sekolah untuk calon pegawai VOC. Sekolah ini didirikan di Ambon dan
Jakarta (rizal, 2008).
Meskipun
sekolah-sekolah telah banyak berdiri, tetapi secara vormal, sekolah-sekolah itu
tidak didirikan atas nama VOC, tetapi didirikan oleh orang-orang dari kalangan
agama, yaitu agama Kristen Protestan. Keuntungan besar dari sekolah ini adalah
setelah kita mencapai kemerdekaan dimana kebutuhan akan pendidikan sangat
diperlukan. Sebagian besar penduduk di Indonesia bagian timur sudah tidak
mengalami tuna aksara. Ini karena telah lama penduduk Indonesia bagian timur
telah mengenal pendidikan/sekolah (Rizal, 2008).
Oleh karena
itu, kurikulum sekolah mengalami perubahan radikal dengan masuknya ide-ide
liberal tersebut yang bertujuan mengembangkan kemampuan intelektual,
nilai-nilai rasional dan sosial. Pada awalnya kurikulum ini hanya diterapkan
untuk anak-anak Belanda selama setengah abad ke-19 (rohmawati, 2008).
Sejak
dijalankannya Politik Etis ini tampak kemajuan yang lebih pesat dalam bidang
pendidikan selama beberapa dekade. Pendidikan yang berorientasi Barat ini
meskipun masih bersifat terbatas untuk beberapa golongan saja, antara lain anak-anak
Indonesia yang orang tuanya adalah pegawai pemerintah Belanda, telah
menimbulkan elite intelektual baru (Rohmawati, 2008).
Golongan baru
inilah yang kemudian berjuang merintis kemerdekaan melalui pendidikan.
Perjuangan yang masih bersifat kedaerahan berubah menjadi perjuangan bangsa
sejak berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908 dan semakin meningkat dengan
lahirnya Sumpah Pemuda tahun 1928 (Rohmawati, 2008).
Setelah itu
tokoh-tokoh pendidik lainnya adalah Mohammad Syafei dengan Indonesisch
Nederlandse School-nya, Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswa-nya, dan Kyai
Haji Ahmad Dahlan dengan Pendidikan Muhammadiyah-nya yang semuanya mendidik
anak-anak agar bisa mandiri dengan jiwa merdeka (Pidarta, 2008: 125-33).
5. Zaman
Kolonial Jepang
Perjuangan
bangsa Indonesia dalam masa penjajahan Jepang tetap berlanjut sampai cita-cita
untuk merdeka tercapai. Walaupun bangsa Jepang menguras habis-habisan kekayaan
alam Indonesia, bangsa Indonesia tidak pantang menyerah dan terus mengobarkan
semangat 45 di hati mereka (Rohmawati, 2008).
Meskipun
demikian, ada beberapa segi positif dari penjajahan Jepang di Indonesia. Di
bidang pendidikan, Jepang telah menghapus dualisme pendidikan dari penjajah
Belanda dan menggantikannya dengan pendidikan yang sama bagi semua orang. Selain
itu, pemakaian bahasa Indonesia secara luas diinstruksikan oleh Jepang untuk di
pakai di lembaga-lembaga pendidikan, di kantor-kantor, dan dalam pergaulan
sehari-hari. Hal ini mempermudah bangsa Indonesia untuk merealisasi Indonesia
merdeka. Pada tanggal 17 Agustus 1945 cita-cita bangsa Indonesia menjadi
kenyataan ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan kepada dunia (rohmawati,
2008).
Tag :
MAKALAH
0 Komentar untuk "Contoh Makalah Landasan Historis Pendidikan"