BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Filsafat pendidikan adalah ilmu yang mempelajari dan
berusaha mengadakan penyelesaian terhadap masalah-masalah pendidikan yang
bersifat filosofis. Secara filosofis, pendidikan adalah hasil dari peradaban
suatu bangsa yang terus menerus dikembangkan berdasarkan cita-cita dan tujuan
filsafat serta pandangan hidupnya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang melembaga
di dalam masyarakatnya.
Pendidikan
yang bersendikan atas nilai-nilai yang bersifat modernisasi dapat pula menjadikan pendidikan itu kehilangan arah. Berhubung
dengan itu pendidikan haruslah bersendikan atas nilai-nilai yang dapat
mendatangkan kestabilan. Agar dapat terpenuhi maksud tersebut nilai-nilai itu
perlu dipilih yang mempunyai tata yang jelas dan yang telah truji oleh waktu.
Nilai-nilai yang dapat memenuhi adalah berasal dari
kebudayaan dan filsafat yang korelatif selama 4 abad belakangan ini, dengan
perhitungan Zaman Renaissance, sebagai pangkal timbulnya
pandangan-pandangan esensialistis awal. Essensialisme percaya bahwa pendidikan
harus didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal
peradaban umat manusia.
Dengan pengembalian pola pendidikan pada pengambilan
nilai-nilai masa lalu, esensialisme percaya bahwa keefektifan pembelajaran akan
tercipta. Esensialisme sangat menekankan pada pendidikan dimasa lalu dan
cenderung tidak mendukung dengan pola pendidikan masa kini atau yang sering
disebut sebagai modernisasi pendidikan. Bagi esensialisme pola-pola pendidikan
masa lalu lebih memberikan banyak kemutakhiran pola berpikir yang ada dalam
diri siswa. Modernisasi dianggap sebagai zaman yang hanya menambahkan banyak
nilai-nilai baru yang kalah dengan nilai-nilai lama dalam hal menghasilkan
siswa yang berkompeten, sehingga nilai-nilai lamalah yang mempunyai peranan
penting jika dilihat dari kacamata esensialisme.
Oleh karena itu dalam makalah ini penulis akan memaparkan
mengenai aliran filsafat esensialisme.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa latar belakang munculnya aliran filsafat esensialisme
?
2.
Apa prinsip-prinsip filosofis aliran filsafat esensialisme
?
3.
Bagaimana implikasinya terhadap pendidikan ?
4.
Apa tanggapan kelompok mengenai aliran filsafat
esensialisme ?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui latar belakang munculnya aliran
filsafat esensialisme.
2.
Untuk mengetahui prinsip-prinsip aliran filsafat
esensialisme.
3.
Untuk mengetahui implikasinya terhadap
pendidikan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Latar
Belakang Filsafat Esensialisme
Secara etimologi, esensialisme berasal dari bahasa
Inggris yakni “Essential” yang
berarti inti atau pokok dari sesuatu dan “Isme”
berarti aliran, mazhab atau paham.
Esensialisme dikenal sebagai
gerakan pendidikan dan juga sebagai aliran filsafat pendidikan. Esensialisme
adalah pendidikan yang didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada
sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaissance (zaman kelahiran kembali)
dengan ciri-ciri utama yang berbeda dengan Progresivisme, perbedaannya yang
utama ialah dalam memberikan dasar berpijak pada pendidikan yang penuh dengan
fleksibilitas, dimana terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada
keterkaitan dengan doktrin tertentu. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus
berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejeasan dan tahan lama yang memberikan
kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas. Menurut
esensialisme, yang esensial (sesuatu yang bersifat inti atau hakikat
fundamental, atau unsur mutlak yang menentukan keberadaan sesuatu) harus
diwariskan kepada generasi muda agar dapar bertahan dari waktu ke waktu, karena
itu esensialisme tergolong Tradisionalisme.
Sekitar tahun 1930 timbul organisasi
yang bernama Essensialist Committee for
the Advancement of Education. Salah seorang tokohnya yang terkenal adalah
William C. Bagley (Imam Barnadib, 1984). Arthur K. Ellis, dkk. dalam bukunya “Introduction to The Foundation of Education”
yang terbit pada tahun 1981 mengemukakan bahwa Essensialisme berakar dari
aliran filsafat Idealisme dan Realisme. William C. Bagley (1876-1946) adalah
pemimpin gerakan Essensialisme dalam melawan gerakan Progresivisme dari John
Dewey dan W. H. Kilpatrick (Madjid Noor, dkk, 1987).
Idealisme dan Realisme adalah aliran-aliran filsafat yang membentuk
corak Esensialisme, sebagaimana yang dipaparkan
oleh Brameld “bahwa esensialisme ialah aliran yang lahir
dari perkawinan dua aliran dalam filsafat yakni idealism dan realism”. Sumbangan yang diberikan oleh
masing-masing ini bersifat eklektik, artinya dua aliran filsafat ini bertemu
sebagai pendukung Esensialisme, tetapi tidak lebur menjadi satu. Berarti, tidak
melepaskan sifat-sifat utama masing-masing.
B.
Prinsip-Prinsip
Filosofis
1.
Hakikat
Manusia
Pandangan ontologis esensialme
merupakan suatu konsepsi bahwa dunia atau realita ini dikuasai oleh tata
(order) tertentu yang mengatur dunia beserta isinya. Hal ini berarti bahwa
bagaimanapun bentuk, sifat, kehendak dan cita-cita, dan perbuatan manusia harus
disesuaikan dengan tata tersebut.
Idealisme
modern mempunyai pandangan bahwa realita adalah sama dengan substansi
gagasan-gagasan (ide-ide). Di balik dunia fenomenal ini ada jiwa yang tidak
terbatas yaitu Tuhan, yang merupakan pencipta adanya kosmos. Manusia sebagai
makhluk yang berpikir berada dalam lingkungan kekuasaan Tuhan. Dengan menguji
menyelidiki ide-ide serta gagasan-gagasannya, manusia akan dapat mencapai
kebenaran, yang sumbernya adalah Tuhan sendiri.
Realisme modern
yang menjadi salah satu eksponen esensialisme, titik berat tinjauannya adalah
mengenai alam dan dunia fisik, sedangkan idealisme modern sebagai
eksponen yang lain, pandangan-pandangannya bersifat spiritual.
Manusia memiliki intelegensi ia mampu berpikir, dan karenanya dapat
menyesuaikan diri terhadap dunia eksternalnya sehingga tetap bertahan diri
dalam perjuangannya menghadapi dunia eksternalnya.
2.
Hakikat
Realitas
Sifat yang
menonjol dari ontologi esensialisme adalah suatu konsepsi bahwa dunia ini
dikuasai oleh tata yang tiada cela, yang mengatur dunia beserta isinya dengan
tiada cela pula, ini berarti bagaimanapun bentuk, sifat, kehendak dan cita-cita
manusia haruslah disesuaikan dengan tata tersebut. Dibawah ini adalah uraian
mengenai penjabarannya menurut realisme dan idealisme.
a.
Realisme yang mendukung esensialisme
disebut realisme objektif karena mempunyai pandangan yang sistematis mengenai
alam serta tempat manusia didalamnya. Terutama sekali ada dua golongan ilmu
pengetahuan yang mempengaruhi realisme ini.
Dari fisika dan
ilmu-ilmu lain yang sejenis dapat dipelajari bahwa tiap aspek dari alam fisik
ini dapat dipahami berdasarkan adanya tata yang jelas khusus. Ini berarti bahwa
suatu kejadian yang sederhanapun dapat ditafsirkan menurut hukum alam, seperti
misalnya daya tarik bumi.
b. Idealisme objektif mempunyai pandangan kosmos yang lebih optimis dibandingkan
dengan realisme objektif. Yang dimaksud dengan ini adalah bahwa
pandangan-pandangannya bersifat menyeluruh yang boleh dikatakan meliputi segala
sesuatu. Dengan landasan pikiran bahwa totalitas dalam alam semesta ini pada
hakikatnya adalah jiwa atau spirit, idealisme menetapkan suatu pendirian bahwa
segala sesuatu yang ada ini nyata. Ajaran-ajaran Hegel memperjelas pandangan
tersebut diatas.
3.
Hakikat
Pengetahuan
a.
Epistemologi Idealisme
Pandangan mengenai pengetahuan
bersendikan pada pengertian bahwa manusia adalah makhluk yang adanya merupakan
refleksi dari Tuhan dan yang timbul dari hubungan antara makrokosmos dan
mikrokosmos. Karena itu, dalam diri manusia
tercermin suatu harmoni dari alam semesta, khususnya pikiran manusia (human mind). Manusia memperoleh
pengetahuan melalui berpikir, intuisi, atau introspeksi.
Kriteria
kebenaran idealism yaitu pikiran atau kesadaran adalah primodial. Sejak
kehidupan ada, sejak itu pula pikiran atau kesadaran ada. Kesadaran atau
pikiran manusia bertugas membangun suatu rancangan dunia dalam yang dianggap
paling mendekati realitas luar absolut. Untuk itu, maka logika atau penalaran
menjadi penting, sebab memang logika atau penalaran itu merupakan bagian yang
sangat esensial dari realitas. Karena itu, sesuatu pengetahuan dikatakan benar
bukan karena berguna untuk memecahkan masalah atau untuk kehidupan praktis,
sebagaimana dianut progresivist, tetapi suatu pengetahuan dikatakan benar
karena ia memang benar, jadi kebenaran bersifat intrinsic, bukan instrumental.
Jadi, kebenaran merupakan perwujudan dari realitas tertinggi. Sebab itu, uji
kebenaran pengetahuan dlakukan melalui uji koherensi atau konsistensi logis
ide-idenya (Madjid Noor,dkk, 1987).
b.
Epistemologi Realisme
Sumber pengetahuan
menurut Realisme adalah dunia luar subyek, pengetahuan diperoleh melalui
pengalaman dria, atau pengamatan. Kita mengetahui sesuatu jika kita mengamati
atau mengalami sesuatu melalui kontak lamgsung melalui pancaindera. Pengetahuan
sudah ada di dalam realitas, manusia tinggal menemukannya melalui pengamatan
atau pengalaman.
Kriteria
kebenaran menurut epistemologi realisme adalah suatu pengetahuan diakui benar
jika pengetahuan itu sesuai dengan realitas eksternal (yang objektif) dan
independen. Sebab itu, uji kebenaran pengetahuan dilakukan melalui uji
korespondensi pengetahuan dengan realitas.
4.
Hakikat
Nilai (Aksiologi)
a. Aksiologi
Idealisme
Para filsuf Idealisme sepakat bahwa nilai hakikatnya
diturunkan dari realitan absolut. Realitan absolut merupakan hal nyata yang
benar-benar ada yang bersifat mutlak. Karena itu nilai-nilai adalah abadi atau
tidak berubah. Dalam kehidupan sosial, kualitas spiritual seperti kesadaran
cinta bangsa dan patriotism merupakan nilai-nilai sosial yang perlu dijunjung
tinggi, dan Hegel menyimpulkan bahwa karena Negara adalah manifestasi Tuhan,
maka wajib bagi warga negara untuk setia dan menjunjung negara.
b. Aksiologi
Realisme
Para filsuf realisme percaya bahwa standar nilai
tingkah laku manusia diatur oleh hukum alam, dan pada taraf yang lebih rendah
diatur melalui konvensi atau kebiasaan, adat istiadat di dalam masyarakat (
Edward J. Power, 1982). Sejalan dengan konsep di atas, bahwa moral berasal dari
adat istiadat, kebiasaan, atau dari kebudayaan masyarakat.
C.
Implikasi
Pendidikan
1.
Definisi
Pendidikan
Bagi penganut Essensialisme
pendidikan merupakan upaya untuk memelihara kebudayaan. Mereka percaya bahwa
pendidikan harus didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak
awal peradaban umat manusia, sebab kebudayaan tersebut telah teruji dalam
segala zaman, kondisi dan sejarah.
Tugas pendidikan adalah mengijinkan
terbukanya realita berdasarkan susunan yang tidak terelakan (pasti) bersendikan
kesatuan spiritual. (William T. Harris, 1835-1909)
maksudnya sekolah adalah
lembaga yang memelihara nilai-nilai yang telah turun-menurun, dan menjadi
penuntun penyesuaian orang kepada masyarakat.
2.
Tujuan
Pendidikan
Pendidikan bertujuan untuk
mentransmisikan kebudayaan untuk menjamin solidaritas sosial dan kesejahteraan
umum (E.J. Power, 1982). Secara umum, essensialisme adalah model pendidikan
transmisi yang bertujuan untuk membiasakan siswa hidup dalam masyarakat masa
kini. Sekolah yang baik adalah sekolah yang berpusat pada masyarakat, “society centered school” , yaitu
sekolah yang mengutamakan kebutuhan dan minat masyarakat (Madjid Noor, dkk,
1987). Konsep dasar pendidikan esensialisme adalah
bagaimana menyusun dan menerapkan program-program esensialis di
sekolah-sekolah.
Tujuan utama dari program-program tersebut di
antaranya:
a.
Sekolah-sekolah esensialis melatih dan mendidik
subjek didik untuk berkomunikasi dengan logis.
b.
Sekolah-sekolah mengajarkan dan melatih anak-anak
secara aktif tentang nilai-nilai kedisiplinan, kerja keras dan rasa hormat
kepada pihak yang berwenang atau orang yang memiliki otoritas.
c.
Sekolah-sekolah memprogramkan pendidikan yang
bersifat praktis dan memberi anak-anak pengajaran yang mempersiapkannya untuk
hidup.
Contoh
sekolah yang mengutamakan kebutuhan dan minat masyarakat adalah SMK (Sekolah
Menengah Kejuruan) karena di Sekolah Menengah Kejuruan ini lebih mengutamakan
minat dari individu.
3.
Peranan
Guru
Bagi
kaum Esensialis, guru seharusnya berperan aktif dalam pembelajaran. Ia sebagai
penanggung jawab, pengatur ruangan, penyalur (transmiser) pengetahuan yang
baik, penentu materi, metode, evaluasi dan bertanggung jawab terhadap seluruh
wilayah pembelajaran.
Guru
juga berperan sebagai mediator atau “jembatan” antara dunia masyarakat atau
orang dewasa dengan dunia anak, dengan demikian inisiatif dalam pendidikan
ditekankan pada guru, bukan pada peserta didik (G. kneller, 1971). Untuk
menciptakan siswa yang mempunyai sikap dan perasaan solidaritas sosial dan ikut
berperan dalam mewujudkan kesejahteraan umum. Pewarisan nilai-nilai luhur agama
oleh sosok guru menjadi titik tekan tujuan pembelajaran esensialisme, dan
pembelajaran yang berisikan warisan budaya dan sejarah dan di ikuti oleh keterampilan,
sikap-sikap, dan nilai yang tepat merupakan unsusr-unsur esensial dari sebuah
kurikulum pendidikan esensialisme.
4.
Peranan
Siswa
Peranan
peserta didik adalah belajar, bukan untuk mengatur pelajaran. Belajar berarti
menerima dan mengenal dengan sungguh-sungguh nilai-nilai sosial oleh angkatan
baru yang timbul untuk ditambah dan dikurangi dan diteruskan kepada angkatan berikutnya
( Imam Barnadib, 1984). Esensialisme merupakan suatu filsafat yang
menghendaki pendidikan bersendikan nilai-nilai yang tinggi dan menduduki posisi
substansial dalam kebudayaan. Tugas pendidikan adalah sebagai perantara atau
pembawa nilai yang ada di luar ke dalam jiwa peserta didik. Oleh karena itu,
peserta didik perlu di latih agar memiliki kemampuan observasi yang tinggi
untuk menyerap ide-ide atau nilai-nilai yang berasal dari luar dirinya
(muhaimin, 2004;40-42). Menurut esensialisme, pendidikan adalah aktivitas
pentransmisian atau pewarisan budaya dan sejarah sebagi inti pengetahuan yang
telah terkumpul dan bertahan sepanjang waktu. Warisan budaya demikian perlu di
ketahui pelestarian kebudayaan (Education
as a Cultural Convervation). Esensialisme memberikan penekanan upaya
kependidikan dalam hal pengujian ulang materi-materi kurikulum, memberikan
pembedaan-pembedaan esensial dan non esensial dalam berbagai program sekolah
dan memberikan kembali pengukuhan autoritas pendidik dalam suatu kelas di
sekolah.
5.
Kurikulum
Kurikulum (isi pendidikan) direncanakan dan diorganisasi oleh orang dewasa
atau guru sebagai wakil masyarakat, society
centered. Kurikulum society-centered
menyatakan bahwa pesanan sosial maupun interaksi sosial
harus merupakan penentu utama dalam kurikulum. Hal ini sesuai dengan dasar filsafat
Idealisme dan Realisme yang menyatakan bahwa masyarakat dan alam (Realisme) atau
masyarakat dan yang absolut (Idealisme) mempunyai peranan menentukan bagaimana
seharusnya individu (peserta didik) hidup. Kurikulum terdiri atas berbagai mata pelajaran yang berisi ilmu pengetahuan, “agama”, dan seni, yang dipandang
esensial. Adapun sifat organisasi isi kurikulum adalah berpusat pada mata
pelajaran (subject matter centered).
6.
Metode
Dalam hal metode pendidikan, Esensialisme menyarankan
agar sekolah-sekolah mempertahankan metode-metode tradisional yang berhubungan
dengan disiplin mental, berupa metode ceramah yang memberikan perubahan perilaku kepada siswa
yang muncul dari pengalaman guru. Metode problem solving memang ada manfaatnya, tetapi bukan prosedur yang
dapat diterapkan dalam seluruh kegiatan belajar. Alasannya, bahwa kebanyakan pengetahuan
bersifat abstrak dan tidak dapat dipecahkan ke dalam masalah masalah diskrit
(yang berlainan). Selain itu, bahwa belajar pada dasarnya melibatkan kerja
keras, perlu menekankan disiplin (G. Kneller, 1971).
D.
Tanggapan
Kelompok
1.
Pendekatan
Scientific dalam Implementasi Kependidikan pada Kurikulum 2013
Bagi aliran filsafat esensialisme
guru menjadi pusat (teacher center)
dari semua situasi pembelajaran yang berlangsung, baik dalam hal pemberian
pengalaman belajar maupun kegiatan belajar mengajar dalam kelas. Guru adalah
panutan satu-satunya yang dinilai dapat mengarahkan siswa ke arah yang lebih
baik. Nilai guru dimasa lalu yaitu guru memiliki suatu kedisiplinan yang tinggi,
religius (lengket dengan agama), memiliki wibawa, bersikap jujur dan
bertanggung jawab, beretika, berjiwa besar dan memiliki etos kerja tinggi serta
mengayomi masyarakat, kemudian pada sistem pendidikannya masih lengket dengan
sistem budaya lokal.
Pada kurikulum 2013 pengajaran
yang ada telah diberi buku panduan oleh pemerintah, guru hanya mengikuti apa
yang telah tertera didalamnya, penyesuaian pengajaran juga diterapkan kembali,
karena dalam kurikulum di SD telah bersifat tematik integrative. Siswa juga
dituntut untuk lebih berperan aktif (student
center) dalam pembelajaran mengingat peran guru hanya sebagai fasilitator.
Berdasarkan hasil penelitian,
pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah mempunyai hasil yang
lebih efektif bila dibandingkan dengan penggunaan pembelajaran
dengan pendekatan tradisional. Penelitian tersebut menunjukkan
bahwa pada pembelajaran tradisional, retensi informasi
dari guru sebesar 10 persen setelah 15 menit
dan perolehan pemahaman kontekstual sebesar 25 persen. Pada
pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah, retensi informasi dari
guru sebesar lebih dari 90 persen
setelah dua hari dan perolehan pemahaman
kontekstual sebesar 50-70 persen.
Proses pembelajaran
dengan berbasis pendekatan ilmiah harus dipandu
dengan kaidah-kaidah pendekatan ilmiah. Pendekatan ini
bercirikan penonjolan dimensi pengamatan, penalaran, penemuan,
pengabsahan, dan penjelasan tentang suatu
kebenaran. Dengan demikian, proses pembelajaran
harus dilaksanakan dengan dipandu nilai-nilai,
prinsip-prinsip, atau kriteria ilmiah.
Berikut
ini tujuh (7) kriteria sebuah pendekatan pembelajaran dapat dikatakan sebagai
pembelajaran scientific, yaitu:
1.
Materi pembelajaran
berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau
penalaran tertentu, bukan sebatas kira-kira, khayalan, legenda, atau dongeng
semata.
2.
Penjelasan guru,
respon siswa, dan interaksi edukatif guru-siswa terbebas dari prasangka yang
serta-merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur
berpikir logis.
3.
Mendorong dan
menginspirasi siswa berpikir secara kritis, analistis, dan tepat dalam
mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan materi
pembelajaran.
4.
Mendorong dan
menginspirasi siswa mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan,
dan tautan satu sama lain dari materi pembelajaran.
5.
Mendorong dan
menginspirasi siswa mampu memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir
yang rasional dan objektif dalam merespon materi pembelajaran.
6.
Berbasis pada
konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggungjawabkan.
7.
Tujuan pembelajaran
dirumuskan secara sederhana dan jelas, namun menarik sistem penyajiannya.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Aliran filsafat
Esensialisme adalah suatu aliran filsafat yang menginginkan agar manusia
kembali kepada kebudayaan lama. Aliran Esensialisme ini memandang bahwa
pendidikan yang bertumpu pada dasar pandangan fleksibilitas dalam segala bentuk
dapat menjadi sumber timbulnya pandangan yang berubah-ubah, mudah goyah, kurang
terarah, tidak menentu dan kurang stabil. Tujuan pendidikan esensialisme adalah menyampaikan
warisan budaya dan sejarah melalui suatu inti pengetahuan yang telah terhimpun,
dasar bertahan sepanjang waktu untuk diketahui oleh semua orang. Pengetahuan
ini diikuti oleh keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang tepat untuk
membentuk unsur-unsur yang inti (esensiliasme), sebuah pendidikan sehingga
pendidikan, jadi Menurut esensialisme sekolah
berfungsi untuk warga negara supaya hidup sesuai dengan prinsip-prinsip dan
lembaga-lembaga sosial yang ada di dalam masyarakat.
B.
Saran
Saran penulis bagi pembaca
khususnya para pendidik atau guru, yaitu.
1. Hendaknya
tidak meninggalkan nilai-nilai budaya lama dalam hal kependidikan, setidaknya
dapat memadukan teknik pengajaran dengan metode lama, karena metode lama juga
memiliki nilai-nilai positif untuk diterapkan.
2. Selalu
menjadi figur teladan dan kreatif serta inovatif dalam menciptakan pengajaran-pengajaran
yang menarik bagi para siswanya.
3. Selalu
menyesuaikan teknik pengajaran dengan kurikulum yang telah
4. ditetapkan,
kurangi mengeluh dan terus mensiasati segala perubahan yang terjadi dalam dunia
kependidikan agar tetap bertahan dan berhasil menjadi seorang guru yang
profesional.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim.
(2011). Aliran Esensialisme dalam
Filsafat. [Online]. Tersedia di : http://kumpulanmakalahdanartikelpendidikan.blogspot.com/2011/01/aliran-esensialisme-dalam-filsafat.html.
Diakses 28 februari 2014.
Gusmayani,
Indri. (2012). Bedah Buku Pengantar
Filsafat Pendidikan. [Online]. Tersedia di : http://indri-gusmayani14.blogspot.com/2012/12/bedah-buku-pengantar-filsafat-pendidikan.html.
Diakses 28 Februari 2014.
Kimeunsoo. (2013). Filsafat Eksistensialisme Dan Esensialisme. [Online]. Tersedia di : http://kimeunsoo03.blogspot.com/2013/05/bab-ipendahuluana.html. Diakses 28 Februari 2014.
Syaripudin, Tatang & Kurniasih.
(2014). Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung
: Percikan Ilmu.
Yusni, N.
S. (2012). Aliran Pendidikan Filsafat
Esensialisme. [Online]. Tersedia di : http://novasuntiayusni.blogspot.com/2012/12/aliran-filsafat-pendidikan-esensialisme.html.
Diakses 18 April 2014.
Tag :
MAKALAH AGAMA
0 Komentar untuk "Contoh Makalah Agama Tentang Aliran Filsafat Esensialisme"