BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pendidikan sebagai upaya untuk membangun sumber daya
manusia memerlukan wawasan yang sangat luas, karena pendidikan menyangkut
seluruh aspek.
Kehidupan manusia, baik dalam pemikiran maupun
pengalamannya. Pengkajian filosofis terhadap pendidikan mutlak diperlukan,
karena kajian semacam ini akan melihat pendidikan dalam suatu realitas yang
komprehensif.
Filsafat pendidikan Pragmatisme merupakan salah satu
mazhab filsafat pendidikan yang menjadi kajian filosofis.
1.2 Rumusan
Masalah
Masalah-masalah yang akan dibahas dalam makalah ini
dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.
Pengertian filsafat pendidikan Pragmatisme
2.
Pandangan filsafat pendidikan Pragmatisme terhadap
realitas, pengetahuan, nilai dan pendidikan
3.
Implikasi filsafat pendidikan Pragmatisme terhadap
pelaksanaan pendidikan
1.3 Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini diantaranya :
1.
Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Filsafat
Pendidikan
2.
Untuk mengkaji lebih dalam mengenai Mazhab Filsafat
Pendidikan Pragmatisme.
1.4 Metode
Penulisan
Metode yang digunakan dalam pembuatan makalah ini
adalah metode literatur, atau disebut juga dengan metode study pustaka yang menggunakan buku
sebagai sarana dalam suatu pembuatan makalah yang dapat menjadi suatu langkah
dalam memperlancar pembuatan makalah ini.
BAB II
FILSAFAT
PENDIDIKAN PRAGMATISME
Pragmatisme dipandang sebagai filsafat Amerika asli.
Namun sebenarnya berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang berpendapat
bahwa manusia dapat mengetahui apa yang manusia alami. Pendiri filsafat
pragmatisme di Amerika adalah Charles Sandre Peirce (1839-1914), William James
(1842-1910), dan John Dewey (1859-1952). Ketiga filasof tersebut berbeda, baik
dalam metodologi maupun dalam kesimpulannya. Pragmatisme Peirce dilandasi oleh
fisika dan matemtika, filsafat Dewey dilandasi oleh sains-sains sosial dan
biologi, sedangkan pragmatisme James adalah personal, psikilogis, dan bahkan
mungkin religius.
Istilah pragmatisme berasal dari perkataan “pragma”
artinya praktik atau aku berbuat. Maksudnya bahwa makna segala
sesuatu tergantung dari hubungannya dengan apa yang dapat dilakukan.
Istilah lainnya yang dapat diberikan pada filsafat
pragmatisme adalah intrumentalisme dan eksperimentalisme. Disebut instrumentalisme,
karena menganggap bahwa dalam hidup ini tidak dikenal tujuan akhir, melainkan
hanya tujuan antara dan sementara yang merupakan alat untuk mencapai tujuan
berikutnya, termasuk dalam pendidikan tidak mengenal tujuan akhir. Kalau suatu
kegiatan telah mencapai tujuan, maka tujuan tersebut dapat dijadikan alat untuk
mencapai tujuan berikutnya. Dikatakan eksperimentalisme, karena filsafat ini
menggunakan metode eksperimen dan berdasarkan atas pengalaman dalam menentukan
kebenararnya.
1.
Realitas
Realitas merupakan interaksi antara manusia dengan lingkungannya. Manusia dan
lingkungannya berdampingan, dan memiliki tanggung jawab yang sama terhadap
realitas. Dunia akan bermakna sejauh manusia mempelajari makna yang terkandung
di dalamnya. Perubahan merupakan esensi realitas, dan manusia harus siap
mengubah cara-cara yang akan dikerjakannya. Manusia pada hakikatnya plastis dan
dapat berubah.
Teori pragmatisme tentang perubahan yang
terus-menerus, didasari pandangan Heracleitos (540-480 SM), seorang filosof
Yunani, dengan teori yang disebut “panta
rei", artinya mengalir secara terus-menerus. Heracleitos
berpendapat bahwa tidak ada sungai yang dialiri oleh air yang sama. Bagi
pragmatisme tidak dikenal istilah metafisika, karena mereka tidak pernah
memikirkan hakikat dibalik realitas yang dialami dan diamati oleh pancaindera
manusia. Realitas adalah apa yang dapat dialami dan diamati secara inderawi.
Tema pokok
filsafat pragmatisme adalah :
a)
Esensi
realitas adalah perubahan
b)
Hakikat
sosial dan bilogis manusia yang esensial
c)
Relativitas
nilai
d)
Penggunaan intelegensi secara kritis
Watak pragmatisme
adalah humanistis dan menyetujui suatu dalil "manusia adalah
ukuran segala-galanya " (man is the measure of all things). Tujuan dan alat pendidikan harus fleksibel dan
terbuka untuk perbaikan secara terus-menerus. Tujuan dan cara untuk mencapai
tujuan pendidikan harus rasional dan ilmiah.
2.
Pengetahuan
Pragmatisme mengajarkan bahwa tujuan semua berpikir adalah kemajuan hidup. Di balik semua gambaran berpikir terdapat tujuan tertentu untuk memajukan dan memperkaya kehidupan, walaupun kita tidak menyadarinya. Semua kebenaran mengandung watak pagmatis. Dalam arti dapat mengabdi pada tujuan-tujuan tertentu dan alam dan pengalaman manuisa, dan akan bernilai apabila dihubungkan dengan tujuan-tujuan tersebut. Jadi, nilai pengetahuan manusia harus dinilai dan diukur dengan kehidupan praktis. Menurut James, tidak ada ukuran untuk menilai kebenaran absolut. Benar atau palsunya pikiran akan terbukti di dalam penggunaannya dalam praktik, dan tergantung dari berhasil atau tidaknya tindakan tersebut.
Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang berguna. Menurut James, suatu ide itu benar apabila memilik-i konsekuensi yang menyenangkan. Menurut Dewey dan Peirce, suatu ide itu benar apa bila berakibat memberi kepuasan jika diuji secara objektif dan ilmiah. Secara khusus pragmatisme mengemukakan bahwa ide yang benar tergantung kepada konsekuensi-konsekuensi yang diobservasi seca.ra objektif, dan ide tersebut operasional.
Teori kebenaran merupakan alat yang kita pergunakan untuk memecahkan masalah dalam pengalaman kita. Oleh karena itu, suatu teori harus dinilai dalam pengertian mengenai keberhasilannya menjalankan fungsinya. /Jadi, menurut pragmatisme, suatu teori itu benar apabila berfungsi. Kebenaran bukan sesuatu yang statis, melainkan tumbuh berkembang dari waktu ke waktu.
Menurut John Dewey, yang dikemukakan oleh Wairu Rasyidin (1992 : 144), dalam menerapkan konsep pragmatisme secara eksperimental dalam memecahkan masalah hendaknya melalui lima tahapan yaitu :
Langkah ke-1 : Indeterminate
situation, timbulnya situasi ketegangan di dalam pengalaman yang
perlu dijabarkan secara spesifik.
Langkah ke-2 :
Diagnosis, artinya timbul upaya mempertajam masalah sampai pada
menentukan faktor-faktor yang diduga menyebabkan timbulnya masalah.
Langkah ke-3 : Hypothesis,
artinya ada upaya menemukan gagasan yang diperkirakan dapat
mengatasi masalah, dengan jalan mengerahkan pengumpulan informasi yang
penting-penting.
Langkah ke-4 : Hypothesis testing, yaitu pelaksanaan berbagai hipotesis yang
paling relevan secara teoritis untuk membandingkan implikasi masing-masing
kalau dipraktikkan.
Langkah ke-5 :
Evaluation, atinya mempertimbangkan hasilnya setelah hipotesis
terbaik dilaksanakan, yaitu dalam kaitan dengan masalah yang dirumuskan pada
langkah ke-2 dan ke-3.
Menurut Dewey, yang benar adalah apa yang pada akhimya disetujui oleh semua orang yang menyelidikinya.Selanjutnya pada bagian lain _Dewey mengatakan bahwa, pengalaman merupakan suatu interaksi antara lingkungan dengan organisme biologis. Pengalaman manusia membentuk aktifitas untuk memperoleh pengetahuan. Kegiatan berpikir timbul disebabkan karena adanya gangguan terhadap situasi (pengalaman) yang menimbulkan masalah bagi manusia (langkah ke-1 dan ke-2). Untuk memecahkan masalah tersebut disusun hipotesis sebagai bimbingan bagi tindakan berikutnya (langkah ke-3}. Dewey menegaskan, bahwa berpikir, khusunya berpikir ilmiah merupakan alat untuk memecahkan masalah. Itulah yang disebut metode intelegen atau metode ilmiah.
3.
Nilai
Pragmatisme mengemukakan pandangannya tentang nilai, bahwa nilai itu relatif. Kaidah-kaidah moral dan etik tidak tetap, melainkan selalu berubah, seperti perubahan kebudayaan, masyarakat, dan lingkungannya. Pragmatisme menyarankan untuk menguji kualitas nilai dengan cara yang sama seperti kita menguji kebenaran pengetahuan dengan metode empiris. Nilai moral maupun etis akan dilihat dari perbuatannya, bukan dari segi teorinya. Jadi, pendekatan terhadap nilai adalah cara empiris berdasarkan pengalaman-pengalaman manusia, khususnya kehidupan sehari-hari. Pragmatisme tidak menaruh perhatian terhadap nilai-nilai yang tidak empiris, seperti nilai supernatural, nilai universal, bahkan termasuk nilai-nilai agama.
. Nilai merupakan suatu realitas dalam kehidupan, yang dapat dimengerti sebagai suatu wujud dalam perilak-u manusia, sebagai suatu pengetahuan, dan sebagai suatu ide. Suatu perilaku, pengetahuan, atau ide dikatakan benar apabila mengandung kebaikan, berguna, dan bermanfaat bagi manusia untuk penyesuaian diri dalam kehidupan pada suata lingkungan tertentu.
4.
Pendidikan
a.
Konsep pendidikan
Tidak bisa disangkal lagi bahwa pragmatisme telah memberikan suatu sumbangan yang sangat besar terhadap teori pendidikan. John Dewey merupakan tokoh pragmatisme yang secara eksplisit membahas pendidikan, dan secara sistematis menyusun teori pendidikan yang didasarkan atas filsafat pragmatisme.
Menurut Dewey, terdapat dua teori pendidikan yang saling bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya. Kedua teori pendidikan tersebut adalah paham konservatif dan "unfolding theory" (teori pemerkahan). Teori konservatif mengemukakan, bahwa pendidikan adalah sebagai suatu pembentukan terhadap pribadi anak tanpa memperhatikan kekuatan-kekuatan atau potensi-potensi yang ada dalam diri anak. Pendidikan akan menentukan segalanya. Dalam arti, pendidikan merupakan suatu proses pembentukan jiwa dari luar, di mana mata pelajaran telah ditentukan menurut kemauan pendidik, sehingga anak tinggal menerima saja.
"Unfolding theory,"' berpandangan
bahwa anak akan berkembang dengan sendirinya, karena la telah memiliki kekuatan-kekuatan
laten, di mana perkembangan si anak telah memiliki tujuan yang pasti.
Tujuan yang dimaksud selalu digambarkan sebagai suatu yang lengkap dan pasti. Menurut pragmatisme, pendidikan bukan merupakan
suatu proses pembentukan dari luar, dan juga bukan merupakan suatu pemerkahan
kekuatan-kekuatan laten dengan sendirinya (unfolding). Pendidikan
menurut pragmatisme, merupakan suatu proses reorganisasi dan rekonstru.ksi dari
pengalaman-pengalaman individu. Dalam hal ini dapat dikatakan, baik anak maupun
orang dewasa selalu belajar dari pengalamannya.
Pengalaman-pengalaman
tersebut bukan terdiri atas materi intern maupun materi yang diungkapkan,
melainkan materi yang berasal dari aktivitas yang asli dari lingkungan.
Selanjutnya John
Dewey mengemukakan perlunya atau pentingnya pendidikan, karena berdasarkan atas
tiga pokok pemikiran, yaitu :
1. Pendidikan sebagai kebutuhan untuk hidup
Pendidikan
merupakan kebutuhan
untuk hidup, karena adanya anggapan
bahwa pendidikan selain sebagai alat, pendidikan juga berfungsi sebagai
pembaharuan hidup, "a renewal
of life". Hidup itu selalu
berubah selalu menuju pada pembaharuan. Hidup, berjuang mempergunakan tenaga
lingkungan untuk kebutuhan hidup. Menurut Dewey (1964) hidup itu adalah "a self renewing process throught action upon
environment".
Kehidupan masyarakat tumbuh melalui proses transmisi,
seperti kehidupan biologis. Transmisi berlangsung melalui alat perantara atau
alat komunikasi dalam kebiasaan bertindak, berpikir, dan merasakan, dari yang
lebih tua pada yang lebih muda. Perlu diketahui bahwa renewal
of life (pembaharuan
hidup) tersebut tidak berlangsung secara otomatis, melainkan banyak tergantung
pada teknologi, sendiri, ilmu pengetahuan, dan perwujudan moral kemanuisaan.
Untuk itulah semuanya membutuhkan pendidikan.
2.
Pendidikan sebagai
kebutuhan tcntuk hidup
Menurut Dewey, pertumbuhan merupakan suatu
perubahan tindakan yang berlangsung terus untuk mencapai suatu hasil
selanjutnya. Pertumbuhan itu terjadi karena kebelummatangan. Di dalam
kebelummatangan itu si anak memiliki kapasitas pertumbuhan potensi, yaitu
kapasitas yang dapat tumbuh menjadi sesuatu yang berlainan, karena pengaruh
yang datang dari luar. Ciri_dari kebelummatangan adalah adanya ketergantungan
dan plastisitas si anak. Ketergantungan tidak dimaksudkan sebagai suatu pribadi
yang selalu harus mendapatkan pertolongan, melainkan harus dilihat sebagai
pertumbuhan yang didorong oleh kemampuan yang tersembunyi, yang belum diolah.
Pengertian fisik yang lemah harus diartikan sebagai suatu kebelummampuan dalam
meniru lingkungan.
Yang dimaksud plastisitas adalah kemampuan belajar dari pengalaman, yang merupakan pembentukan
kebiasaan. Kebiasaan yang mengambil "habituation ", yaitu
keseimbangan dan kebutuhan yang ada pada aktivitas organisme dengan lingkungan
dan kapasitas yang aktif untuk mengadakan penyesuaian kembali, agar dapat
mencapai suatu kondisi baru. Habituation mencakup latar belakang pertumbuhan,
di mana aktivitas aktif menentukan penumbuhannya. Kebiasaan aktif melibatkan
pikiran, inisiatif; dan hasil untuk melaksanakan atau mencapai tujuan-tujuan baru.
Pertumbuhan merupakan karakteristik dari hidup, sedangkan pendidikan adalah
hidup itu sendiri, pertumbuhan itu sendiri.
3.
Pendidikan sebagai fungsi sosial
Menurut Dewey, kelangsungan hidup terjadi karena self
renewal. Kelangsunag
self renewal ini pun
terjadi karena pertumbuhan, karena pendidikan yang diberikan kepada anak-anak
dan para pemuda di masyarakat. Masyarakat meneruskan, menyelamatkan sumber dan
cita-cita masyarakat. Dalam hal ini, lingkungan merupakan syarat bagi
pertumbuhan, dan fungsi pendidikan merupakan "a process of leading and bringing up " (Dewey,
1964). Pendidikan merupakan suatu cara yang ditempuh masyarakat dalam
membimbing anak yang masih belum matang menurut bentuk susunan sosial sendiri.
Sekolah sebagai alat tranmisi, merupakan suatu
lingkungan khusus yang memiliki tiga fungsi, yaitu :
a)
Menyederhanakan dan menertibkan
faktor-faktor bawaan yang dibutuhkan untuk berkembang.
b)
Memurnikan dan mengidealkan kebiasaan
masyarakat yang ada.
c)
Menciptakan suatu lingkungan yang lebih
luas, dan lebih baik daripada yang diciptakan anak tersebut dan menjadi milik
mereka untuk dikembangkan.
b.
Tujuan pendidikan
Untuk mengetahui apa yang menjadi tujuan pendidikan
pragmatisme, tidak terlepas dari pandangannya tentang realitas, teori
pengetahuan dan kebenaran, serta teori nilai. Seperti telah dikemukakan, bahwa
realitas merupakan interaksi manusia dengan lingkungannya. Dunia akan bermakna
sejauh manusia mempelajari makna yang terkandung di dalamnya. Perubahan
merupakan esensi dari realitas, dan harus siap mengubah cara-cara yang akan
kita kerjakan. Mengenai kebenaran, pada prinsipnya kebenaran itu tidak mutlak,
tidak berlaku umum, tidak tetap, tidak berdiri sendiri, dan tidak terlepas dari
akal yang mengenal. Yang ada hanya kebenaran khusus, yang setiap saat dapat
diubah oleh pengalaman berikutnya. Sedangkan mengenai nilai, pragmatisme
menganggap bahwa nilai itu relatif. Kaidah-kaidah moral dan etika tidak tetap,
melainkan terus berubah seperti perubahan kebudayaan dan masyarakat.
Dari uraian di atas, dapat ditafsirkan apa dan
bagaimana tujuan pendidikan serta bagaimana pelaksanaan pendidikan
diorganisasikan. Objektivitas tujuan pendidikan harus diambil dari masyarakat
di mana si anak hidup, di mana pendidikan berlangsung, karena pendidikan
berlangsung dalam kehidupan. Tujuan pendidikan tidak berada di luar kehidupan,
melainkan berada di dalam kehidupan sendiri. Seperti telah diuraikan, bahwa
esensi realitas adalah perubahan, tidak ada kebenaran mutlak, serta nilai itu
relatif, maka berkaitan dengan tujuan pendidikan, menurut pragmatisme tidak ada
tujuan umum yang berlaku secara universal, tidak ada tujuan yang tetap dan
pasti. Yang ada hanyalah tujuan khusus belaka, tidak ada tujuan yang berlaku
umum yang universal. Jadi, tujuan pendidikan tidak dapat ditetapkan pada semua
masyarakat, kecuali apabila terdapat hubungan timbal balik antara masing-masing
individu dalam masyarakat tersebut
Beberapa karakteristik tujuan pendidikan yang har-us
diperhatikan adalah :
1) Tujuan pendidikan hendaknya
ditentukan dari kegiatan yang didasarkan atas kebutuhan intrinsik anak didik.
2) Tujuan pendidikan harus
mampu memunculkan suatu metode yang dapat mempersatukan aktivitas pengajaran
yang sedang berlangsung.
3) Tujuan pendidikan adalah
spesifik dan langsung. Pendidikan harus tetap menjaga untuk tidak mengatakan
yang berkaitan dengan tujuan umum dan tujuan akhir.
Tujuan pendidikan adalah suatu kehidupan yang baik, yaitu kehidupan
seperti digambarkan oleh Kingsley Price (1962 : 476) : "The best life of individuals is the life of intellegenee – of fi-eedom and control over one's own experience, and
the best sosiety is the democratic - one in which there is no enduring class
strati,fications" Kehidupan yang baik dapat dimiliki, baik oleh individu maupun
oleh masyarakat. Kehidupan yang baik merupakan suatu pertumbuhan maksimum, dan
hanya dapat diukur oleh mereka yang memiliki intelegensi (kecerdasan) yang
baik. Perbuatan yang entelegen (cerdas) merupakan jaminan terbaik untuk
melangsungkan pertumbuhan, merupakan jaminan terbaik untuk moral yang baik.
Pada hakikatnya masyarakat adalah terbaik, namun masyarakat yang
demokratis merupakan masyarakat terbaik, di mana terdapat kesempatan untuk
setiap pekerjaan, dan dalam demokrasi tidak mengenal adanya stratifikasi
sosial. Kesamaan kesempatan merupakan jaminan bahwa setiap orang akan dapat
mengambil bagian dalam melaksankan segala aktivitas lembaga yang la masuki.
Penggunaan intelegensi secara maksimal,
berarti memberi kesempatan suatu pertumbuhan kepada individu secara maksimal.
c. Proses pendidikan
Menurut pragmatisme, pelajaran harus didasarkan atas fakta-fakta yang sudah diobservasi, dipahami, serta dibicatakan sebelumnya. Bahan pelajaran harus mengandung ide-ide yang dapat mengembangkan situasi untulc mencapai tujuan dan harus ada hubungannya dengan materi pelajaran. Pendidikan dalam setiap fase atau tingkatan harus memiliid kriteria untuk memanfaatkan kehidupan sosiai, yang sangat fundamental dalam kehidupan masyarakat.
Pragmatisme meyakini bahwa pikiran anak itu aktif dan
kratif, tidak secara pasif begitu saja menerima apa yang diberikan
guranya. Pengetahuan dihasilkan dengan transaksi antara manusia dengan lingkungannya,
dan kebenaran adalah termasuk pengetahuan. Dalam situasi belajar; guru seyogyanya
menyuswl situasi-situasi belajar sekitar masalah utama yang dihadapi
masyarakat, yang pemecahannya diserahkan pada siswa-siswa untuk sampai kepada
pengertian lebih baik tentang lingkungan sosial maupun lingkungan fisik.
Dalam menentukan kurikulum, setiap pelajaran tidak
boleh terpisah, ha.rus merupakan suatu kesatuan. Pengalaman di sekolah dan di
luar sekolah harus dipadukan, sehingga segalanya merupakan suatu kebulatan atau
kesatuan. Caranya adalah dengan mengambil suatu masalah menjadi pusat segala
kegiatan. Masalah yang dijadikan pusat kegiatan sebaiknya adalah hal-ha1 yang
menarik perhatian anak, harus sesuai dengan minat anak. Kegiatan tersebut
dilaksanakan dalam pelajaran proyek.
Metode
yang sebaiknya digunakan dalam pendidikan adalah metode disiplin, bukan dengan
kekuasaan. Kekuasaan tidak dapat dijadikan metode pendidikan karena merupakan
suatu kekuatan yang datang dari luar, dan didasari oleh suatu asumsi bahwa ada
tujuan yang baik dan benar secara objektif, dan si anak dipaksa untuk mancapai
tujuan tersebut. Kekuasaan tidak sesuai dengan kemauan dan minat anak, serta
gurulah yang menentukan segala-galanya. Guru memaksakan bahan pelajaran kepada
anak, dan guru pulalah yang berpikir untuk anak. Dengan cara demikian tidak
mungkin anak akan mempunyai perhatian yang spontan atau minat langsung terhadap
bahan pelajaran.
Disiplin merupakan kemauan dan minat yang keluar dari
dalam diri anak sendiri. Anak akan belaja.r apabila la memiliki minat dan
antisipasi terhadap suatu masalah untuk dipelajari. Anak tidak akan memiliki
dorongan untuk belajar matematika seandainya ia tidak merasakan suatu masalah
di mana ia tidak mengetahuinya. Disiplin itu memang muncul dari dalam diri anak, namun dituntut suatu
aktivitas dari anak yang lainnya, dalam usaha mencapai tujuan bersama. Dalam
usaha belajar tersebut dibutuhkan suatu kerja sama dengan yang
lainnya. Anak dalam kelas harus merupakan suatu kelompok yang merasakan bersama
terhadap suatu masalah, dan mereka secara bersama bekerja secara sama-sama
dalam memecahkan masalah-masalah tersebut.
Guru di
sekolah harus merupakan suatu petunjuk jalan serta pengamat tingkah laku anak,
untuk mengetahui apakah yang menjadi minat perhatian anak. Dengan mengamati
perilaku anak tersebut, guru dapat menentukan masalah apa yang akan dijadikan
pusat perhatian anak.
Jadi, dalam proses belajar mengajar, ada beberapa
saran bagi guru yang hanzs (hperhatikan, terutama dalam menghadapi siswa dalam
kelas, yaitu :
1)
Guru tidak boleh memaksakan suatu ide
atau pekerjaan yang tidak sesuai dengan minat dan kemampuan siswa.
2)
Guru hendaknya menciptakan suatu situasi
yang menyebabkan siswa akan merasakan adanya suatu masalah yang la hadapi,
sehingga timbul minat untuk memecahkan masalah tersebut.
3)
Untuk membangkitkan minat anak, hendaklah
guru mengenai kemampuan serta minat masing-masing siswa.
4)
Guru harus dapat menciptakan situasi yang
menimbulkan kerja sama dalam belajar, antara siswa dengan siswa, antara siswa dengan
guru, begitu pula antara guru dengan guru.
Jadi, tugas guru dalam proses belajar mengajar adalah
sebagai fasilitator, memberi dorongan dan kemudahan kepada siswa untuk bekerja
bersama-sama, menyelidiki dan mengamati sendiri, berpikir dan menarik kesimpulan
sendiri, membangun dan menghiasi sendiri sesuai dengan minat yang ada pada
dirinya. Dengan jalan ini si anak akan belajar sambil bekerja. Anak harus
dibangkitkan kecerdasannya, agar pada diri anak timbul hasrat untuk menyelidiki
secara teratur, dan akhirnya dapat berpikir ilmiah dan logis, yaitu cara
beipikir yang didasarkan pada fakta dan pengalaman.
BAB
III
IMPLIKASI PENDIDIKAN
3.1
Tujuan Pendidikan
Memberi pengalaman
untuk penemuan hal-hal baru dalam hidup social dan pribadi.
3.2
Peranan Siswa
Suatu organisme yang
memiliki kemampuan yang luar biasa dan kompleks untuk tumbuh.
3.3
Peranan Guru
Mengawasi dan
membimbing pengalaman belajar siswa, tanpa mengganggu minat dan kebutuhannya.
3.4
Kurikulum
Berisi pengalaman yang
teruji yang dapat diubah. Minat dan kebutuhan siswa yang dibawa ke sekolah
dapat menentukan kurikulum. Menghilangkan perbedaan antara pendidikan liberal
dengan pendidikan praktis atau pendidikan jabatan.
3.5
Metode
Metode aktif, yaitu learning by doing (belajar
sambil bekerja).
BAB IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Pragmatisme adalah
salah satu Mazhab Filsafat Pendidikan yang memaknakan segala sesuatu tergantung
dari hubungannya dengan apa yang dapat dilakukan. Pragmatisme dipandang sebagai
filsafat Amerika asli.
Tema pokok Filsafat Pragmatisme adalah :
1.
Esensi realitas adalah perubahan
2.
Hakikat sosial dan biologis manusia yang esensial
3.
Relativitas nilai
4.
Penggunaan intelegensi secara kritis
4.2
Tanggapan Kelompok
Filsafat pendidikan Pragmatisme merupakan salah satu Mazhab filsafat pendidikan yang memaknakan segala sesuatu tergantung dari hubungannya dengan apa yang dapat dilakukan. Dalam implikasinya terhadap pendidikan Pragmatisme baik berupa tujuan pendidikan, peranan siswa, peranan guru, kurikulum dan metodenya sangat baik dan tepat apabila diterapkan dalam pendidikan saat ini.
DAFTAR
PUSTAKA
-
Yunus, A. 1999. Filsafat Pendidikan. Bandung
: CV Citra Sanana Grafika.
-
Sadulloh Uyoh. 2006. Pengantar Fisafat
Pendidikan. Bandung : CV Alfabeta.
Tag :
MAKALAH AGAMA
0 Komentar untuk "Contoh Makalah Agama Tentang Aliran Filsafat Pragmatisme"