2.3 Pembelajaran bahasa Inggris di SD
Pelaksanaan pembelajaran Mata Pelajaran bahasa Inggris di
SD sudah diperkenalkan sejak adanya ketentuan muatan lokal Mata Pelajaran
bahasa Inggris yang memperbolehkan bahasa Inggris dikenalkan di
SD. Bahasa Inggris sendiri merupakan
salah satu bahasa asing yang paling banyak dipelajari di Indonesia. Selain itu
juga bahasa Inggris dipergunakan oleh berbagai negara. Menurut Crystal (Rina
dan Sirajuddin, 2003) bahwa bahasa Inggris tersebar dan dipergunakan hampir
seperempat penduduk dunia dan terus akan berkembang menjadi satu setengah
trilyun pada awal tahun 2000-an ini.
Tujuan pengajaran bahasa Inggris di SD juga mencakup semua kompetensi
bahasa, yaitu: menyimak (listening), berbicara (speaking),
membaca (reading), dan menulis (writing). Pembelajaran bahasa Inggris pada jenjang pendidikan SD identik
dengan mengajari seorang bayi bahasa ibu. Dimana secara umum anak-anak kita di SD belum mengenal bahasa Inggris.
Bahasa Inggris sangat berbeda dengan bahasa pertama anak-anak (bahasa
Indonesia, Jawa, Sunda, dan bahasa daerah yang lain di Indonesia). Perbedaan
kebahasaan ini penting untuk dipahami guru agar pembelajaran dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya. Perbedaan tersebut antara lain: ucapan,
ejaan, struktur bahasa, tekanan dan intonasi, kosakata, dan nilai kultur bahasa
asing. Sehingga hal itu akan
berdampak pada pola pengajaran bahasa Inggris pada tingkat SD yang lebih
bersifat pengenalan. Sehingga diusahakan sedapat mungkin agar tercapai apa yang
disebut “kesan pertama sangat mengesankan” yang selanjutnya sebagai motivasi bagi mereka untuk mengeksplorasi
khasanah berbahasa Inggris pada tataran lebih lanjut. Maka dari itu diperlukan
kiat-kiat khusus berupa penerapan metode-metode pembelajaran yang inovatif.
Karena
masih dalam taraf pengenalan maka pendalaman materi hanya dapat berkisar pada
tema-tema sederhana yang memungkinkan dalam jangkauan pancaindra siswa dan
imajinasi sederhana siswa. Hal tersebut disesuaikan dengan tataran kognitif anak SD. Dalam Buku Belajar dan Pembelajaran 2
Suciati (Pojok Guru, 2010), menuliskan pendapat Piaget yang menjelaskan secara umum
perkembangan intelektual anak melalui empat tahapan yaitu sensori motorik (umur
0 – 2 tahun), pra operasional (Umur 2 – 7 tahun), operasional konkret (umur 7 –
11 tahun), dan operasi formal (umur 11 tahun ke atas). Sehingga menurut
Piaget, siswa SD berada pada tataran operasional
konkrit.
Demikian juga mempertimbangkan suasana lingkungan belajar
siswa. Jangan sampai materi yang diberikan secara fakta tidak pernah
berinteraksi dan di luar imajinasi siswa. Sehingga harapan kebermaknaan belajar
sangat jauh dari harapan. Kita tidak
bisa memulai pengenalan belajar bahasa dengan cara menghapalkan kata dan arti,
mengenalkan tensis, dan yang lainnya seperti kita belajar sewaktu di bangku
SMA. Banyak sekali buku-buku pelajaran bahasa Inggris untuk SD yang ditulis
dengan gaya seperti itu. Pola pembelajaran bahasa Inggris dengan tingkat
pengenalan sedapat mungkin diciptakan suasana bahwa di ruangan itu adalah
ruangan yang segala bentuk tampilan berbahasa menggunakan bahasa Inggris. Menurut Fillmore (Kasihani, 2007) dari hasil penelitiannya
ditemukan bahwa anak-anak yang berhasil dalam pemerolehan bahasa Inggris adalah
mereka yang sering berinteraksi dengan orang-orang yang menguasai bahasa
Inggris dengan baik. Dan menurut Furqanul
dan Chaedar (1996: 93), “...proses belajar berbicara
dalam bahasa asing akan menjadi mudah jika pembelajar secara aktif terlibat
dalam upaya-upaya untuk berkomunikasi”.
Bahasa Inggris sama halnya dengan bahasa Indonesia adalah merupakan alat
komunikasi yang mengandung beberapa sifat yaitu sistemik, manasuka, ujar,
manusiawi, dan komunikatif. Disebut sistemik karena bahasa merupakan sebuah sistem yang terdiri dari sistem bunyi dan sistem makna. Menurut Chaedar (1993: 83), “Sistematik
berarti mempunyai aturan atau pola. Pada setiap bahasa, aturan ini bisa
terlihat dalam dua hal yaitu: (1) sistem bunyi dan (2) sistem makna”.
Manasuka karena antara makna dan bunyi tidak ada hubungan logis. “Arbitrary
berarti selected at random and without
reason, dipilih secara acak tanpa alasan” (Chaedar, 1993: 85). Disebut
ujaran karena dalam bahasa yang terpenting adalah bunyi, karena walaupun ada yang ditemukan dalam media
tulisan tapi pada akhirnya dibaca dan menimbulkan bunyi.”Kita bisa berbicara tanpa menulis, tapi kita
tidak bisa menulis tanpa berbicara (pada diri sendiri paling tidak)” (Chaedar,
1993: 86). Disebut manusiawi karena bahasa ada jika manusia masih ada
dan memerlukannya (Santosa: 2005). Sehingga pembelajaran
bahasa khususnya bahasa Inggris harus dikembalikan sebagai pembelajaran bahasa
yang manusiawi. Kita mungkin masih ingat bagaimana orang tua kita mengajarkan
bahasa pada adik kita, demikian juga halnya saat kita belajar bahasa, tak
terkecuali belajar bahasa Inggris. Tanpa metode apapun mereka mengajarkan
bahasa tetapi kita akhirnya dapat berbahasa. Namun ketika menginjak usia
sekolah dan mendapat pelajaran bahasa, keadaan menjadi terbalik. “Bahasa yang semula merupakan hal yang
mudah dan mengasyikkan
berubah menjadi pelajaran yang sulit, (Goodman, 1986 dalam Santosa, 2005)”.
Kenyataan di
lapangan, pembelajaran bahasa Inggris di SD masih belum menerapkan
prinsip-prinsip pembelajaran bahasa untuk pembelajar muda. Hal ini bisa dilihat
dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Muflikah terhadap pelaksanaan pembelajaran bahasa Inggris SD di
Kota Salatiga, dikemukakan sejumlah dimensi pada pembelajaran bahasa Inggris di
SD sebagai berikut:
1. Tujuan pembelajaran adalah agar para siswa
memiliki persepsi dan sikap positif terhadap bahasa Inggris. Selain itu, agar
para siswa memiliki keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis
sederhana dalam bahasa Inggris.
2. Model silabus yang digunakan adalah
silabus tematik. Keterampilan bahasa dan unsur bahasa diajarkan secara terpadu
di bawah topik atau tema tertentu.
3. Aktivitas pembelajaran berbentuk
penyelesaian tugas dan dilaksanakan secara klasikal. Prosedur pelaksanaannya
dilaksanakan melalui empat tahap yakni membuat rencana pembelajaran, kegiatan
awal, kegiatan inti, dan kegiatan akhir.
4. Materi pembelajaran yang digunakan terdiri
dari materi pokok dan materi pengembangan. Materi pokok yang digunakan
bersumber dari kurikulum bahasa Inggris SD yang ditetapkan oleh Kanwil
Depdikbud, Propinsi Jawa Tengah, sedangkan materi pengembangan diambil dari
referensi yang lain, materi buatan guru dan materi buatan siswa.
5. Evaluasi hasil belajar siswa digunakan
untuk mengetahui keberhasilan pembelajaran bahasa Inggris. Dalam
pelaksanaannya, penilaian diklasifikasikan dalam empat bagian, yakni prosedur
penilaian, jenis penilaian, alat penilaian, dan bentuk pelaksanaan tes.
Prosedur penilaian dilaksanakan melalui tes dalam proses dan tes akhir. Jenis
tes dilaksanakan melalui tes lisan dan tes tertulis. Alat penilaian berupa
soal-soal yang harus dikerjakan oleh siswa melalui tes tertulis. Soal-soal
diambilkan dari buku teks, LKS, dan soal-soal yang dibuat oleh guru. Bentuk
pelaksanaan tes diberikan melalui tes formatif dan tes sumatif.
6. Peran guru dalam kegiatan pembelajaran
sangat dominan: menjelaskan materi, memberi tugas, mengontrol kelas, dan
mengevaluasi hasil belajar siswa.
7. Peran siswa dalam kegiatan pembelajaran.
Siswa hanya melaksanakan tugas yang diinstruksikan oleh guru. Siswa kurang
diberi kesempatan untuk berlatih menggunakan bahasa Inggris itu sendiri.
Selain itu,
Kasihani dalam Pidato Pengukuhan Guru Besarnya mengungkapkan sejumlah temuan pada pembelajaran
bahasa Inggris di SD diantaranya; bahan ajar bahasa Inggris untuk SD
cukup banyak di pasaran, namun tidak banyak yang memenuhi syarat untuk dipakai
sebagai buku pegangan siswa di kelas. Oleh karena itu, guru harus mampu dan
terampil memilih buku dengan mempertimbangkan kesesuaian dengan tujuan, isi, bahasa,
dan tingkat kesulitan untuk siswa.
Selain itu, belum tersedianya
silabus bahasa Inggris untuk SD yang dilengkapi dengan bahan ajar, petunjuk
guru, dan medianya. Lanjutnya, pengajaran
bahasa Inggris di SD harus menarik
bagi siswa sehingga diperlukan guru bahasa Inggris yang memiliki kemampuan
dan keterampilan berbahasa Inggris yang memadai untuk berperan sebagai guru
bahasa asing di SD namun sebagian
besar (+ 80%) mereka tidak memiliki
latar belakang pendidikan bahasa Inggris yang memadai. Bagaimana guru memandang proses belajar dan cara dia mengajar memberi
pengaruh yang cukup besar terhadap proses belajar mengajar. Balhadi (1986: 46)
mengemukakan bahwa:
Kelas yang sudah
dihinggapi kuman penyakit mental seperti “tidak menyenangi guru”, misalnya, sukar
untuk diarahkan kepada tujuan yang sudah ditargetkan, lebih-lebih jika yang
menanganinya itu justru guru yang kurang disenangi itu.
Apabila suasana belajar-mengajar
menyenangkan, maka siswa akan memusatkan perhatiannya secara penuh pada belajar
sehingga waktu curah perhatiannya tinggi. “Menurut hasil penelitian, tingginya
waktu curah terbukti meningkatkan hasil belajar” (surur, 2010). Dan menurut pandangan Saefurohman (2009) mengenai
pengaruh guru terhadap perhatian siswa pada pelajaran sebagai berikut:
Ternyata, banyaknya siswa yang dianggap lambat dan gagal
menerima materi dari guru disebabkan oleh ketidaksesuaian gaya mengajar guru
dengan gaya belajar siswa. Sebaliknya, jika gaya mengajar guru sesuai dengan
gaya belajar siswa, semua pelajaran akan terasa sangat mudah dan menyenangkan.
Guru akan merasa senang karena menganggap semua siswanya cerdas dan berpotensi
untuk sukses pada jenis kecerdasan yang dimilikinya.
Dalam pembelajaran bahasa Inggris di SD, tidak ada atau sedikit
sekali kesempatan bagi siswa untuk menerapkan apa yang mereka pelajari dalam
situasi yang komunikatif di luar sekolah. Menurut Tarigan & Tarigan (1990:
23), ada tiga ciri khas keterampilan yang berlaku juga dalam keterampilan
berbahasa, yakni keterampilan berbahasa bersifat mekanistis, pengalaman, dan
jenis pertanyaan aplikasi sangat cocok dalam mengembangkan keterampilan
berbahasa. Dan menurut Asyroful (2008: 8) “berbicara bahasa Inggris itu tidak
mudah butuh belajar untuk menggunakan bahasa tersebut salah satunya adalah
latihan-latihan berbicara menggunakan bahasa Inggris”. Berdasarkan hasil penelitian Rubin dan Thomson
(1983), Rubin (1975), dan Stern (1975) mengenai ciri-ciri atau sifat-sifat
pembelajar bahasa yang baik, salah satu poin menyebutkan bahwa pembelajar
bahasa yang baik adalah pembelajar yang mau berlatih. (Furqanul dan chaedar,
1996: 41). Latihan dalam keterampilan berbicara salah satunya dapat dilakukan
dengan melatih dialog atau percakapan. Sebab menurut Tarigan dan Tarigan (1990:
107), “Percakapan merupakan dasar keterampilan berbicara baik bagi anak-anak
maupun orang dewasa”. Namun siswa harus menghayati percakapan atau dialog
tersebut. Karena siswa yang saat berlatih dialog benar-benar menghayati,
suasana hatinya terbawa seolah-olah dia benar-benar menyatu dengan tokoh yang
diperankannya itu akan lebih cepat menguasai. Menurut Tarigan dan Tarigan
(1990: 107), “Percakapan biasanya dalam suasana akrab, peserta merasa dekat
satu sama lain, ada spontanitas”. Pada akhirnya siswa dapat berimprovisasi dan
memodifikasi dialog tersebut disesuaikan dengan situasi sehingga dapat
digunakan untuk berkomunikasi yang sesungguhnya.
Pada umumnya kelas bahasa Inggris di Indonesia lebih
banyak menekankan pada “learning about
English” bukan “learning how to use
English”, Gebhard (1996) menyatakan bahwa kebanyakan pelajaran bahasa Inggris
diarahkan agar siswa dapat menganalisis dan memahami bahasa Inggris sehingga
mereka dapat lulus ujian. Sebagai
guru bahasa Inggris di SD seringkali
dihadapkan pada dua pilihan, mengajar bahasa Inggris untuk mengejar nilai ujian atau melatih kemampuan siswa
menggunakan bahasa itu sebagai bahasa komunikasi. Tampaknya pilihan pertama
banyak dipilih karena selama ini tolok ukur keberhasilan pembelajaran bahasa
Inggris diidentikkan dengan perolehan nilai ujian. Yang terjadi selanjutnya, pembelajaran di kelas monoton dari
hari ke hari. Waktu belajar siswa banyak dihabiskan untuk mengerjakan soal-soal
latihan. Untuk keterampilan
berbicara siswa, tidak ada
keraguan sama sekali bahwa mereka enggan berbicara dalam bahasa Inggris. Mereka
tampak merasa malu dan takut salah. Siswandi (2006: 11) mengungkapkan
bahwa:
Penyebab kurangnya keaktifan dan keterampilan
berkomunikasi akibat tidak adanya keberanian siswa untuk berbicara. Hal ini
disebabkan adanya perasaan takut jika pendapat yang diungkapkannya salah atau
pendapatnya benar tetapi diungkapkan dengan cara yang salah.
Mereka memang tahu banyak tentang bahasa Inggris tapi
sayangnya tidak tahu harus berbuat apa terhadap bahasa Inggris. Siswa tidak berani untuk berbicara bahasa
Inggris. Jika tidak ada keberanian untuk mengungkapkan apa yang harus
dibicarakan maka keterampilan dalam menggunakan bahasa Inggris tidak akan
tercapai dengan baik, keberanian pada dasarnya perlu dilatih siswa tidak akan
tumbuh keberaniannya kalau tidak ada metode yang mampu merangsang keberanian
siswa karena keberanian tidak tumbuh begitu saja tanpa ada pelatihan secara
bertahap.
Tag :
Skripsi Bahasa Inggris
0 Komentar untuk "Contoh Pembelajaran bahasa Inggris di SD dalam Skripsi"