Untuk mempelajari proses pembelajaran sains (IPA) di sekolah,
selain memakai teori psikologi yang berakar pada kontruktivisme individu
(personal constructivism) dan perspektif sosiologi yang bertumpu pada
konstruktivisme sosial (social constructivism), para peneliti dan ahli
pendidikan saat ini mencoba untuk menggunakan kajian teori anthropogi
(anthropological perpective). Yang terakhir ini mencoba melihat proses
pembelajaran sains/IPA di sekolah pada setting budaya masyarakat sekitar (Maddock,
1981; Cobern dan Aikenhead, 1998). Menurut perspektif anthropologi, pengajaran
sains dianggap sebagai transmisi budaya (cultural transmission) dan pembelajaran sains sebagai penguasaan budaya
(cultural acquisition). Sehingga
proses KBM (kegiatan belajar mengajar) di kelas dapat diibaratkan sebagai
proses pemindahan dan perolehan budaya dari guru dan oleh murid. Untuk
pembatasan, kata budaya (culture) yang dimaksud di sini adalah suatu sistem
atau tatanan tentang simbol dan arti yang berlaku pada interaksi sosial suatu
masyarakat (Gertz, 1973). Berdasar batasan ini, maka sains dapat dianggap
sebagai subbudaya kebudayaan barat, dan sains dari barat (Western science)
merupakan subbudaya dari sains. Oleh karena itu, tradisional sains (ethnoscience) dari suatu komunitas di
negeri non Barat adalah subbudaya dari kebudayaan, komunitas tersebut.
Setelah
Maddock (1981) membeberkan teori anthropologi untuk pendidikan sains, banyak
riset-tiset lanjutan yang dilakukan dengan fokus penyelidikan pada pengaruh
aspek budaya terhadap proses pembelajaran IPA di sekolah. Penelitian penelitian
yang dilakukan tersebut berujung pada penegasan bahwa latar belakang budaya
yang dimiliki siswa (student's prior
belief and knowledge) dan
`dibawa' ke dalam kelas selama proses KBM berlangsung memainkan peran yang
sangat penting pada proses penguasaan mated pelajaran (Aikenhead dan Jegede,
1999; Baker dan Taylor, 1995; Cobern, 1996; Cobern dan Aikenhead, 1998; Eyford,
1993; Maddock, 1983; Okebukola, 1986; Shumba, 1999; Waldrip dan Taylor, 1999).
Secara
khusus Okebukola (1986) menyatakan bahwa latar belakang budaya siswa mempunyai
efek yang lebih besar di dalam proses pendidikan daripada efek yang
disumbangkan oleh pemberian materi pelajaran. Dengan kata lain, efek dari
proses KBM yang dilakukan di kelas oleh guru dan siswa `kalah' oleh efek budaya
masyarakat yang telah diserap oleh siswa dan dibawa ke dalam proses KBM di
kelas. Lebih lanjut Eyford (1993) juga menegaskan bahwa latar belakang budaya
siswa mempunyai pengaruh yang kuat pada cara seseorang (siswa) belajar. Ia
memberikan alasannya bahwa siswa telah menghabiskan waktunya, terutama enam
tahun pertama sebelum masuk ke sekolah dasar, di tengah-tengah lingkungan yang
secara total lebih dibentuk/ dipengaruhi oleh budaya masyarakatnya daripada
oleh teori-teori pendidikan formal. Kemudian dua tahun berikutnya, Ogunniyi,
Jegede, Ogawa, Yandila dan Oladede (1995) menyatakan bahwa latar belakang
budaya yang dibawa oleh guru dan siswa ke dalam kelas (terutama pada saat
pembelajaran IPA) sangat menentukan di dalam penciptaan atau pengkodisian
suasana belajar dan mengajar yang bermakna dan berkonteks. Pada tahun yang
sama, Baker dan Taylor (1995) menyampaikan hasil review
mereka
khusus tentang pengaruh kebudayaan pada proses pembelajaran sains di
kelas/sekolah. Dua kesimpulan penting dari review mereka adalah
sebagai berikut. Pertama, kegagalan negara-negara non-Barat dalam rangka
menasionalisasikan kurikulum IPA di sekolah-sekolah.
Kegagalan tersebut dikarenakan mereka hanya mengimpor kurikulum sains dari
negara-negara Barat tanpa mempertimbangkan latar belakang kebudayaan yang
tumbuh di negaranya. Secara rinci keduanya menengarai kegagalan proses
pembelajaran IPA di sekolah-sekolah negara non-Barat adalah karena
ketidaksesuaian (mismatch) antara budaya yang dimiliki siswa seperti bahasa,
kepercayaan, cara pandang terhadap alam sekitar, dengan `kebudayaan' sains dari
Barat yang terkandung di dalam setiap mata pelajaran IPA. Kedua, mereka
menyimpulkan bahwa latar belakang budaya setiap siswa mempengaruhi cara siswa
tersebut dalam mempelajari dan menguasai konsep-konsep IPA yang diajarkan di
sekolah. Secara khusus dinyatakan bahwa perasaan dan pemahaman siswa yang
berlandaskan kebudayaan di masyarakatnya ikut serta berperan dalam
menginterpretasikan dan menyerap pengetahuan yang baru (konsep-konsep IPA).
Tag :
ARTIKEL
0 Komentar untuk "Contoh Artikel Tentang Permasalahan Pembelajaran Di Sd Serta Solusinya Bagian III"