BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di
antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka
tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah
kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka
ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada
mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan
manusia adalah orang-orang yang fasik. (Al-Maidah; 49)
Dalam hadits juga Rasulullah saw. Bersabda:
“hakim-hakim itu ada tiga golongan, satu
golongan akan masuk syurga, dan dua golongan akan masuk neraka: (1) hakim yang
masuk syurga ialah hakim yang mengetahui hak (hukum yangsebenarnya menurut
hukum allah), dan ia menghukum dengan yang hak itu. (2) hakim yang mengetahui hak, tetapi ia menghukum dengan yang
bukan hak. Hakim itu akan masuk neraka. (3) hakim yang menghukum, sedangkan ia
tidak mengetahui hukum allah dalam perkara itu. Hakim ini juga akan masuk
neraka.” (riwayat abu dawud dan lainya).
Oleh
karena itu jabatan hakim adalah jabatan yang penuh tanggungjawab yang sangat
besar.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang di maksud dengan Aqdiyah?
2.
Bagaimana Adab seorang Hakim dalam
menyelesaikan sebuah permasalahan?
3.
Mengapa seorang Hakim harus adil dalam sebuah permasalahan?
C.
Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui maksud dari pengertian Aqdiyah.
2. Untuk mengetahui bagaimana adab/budi pekerti seorang Hakim.
3.
Untuk bisa memahami dan mengetahui seorang
hakim yang adil.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Aqdiyah
Aqdiyah adalah memisahkan
atau mendamaikan dua pihak yangberselisih dengan hukum Allah SWT. Firman Allah SWT:
Artinya: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa
yang diturunkan Allah,........”(Al-Maidah: 49)
Dalam hadits juga Rasulullah saw. Bersabda:
“hakim-hakim itu ada tiga golongan, satu golongan akan masuk syurga, dan
dua golongan akan masuk neraka: (1) hakim yang masuk syurga ialah hakim yang
mengetahui hak (hukum yangsebenarnya menurut hukum allah), dan ia menghukum
dengan yang hak itu. (2) hakim yang mengetahui hak, tetapi ia menghukum dengan yang
bukan hak. Hakim itu akan masuk neraka. (3) hakim yang menghukum, sedangkan ia
tidak mengetahui hukum allah dalam perkara itu. Hakim ini juga akan masuk
neraka.” (riwayat abu dawud dan lainya).
Oleh
karena itu jabatan hakim adalah jabatan yang penuh tanggungjawab yang sangat
besar. Sabda Rasulullah SAW: Dari Abu Hurairah r.a dari Nabi SAW bersabda
beliau: “Barang siapa yang dijadikan hakim di antara manusia maka Sungguh ia
telah disembelih dengan tidak memakai pisau”. Oleh sebab itu banyak ulama-ulama
yang sadar, tidak mau diangkat menjadi hakim jika sekiranya masih ada orang
lain yang patut. Misalnya Ibnu Umar takut menjadi hakim ketika diminta oleh
Utsman bin Affan, imam Abu Hanifah tidak mau menjadi hakim ketika diminta oleh
khalifah Al Mansyur, hingga ia dipenjarakan oleh khalifah Al-Makmun. Namun
kiranya perlu ditugaskan bahwa menerima jabatan hakim itu fardhu kifayah
hukumnya diantara orang-orang yang patut menjadi hakim.
B.
Syarat- syarat menjadi Hakim
Orang yang
berhak menjabat sebagai hakim hanya orang yang memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
1.
Islam. Berate yangmenjadi hakim itu hendaknya orang islam.
2.
Baligh (sedikitnya sudah berumur 15tahun).
3.
Berakal (bukan orang bodoh).
4.
Merdeka (bukan hamba sahaya).
5.
Adil.
6.
Laki-laki. Perempuan dilarang menjadi hakim sebagaimana sabda
Rasulullah: Dari Abi Bakrah ra ia bertutur: Sesngguhnya pada waktu berkobar
yang Jamal aku mendapatkan manfaat dengan kalimat (wasiat dari Nabi saw), yaitu
tatkala Nabi saw mendengar informasi bahwa rakyat Persia mengangkat puteri
Kisra sebagai ratu, maka Beliau bersabda, “Sekali-kali tidak akan beruntung
suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada (pemimpin) perempuan.” (Shahih:
Shahihul Jami’us Shaghir no: 5225)
7.
Mengerti ayat Al-Qur’an dan hadis, sedikitnya yang bersangkutan
dengan hukum-hukum.
8.
Mengetahui ijma’ ulama dan perselisihan faham mereka.
9.
Mengetahui bahasa arab sekedear dapatmemahami ayat dan hadis.
10.
Pandai menjalankan qiyas.
11.
Pendengaran dan penglihatannya cukup.
12.
Sadar (bukan orang lalai).
C.
Adab Hakim
Kedudukan/pangkat
hakim adalah suatu kedudukan yang mulia dan tinggi. Oleh karena itu hakim
hendaknya mempunyai budi pekerti yang sebaik-baiknya. Diantaranya budi pekerti
yang baik itu ialah:
1.
Hendaklah ia berkantor di tengah-tengah negeri, di tempat yang
diketahui oleh segenap lapisan rakyat di wilayahnya.
2.
Hendaklah ia menyamakan antara orang-orang yang berperkara dan
tidak baik tempatnya, cara berbicara terhadap mereka, maupun perkataan (manis
dan tidaknya). Pendek kata, hendaknya disamakan dalam segala cara penghormatan.
Mengenai persamaan ini sebagian ulama mengatakan wajib.
3.
Hendaklah ia jangan memutuskan suatu hukum selama dia dalam keadaan
seperti tersebut dibawah ini:
a.
Sewaktu sedang marah.
b.
Sedang sangat lapar atau haus.
c.
Sewaktu sangat susah atau gembira.
d.
Sewaktu sakit.
4.
Dia tidak boleh menerima pemberian dari rakyatnya kecuali orang
yang memang biasa memberikan hadiah kepadanya sebelum dia menjadi hakim, dan
diwaktu itu tidak dalam perkara. Menurut pengarang
Subulussalam, hasil atau keuntungan yang diperoleh hakim ada empat macam,
antara lain :
a. Uang
suap yaitu agar hakim memutuskan hukum dengan jalan yang tidak hak. Hukunya
haram bagi kedua pijak, baik yang menerima atau yang memberikannya. Namun untuk
menghukum dengan jalan yang tidak hak maka hukumnya bagi hakim namun tidak
haram atas orang yang memberi.
b. Hadiah,
apabila diberikan oleh orang yang sebelum ia menjadi hakim maka tidak haram
hukumnya, namun apabila diberikan setelah ia menjadi hakim maka haram hukunya.
c. Upah.
Bila hakim menerima upah dari baitul mal atau dari pemerintah maka hukumnya
haram. Jika tidak ada gaji, boleh baginya mengambil upah sesuai dengan pekerjaanya.
d. Rezeki,
pensiunan dari jabatannya hakim yang diangkat untuk suatu daerah dalam Negara
Islam, dapat pensiunan (berhenti) dari jabatannya karena :
Telah sampai kepadanya kabar tentang pemberhentiannya walaupun orang yang dapat di percaya begitu juga wakilnya.
Dia sendiri yang ingin meninggalkan jabatan itu.
Rusak pikiran, gila, mabuk, pitam dan sebagainya.
Fisik (kafir), yang tidak diketahui sejak ia diangkat atau datangnya sesudah diangkat.
Telah sampai kepadanya kabar tentang pemberhentiannya walaupun orang yang dapat di percaya begitu juga wakilnya.
Dia sendiri yang ingin meninggalkan jabatan itu.
Rusak pikiran, gila, mabuk, pitam dan sebagainya.
Fisik (kafir), yang tidak diketahui sejak ia diangkat atau datangnya sesudah diangkat.
5.
Apabila telah duduk dua orang yang berperkara, hakim berhak
menyuruh yang mendakwa untuk menerangkan dakwaannya. Sesudah itu hendaknya
hakim menyuruh pula yang terdakwa untuk membela dirinya. Tidak boleh bertanya
kepada terdakwa sebelum selesai pendakwaan yang mendakwa, juga tidak boleh bagi
hakim menyumpah yang terdakwa selain sesudah diminta oleh yang mendakwa apabila
ia tidak dapat mengajukan saksi.
6.
Hakim tidak boleh menunjukan cara mendakwa dan membela kepada
keduanya.
7.
Surat-surat hakim kepada hakim yang lain di luar wilayahnya,
apabila surat itu berisi hukum, hendaklah dipersaksikan kepada dua orang saksi
sehingga keduanya mengetahui isi surat itu.
D.
Saksi
Orang yang mendakwa hendaknya mengajukan saksi . maka jika yangmendakwa
mempunyai saksi yang cukup, dakwaannya hendaklah diterima oleh hakim; berate ia
menang dalam dakwaannya. Tetapi jika ia tidak dapat mengemukakan saksi, hakim hendaklah
memberikan hak bersumpah bagi terdakwa; dan jika ia sangguh bersumpah, ia
mendapat kemenangan. Tetapi jika yang terdakwa tidaktidan sanggup bersumpah,
yang mendakwa berhak bersumpah; apabila ia bersumpah, ia dianggap menang.
Sumpah yang mendakwa ini dalam istilah ahli fiqh dinamakan “sumpah mardud”
(sumpah yang dikembalikan).
Sabda Rasulullah
saw.
“jika manusia diberi dengan semata-mata dakwa mereka, sudah tentu manusia
mendakwa jiwa beberapa laki-laki dan harta mereka, tetapi kewajiban yang
mendakwa adalah mengemukakan saksi, dan kewajiban terdakwa adalah bersumpah.” (H.R. bukhori
dan muslim)
E.
Syarat-syarat Saksi
Orang yang menjadi saksi tidak diterima selain yang cukup memenuhi
syarat-syarat di bawah ini:
1.
Islam. Orang yang tidak memeluk agama islam tidak diterima menjadi
saksi untuk orang islam.
2.
Baligh. Minimal berumur 15 tahun. Anak-anak yang belum baligh tidak
diterima menjadi saksi.
3.
Berakal, sebab orang yang tidak berakal sudah tentu tidak dapat
dipercaya.
4.
Merdeka. Hamba sahaya tidak diterima menjadi saksi karena saksi
diserahi kekuasaan, sedangkan hamba tidak dapat diserahi kekuasaan.
5.
Adil. Orang yang adil ialah yang memiliki sifat-sifat sebagai
berikut:
a.
Menjauhi segala dosa-dosa besar, tidak terus menerus mengerjakan
dosa kecil.
b.
Baik hati.
c.
Dapat dipercayai sewaktu marah, tidak akan melanggar kesopanan.
d.
Menjaga kehormatannya sebagaimana kehormatan orang yang setingkat
dengan dia.
6.
Bukan musuh terdakwa, dan bukan anak atau bapaknya.
F.
Hikmah Diadakannya Aqdiyah
Menjadi penengah ditengah-tengah masyarakat memiliki fadilah (keutamaan)
yang sangat besar sekali, bagi dia yang merasa sanggup atasnya dan merasa aman
terhadap dirinya dengan tidak melakukan kedzoliman serta kejahatan, ini termasuk
taqarub terbaik; karena padanya terkandung ishlah diantara umat manusia, menenangkan orang terdzolimi,
mengembalikan kedzoliman, memerintahkan kebaikan, mencegah kemungkaran,
melaksanakan hukum had, menunaikan berbagai macam hak kepada pemiliknya. Ini
merupakan pekerjaan para Nabi, oleh karena itu, karena besarnya permasalahan
ini, Allah sampai memberikan ganjaran bagi dia yang salah dalam menghukumi dan
meniadakan hukum kesalahan dari Qadhi, ketika dia menghukumi dengan ijtihadnya,
sedangkan jika benar, dia akan mendapatkan dua ganjaran: ganjaran ijtihad serta
ganjaran kebenarannya, sedangkan jika salah dalam berijtihad dia akan
mendapatkan satu ganjaran yang mana itu adalah ganjaran ijtihadnya dan dia
tidak berdosa karenanya. Sebagaimana hadis di bawah ini.
Dari
Amr bin Ash' bahwasanya dia mendengar Rasulullah bersabda:
"Apabila
seorang hakim menghukumi dengan ijtihadnya kemudian benar, maka baginya dua ganjaran,
dan jika dia menghukumi dengan ijtihadnya kemudian salah, maka baginya satu
ganjaran " (Muttafaq Alaihi)
G.
Sifat Hukuman
1.
Apabila datang kepada seorang Qadhi dua orang yang berselisih, maka
dia akan bertanya: siapakah diantara kalian yang menjadi penuduh? Setelah itu
dia diam sampai salah satu diantara keduanya berbicara, barang siapa yang lebih
dahulu menuduh, maka dialah yang akan didahulukan, dan jika musuhnya mengakui,
maka dia hukumi atasnya.
2.
Apabila orang kedua mengingkari, maka Qadhi
bertanya kepada penuduh: jika anda memiliki saksi, hadirkanlah dia, apabila dia
menghadirkannya, maka Qadhi mendengarkan lalu menghukumi, Qadhi tidak boleh
menghukumi dengan pengetahuannya kecuali pada keadaan-keadaan tertentu,
sebagaimana yang telah lalu.
3.
Apabila penuduh menyatakan kalau dia tidak
memiliki saksi, Qadhi mengajarkannya untuk bersumpah atas musuhnya, apabila
penuduh meminta agar orang yang dituduhnya untuk bersumpah, maka Qadhi
memerintahkannya bersumpah, kemudian membiarkannya pergi.
4.
Apabila orang kedua tersebut menolak untuk
bersumpah, bahkan tidak mau bersumpah, maka Qadhi menghukumi atasnya dengan
penolakan, yaitu diam; karena itu merupakan bukti kuat akan kebenaran penuduh. Qadhi
berkesampatan untuk mengembalikan sumpah kepada penuduh ketika orang yang di
tuduh menolaknya, terutama pada saat merasa akan kekuatan penuduh, apabila
penuduh berani bersumpah, maka dia langsung menjatuhkan hukuman.
5.
Apabila orang yang dituduh bersumpah dan dia
dibebaskan oleh Qadhi, namun kemudian penuduh mendatangkan saksi, maka Qadhi
wajib menjatuhkan hukuman pada orang yang dituduh, karena sumpah yang dia
lontarkan hanya bisa menghilangkan pertikaian, dan tidak bisa menghilangkan
kebenaran. Hukum yang telah dijatuhkan seorang Qadhi tidak bisa dibatalkan,
kecuali pada saat menyelisihi Al-Qur'an dan Sunnah atau menyelisihi ijma' yang
sudah jelas.
H.
Dakwa (Tuduhan) dan Bayyinah (Bukti)
1.
Dakwa: Seseorang menyandarkan terhadap dirinya keberhakan dia akan
sesuatu yang berada pada tangan orang lain.
2.
Mudda'i: Dia adalah penuntut hak, apabila diam dia akan
ditinggalkan.
3.
Mudda'a alaihi: Dia yang dituntut akan haknya, apabila diam dia
tidak akan dibiarkan.
4.
Rukun dakwa ada tiga : mudda'i, mudda'a alaihi dan mudda'a fihi
atau mudda'a bihi.
5.
Bayyinah: Segala sesuatu yang menunjukkan kebenaran dari saksi,
sumpah, qorinah dan lain sebagainya.
6.
Syarat sahnya dakwa : Dakwa (pengakuan) tidak akan sah, kecuali
jika dia jelas dan terperinci; karena hukum akan bergantung padanya, dan orang
yang dituduh harus jelas dan diketahui, penuduh berterus terang dalam
menuntutnya, serta yang dituduh itu harus sudah jatuh tempo jika dia itu berupa
hutang.
7.
Keadaan bayyinah (bukti). Terkadang bayyinah itu merupakan dua
orang saksi, terkadang satu laki-laki dan dua perempuan, terkadang empat orang
saksi, terkadang tiga orang saksi dan terkadang juga satu orang saksi dengan
sumpah dari penuduh, sebagaimana yang insya Allah akan dijelaskan nanti.
8.
Disyaratkan dalam persaksian haruslah seorang yang adil dalam
bersaksi, dan Qadhi berpegang padanya dalam menentukan hukuman, apabila
diketahui akan bertentangannya dengan apa yang dia saksikan, maka ketika itu
tidak boleh untuk berhukum padanya, barang siapa yang tidak diketahui
keadilannya, maka dia harus ditanyakan tentangnya, apabila tertuduh menolak
para saksi, maka dia dibebani untuk mendatangkan saksi dan diberi waktu selama
tiga hari, apabila dia tidak mendatangkan saksi, maka dia akan dijatuhkan hukum
padanya.
Dalam
permasalahan tuduhan, manusia terbagi tiga:
1.
Pertama adalah mereka yang dikenal pada
tengah-tengah masyarakat sebagai orang yang beragama, bertakwa dan bahwasanya
dia bukanlah seorang yang pantas untuk dituduh, yang seperti ini tidak
dipenjara dan tidak pula dicambuk, bahkan di hukum orang yang menuduhnya.
2.
Orang yang dituduh tidak diketahui keadaannya,
dia tidak dikenal sebagai orang baik dan tidak pula sebagai seorang pelaku
kejahatan, yang seperti ini dipenjara sampai diketahui keadaannya; demi untuk
menjaga kebenaran.
3.
Orang yang dituduh dikenal sebagai pelaku
kejelekan serta kejahatan, yang seperti ini pantas untuk dituduh, dan
hukumannya lebih berat dari kelompok kedua, yang mana dia akan diuji dengan
pukulan serta penjara sampai mengaku; demi untuk menjaga hak umat manusia.
Apabila Qadhi mengetahui akan keadilan saksi, maka dia akan berpegang
padanya dalam menghukumi, tanpa membutuhkan rekomendasi dari yang lain, dan
jika dia diketahui bukan orang yang adil, maka Qadhi tidak akan berpegang
padanya dalam menghukumi, sedangkan jika saksi orang yang tidak diketahui
keadaannya, maka orang
yang menuduh diminta untuk memberikan rekomendasi atasnya dengan
menghadirkan dua orang saksi yang adil.
Hukum seorang
Qadhi tidak bisa menghalalkan hal yang haram dan tidak pula mengharamkan yang
halal. Apabila saksi jujur dan benar, maka penuduh berhak untuk mengambil apa
yang menjadi haknya, sedangkan jika saksi berdusta, seperti dengan bersaksi
palsu, maka Qadhi akan menghukumi atasnya dan penuduh tidak berhak untuk
mengambil apa yang dia tuduhkan.
Dari Ummu Salamah: bahwasanya Rasulullah
bersabda:"Sesungguhnya kalian berselisih terhadapku, bisa jadi
sebagian dari kalian lebih pandai dalam mengemukakan hujjahnya dari sebagian
yang lain, barang siapa yang aku hukumi padanya dengan mengambil hak saudaranya
karena perkataannya, maka sesungguhnya dia telah aku berikan potongan dari api
neraka kepadanya, maka hendaklah dia tidak mengambilnya." (Muttafaq Alaihi)
Diperbolehkan untuk menjatuhkan hukuman terhadap dia yang tidak hadir, pada
saat terbukti oleh saksi akan adanya hak pada dirinya, yang mana hak tersebut
berhubungan dengan manusia, bukan hak Allah. Yang dianggap tidak hadir adalah dia
yang berada jauh, sejauh batas qoshor atau lebih dan dia berhalangan untuk
hadir, sedangkan jika dia hadir maka dia berhak untuk mengemukakan alasannya.
Penuduh dan
orang yang dituduh, apabila keduanya memperebutkan suatu benda tidak terlepas
dari enam keadaan:
1.
Apabila benda tersebut berada pada tangan
salah seorang dari mereka, maka dia akan menjadi miliknya ketika disertai oleh
sumpah dan penentangnya tidak bisa mendatangkan bukti, sedangkan jika keduanya
mendatangkan bukti, maka barang tersebut menjadi milik dia yang memegangnya,
dibarengi oleh sumpahnya.
2.
Apabila benda tersebut berada pada tangan
keduanya dan setiap dari mereka tidak memiliki bukti, maka keduanya bersumpah
dan barang tersebut dibagi menjadi dua.
3.
Apabila benda tersebut berada pada tangan
orang lain dan keduanya tidak memiliki bukti, maka mereka diundi atasnya,
barang siapa yang keluar namanya, maka dia harus bersumpah lalu mengambilnya.
4.
Apabila benda tersebut tidak berada pada
tangan siapapun, dan keduanyapun tidak memiliki bukti, maka mereka bersumpah lalu
membagi dua barang tersebut.
5.
Setiap dari mereka memiliki bukti dan barang
tersebut tidak berada pada mereka, maka dia dibagi dua dengan rata.
6.
Keduanya memperebutkan hewan tunggangan atau
mobil dan salah satu dari mereka sedang menaikinya sedangkan yang lain memegang
tali kendalinya, maka dia untuk yang pertama dengan sumpahnya, selama tidak ada
bukti padanya.
BAB III
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Aqdiyah adalah memisahkan atau mendamaikan dua pihak yangberselisih dengan
hukum Allah SWT. jabatan hakim adalah jabatan yang penuh tanggungjawab yang sangat besar.
Sabda Rasulullah SAW: Dari Abu Hurairah r.a dari Nabi SAW bersabda beliau:
“Barang siapa yang dijadikan hakim di antara manusia maka Sungguh ia telah
disembelih dengan tidak memakai pisau”. Syarat- syarat menjadi Hakim Orang yang berhak menjabat sebagai hakim hanya
orang yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: Islam,
Baligh, Berakal, Merdeka, Adil, Laki-laki, dan lain sebagainya.
Adapun adab bagi seorang hakim ialah harus berani
memutuskan keputusannya dengan baik dan harus bisa memilih mana yang hak dan
mana yang bathil. Oleh karena itu hakim hendaknya mempunyai budi pekerti yang
sebaik-baiknya
Tag :
MAKALAH AGAMA
0 Komentar untuk "Makalah Fiqih Sosial Tentang Aqdiyah"