B. Menyontek
Eri
Sudewo (dalam Asep Sapa’at, 2012, hlm.157) mengatakan
Watak
tak lain adalah perilaku. Ada perilaku baik dan ada yang buruk. Yang baik
disebut karakter, perilaku buruk dikatakan tabiat. Baik buruk, ternyata itu
perjalanan. Bicara perjalanan adalah bicara proses. Bicara proses adalah bicara
dinamika pembentukan watak seseorang. Yang baik buruknya amat tergantung pada
latar keluarga, pengaruh lingkungan, serta tuntunan nilai dan norma adat
tradisi, kepercayaan, dan agama.
Istilah
menyontek yang sudah tidak asing di telinga setiap orang, menjadikan salah satu
hal yang hampir terlupakan dalam dunia pendidikan. Satu bentuk perilaku kurang
baik yang muncul pada siswa. Kurangnya perhatian menangani masalah menyontek
membuat pertanyaan tersendiri menucul definisi yang mengartikan mengenai
perilaku menyontek ditinjau dari berbagai perspektif kelimuan.
Menyontek
adalah tindakan koruptif yang mengacu kepada kebohongan akademik. Abdullah
Alhadza dalam Satriya (2011) mengutip pendapat dari Bower (1964) yang
mendefinisikan “cheating is manifestation of using illigitimate means to achieve
a legitimate end (achieve academic success or avoid academic failure),”
maksudnya “menyontek” adalah perbuatan yang menggunakan cara-cara yang tidak
sah untuk tujuan yang sah/terhormat yaitu mendapatkan keberhasilan akademis
atau menghindari kegagalan akademis.
Dalam
konteks pendidikan di sekolah, beberapa perbuatan yang termasuk dalam kategori
menyontek antara lain adalah
a. Meniru
pekerjaan teman,
b. Bertanya
langsung pada teman ketika sedang mengerjakan tes/ujian,
c. Membawa
catatan pada kertas, pada anggota badan atau pada pakaian saat masuk ke ruang
ujian,
d. Menerima
dropping jawaban dari pihak luar,
e. Mencari
bocoran soal,
f. Arisan
(saling tukar) mengerjakan tugas dengan teman,
g. Menyuruh
atau meminta bantuan orang lain dalam menyelesaikan tugas ujian di kelas.
Asep
Safaat (2012, hlm. 233) menyatakan, “Memilih sikap menyontek, itu berisiko.
Memutuskan bersikap jujur juga tak kalah berisiko. Mengedepankan hati nurani
dalam memilih suatu sikap, itu cara mendidik karakter yang sesungguhnya”.
Banyaknya bentuk
menyontek yang dipraktikkan siswa mulai dari cara yang sederhana seperti
melihat jawaban teman, bertanya atau membuka buku sampai dengan cara yang
canggih sekalipun seperti menggunakan media handphone untuk browsing jawaban
ketika ujian. Dengan demikian hal ini membuat perilaku menyontek semakin
menjamur di dunia pendidikan.
Pendapat
lain dinyatakan oleh Stephen Davis (2009) “Cheating can be defined as
deceiving or depriving by trickery, defrauding, misleading or fooling another.”
Maksudnya menyontek dapat didefinisikan sebagai menipu atau merampas dengan
tipu daya, menipu, menyesatkan atau menipu orang lain.
Bisa
terlihat bahwa perbuatan ini memang bukan perbuatan yang bisa terus menerus
kita anggap wajar, sehingga tidak ada penyelesaian yang dilakukan untuk
mengubah kebiasaan seperti ini terjadi di sekolah khususnya.
Nilai
jujur bisa diajarkan melalui penyampaian materi pelajaran, yaitu pengajaran
tentang kejujuran. Ujian kejujuran sesungguhnya hanya akan terjadi ketika siswa
mempunyai kesempatan untuk menyontek, tetapi dia memutuskan untuk tetap jujur.
Seseorang
dengan motivasi berprestasi tinggi ingin mengerjakan sesuatu dengan baik dan
mereka mempunyai standar yang tinggi untuk kualitas hasil pekerjaan. Seseorang
dengan motivasi berprestasi rendah cenderung tidak mudah dalam mengatasi godaan
untuk tidak menyontek.
Orang
yang dominan oleh pusat kendali internal mempercayai bahwa kemajuan dalam hidup
ditentukan oleh faktor-faktor dari dalam diri sendiri. Mereka bekerja keras,
mempunyai cita-cita tinggi, ulet, dan menganggap kemajuan dirinya disebabkan ia
bertanggungjawab terhadap hasil kerjanya. Orang-orang yang lebih dominan dikendalikan
faktor-faktor dari luar dirinya, mempercayai bahwa keberhasilan ditentukan oleh
hal-hal dari luar dirinya, seperti nasib baik, adanya koneksi, bukan karena
kerja keras diri sendiri.
“Our
personal histories form a fabric of perspectives on not just cheating but also
learning itself. We often learn more from our mistakes than when everything
goes perfectly. Those responsible for learning, including each of us, know many
of the obstacles to learning. Teaching is about removing obstacles to learning
and reinforcing fundamental curiosities about how the world works. We often do
not succed because of the variety of ways learning occurs, unevenness in the
pace of learning, or misunderstandings about how learning can happen. Student
cheating is not only an obstacle to learning, of course, but unsophisticated
ways in confronting it may also inhibit learning..” (Stephen Davis, 2009, hlm.
71)
Dikatakan
bahwa kita membentuk perspektif tentang menyontek bukan hanya kecurangannya
saja tetapi juga belajarnya itu sendiri. Kita sering belajar lebih banyak dari
kesalahan kita daripada ketika semuanya berjalan dengan sempurna. Mereka yang
bertanggung jawab untuk belajar, termasuk masing-masing dari kita, mengatahui
banyak hambatan untuk belajar. Mengajar adalah tentang bagaimana menghapus
hambatan untuk belajar dan memperkuat keingintahuan mendasar tentang bagaimana
dunia bekerja. Kita sering tidak mengalami sukses karena berbagai cara
pembelajaran terjadi, ketidakrataan dalam kecepatan belajar, atau
kesalahpahaman tentang bagaimana belajar bisa terjadi. Siswa menyontek bukan
hanya hambatan untuk belajar, tentu saja, tapi cara-cara canggih dalam
menghadapi hal itu juga dapat menghambat belajar.
Szabo
dan Underwood (dalam Anderman dan Murdock, 2007) mengidentifikasi beberapa
faktor yang termasuk pada faktor situasional yang menyebabkan siswa menyontek
adalah sebagai berikut:
1. Materi
ujian yang diberikan oleh guru terlalu sulit atau tidak dipahami oleh siswa
sehingga siswa menjadi gelap mata dan mencari jalan pintas untuk menyelesaikan
ujian yakni dengan menyontek.
2. Adanya
kompetisi antara satu siswa dengan siswa yang lainnya sehingga menimbulkan
tekanan terhadap siswa yang mempunyai potensi yang rendah untuk menyamakan
kedudukan dengan temannya yang lain.
3. Perilaku
menyontek tidak lepas dari pengaruh adanya pengakuan atau persetujuan terhadap
tindakan menyontek dan contoh tindakan menyontek dilakukan oleh teman sebaya
dalam satu kelompok atau teman sekelas.
4. Karakteristik
guru atau pengawas ketika ulangan juga berpengaruh. Hal ini telah dipahami oleh
banyak siswa, pengawas yang baik atau tidak terlalu ketat akan membuat siswa
merasa aman untuk menyontek sedangkan apabila pengawas ketika ujian benar-benar
memperhatikan siswa serta tidak memberikan sedikitpun kesempatan siswa untuk
menyontek maka siswa pun akan merasa takut walaupun hanya melirik kepada
temnanya.
Keempat
faktor tersebut sangat berhubungan dengan gaya belajar seseorang. Bila saat
kegiatan belajar mengajar kebutuhan gaya belajar masing-masing siswa terpenuhi,
maka siswa dapat menyerap pelajaran dan mengerjakan soal ulangan dengan mudah
tanpa menyontek.
“Berkahnya
belajar tanpa menyontek adalah kita benar-benar menguasai pelajaran kita”
(Yunsirno, 2010, hlm. 133). Bila kita menguasai materi pelajaran, maka tidak
lagi menggunakan menyontek sebagai jalan pintas untuk mendapatkan nilai yang
bagus tetapi tidak murni hasil usaha sendiri.
Selain
itu, menyontek merupakan perbuatan yang tidak terpuji, membohongi diri sendiri
untuk mendapatkan kepuasaan. Maka Olivia (2011, hlm. 13) menyatakan “Ingatlah bahwa
menyontek itu salah dan kita berdosa bila melakukannya karena menipu diri
sendiri dan orang lain”.
Tag :
Skripsi Bahasa Indonesia
0 Komentar untuk "Berkahnya Belajar Tanpa Menyontek Adalah Kita Benar-Benar Menguasai Pelajaran Kita"